Masyarakat di sekitar hutan memiliki konsep konservasi atas lingkungan sendiri yang memungkinkan dilakukan langkah-langkah pemeliharaan hutan seiring dengan upaya konservasi yang kini tengah digalakkan oleh pemerintah. Tanpa pelestarian hutan, ada kecenderungan terjadinya penebangan liar untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat akan komoditas hutan komersial. Oleh karena itu, budaya kearifan lokal dalam pelestarian hutan oleh masyarakat harus diakui dan dipertahankan keberadaannya.
Hal itu mengemuka dalam ujian terbuka promosi doktor Sahlan S.H., S.E., M.S., di Fakultas Geografi UGM, Sabtu (11/6). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. dan ko-promotor Prof. Dr. HA. Sudibyakto, M.S.
Dalam disertasi yang mengangkat kearifan lokal Suku Wana (Tau Taa Wana Bulang) di Sulawesi Tengah, Sahlan mengatakan masyarakat lokal Wana memiliki kearifan lokal yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan keberlanjutan hutan. Hal itu yang mendorong warga untuk terlibat secara sukarela dan kolektif dalam melestarikan hutan kemasyarakatan. Diketahui bahwa faktor pengetahuan hutan paling berpengaruh dalam menjaga kearifan lokal. “Faktor lain yang paling berpengaruh dalam partisipasi kultural masyarakat Wana adalah motivasi. Hal ini menunjukkan motivasi yang muncul dalam diri seseorang akan mampu mendorong untuk melakukan partisipasi,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
Dari hasil penelitian Sahlan, praktik kultural masyarakat Wana terwujud dalam sejumlah acara ritual yang masih menganggap hutan memiliki ‘kekuatab gaib’. Menurutnya, praktik budaya lokal ini berdampak positif terhadap konservasi hutan yang dilakukan masyarakat Wana. “Dampak positif itu ditandai dengan terjadinya kelestarian hutan dengan kecenderungan bahwa semakin tinggi kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lingkungan alamnya, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan,” katanya.
Strategi masyarakat Wana dalam melestarikan dan mempertahankan kearifan lokalnya adalah melanjutkan eksistensi hukum adat dan bekerja sama dengan pemerintah dalam melestarikan hutan, menggunakan kelembagaan adat untuk mengelola kerusakan hutan. Sahlan menyebutkan ada 14 bentuk praktik ritual kearifan lokal yang dijalankan masyarakat Wana dalam melestarikan hutan dan lingkungan sekitarnya. Beberapa di antaranya ialah ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah), dan Polobian (pengobatan).
Pria kelahiran Ujung Pandang tahun 1960 ini menuturkan tingkat penggunaan kearifan lokal masyarakat Wana dalam mengonservasi hutan ternyata cukup tinggi. Sebagian masyarakat memegang teguh kearifan lokal sebagai aturan adat yang harus dipatuhi warga adat di masyarakat Wana yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Tojo Una-una, Banggai, dan Morowali.
Sumber: Humas UGM