Hingga kini, hampir sebagian besar sumur penduduk di wilayah Kota Yogyakarta masih tercemar E-Coli (Escherichia coli). Bahkan berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta tahun ini diprediksikan masih 70 persen dari total sumur milik penduduk yang tercemar bakteri tersebut.
“Jika dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat pencemaran air sumur sudah cukup berkurang. Data sampel di tiap kecamatan tahun 2007 lalu, didapat hasil 85 persen sumur di Kota Yogyakarta diperkirakan tercemar seperti bakteri E-coli. Dan saat ini tinggal 70 persen saja,” papar Kepala Bidang Pengawasan dan Pemeliharaan Lingkungan BLH Kota Yogyakarta Ika Rostika, Selasa (21/6).
Meski tingkat pencemaran tersebut tahun ini tidak begitu parah seperti tahun 2007, tetapi di musim kemarau seperti saat ini hal tersebut juga tetap mengkhawatirkan. Pasalnya permukaan air sumur akan menurun saat musim kemarau, jika pencemaran tidak tertangani maka hal tersebut justru akan meningkatkan kadar pencemaran semakin banyak.
Menurutnya, pencemaran tersebut terjadi dikarenakan letak sumur para warga berdekatan dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga atau septitank. Hal ini tentu tidak dibenarkan karena jika terjadi kebocoran saluran maka dipastikan air sumur tercemar.
“Pola hidup masyarakat yang belum melakukan budaya hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan menjadi pemicu angka pencemaran bakteri yang bisa mengakibatkan diare ini,” tambahnya.
Pihaknya kata dia, terakhir kali melakukan pemeriksaan kondisi air sumur pada akhir 2010 lalu dengan mengambil sampel di 36 sumur di tiap kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Dan rencananya akhir 2011 mendatang akan dilakukan pengecekan kembali.
Terpisah Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup Lestari Agus Hartanta mengatakan, tingginya tingkat pencemaran air sumur di Kota Yogyakarta dikarenakan masyarakat umumnya terjebak pada pola hidup yang pragmatis. “Pola pragmatis ini menyebabkan masyarakat mengingkan segala sesuatunya serba praktis dan cepat,” paparnya.
Akibatnya banyak masyarakat kurang memperhitungkan efek kesehatan saat membangun saluran air limbah maupun sumur. Pembuatan saluran air limbah baik manusia maupoun limbah domestik seringkali berdekatan dengan sumur warga. Karenanya saat terjadi kebocoran saluran limbah maka rembesan ke sumur tak terhindarkan. Tanah di wilayah perkotaan yang cenderung sempit juga memicu pembangunan air limbah yang berdekatan dengan sumur tersebut.
Selain itu, menurut Agus yang menjadi faktor penyebab pencemaran air sumur lainnya ialah kurangnya upaya pengelolaan sampah dengan benar. Dan jika dibandingkan dengan kondisi air beberapa tahun sebelumnya, tidak ada perubahan yang berarti dari kualitas air di Kota Yogyakarta.
“Saat ini saja, kebijakan pemerintah pusat yang mengeluarkan UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang dilakukan di tingkat sumber penghasil sampah belum terealisasi di masyarakat. Karena itulah butuh kerja keras pemerintah, pemerhati lingkungan dan masyarakat sendiri untuk mencari jalan keluar dari masalah pencemaran,” tambahnya.
Sumber: Republika