Batik dengan segala motif dan model busana kini telah memasyarakat. Batik tidak lagi menjadi pakaian bapak-bapak atau ibu-ibu, namun telah menjadi tren pakaian anak muda. Batik pun tak lagi hanya sekedar pakaian resmi, namun telah menjadi tren untuk pakaian sehari-hari. Banyak kalangan muda tak lagi canggung mengenakan batik untuk jalan-jalan hingga ke kampus. Gairah mengenakan pakaian bermotif batik terus meningkat, tidak hanya dalam jangkauan nasional, namun telah merambah ke dunia internasional. Dengan berbagai corak warna yang beraneka ragam tentu semakin menambah kecantikan dan keanggunan bagi orang yang mengenakan.
Sayang, di balik keindahan dan kecantikan batik industri batik masih menggunakan pewarna yang berdampak negatif berupa limbah yang merusak lingkungan. Ditengarai hingga kini masih banyak industri batik menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya.
Kondisi inilah yang mengusik hati Dr. Edia Rahayuningsih, pengajar Jurusan Teknik Kimia UGM. Dia mengajak untuk mengubah kebiasaan pewarnaan batik sintetis kembali menggunakan pewarna berbahan alami. “Sebagai pengajar dan peneliti tentu saya terusik, karena kita sesungguhnya adalah bagian dari solusi,” ujarnya, di UC UGM, Rabu (11/7) pada Workshop dan Pameran Zat Pewarna Alami Untuk Mendukung Program Pemberdayaan UMKM Ramah Lingkungan”.
Edia mengakui bahan naptol meski telah dilarang digunakan sejak 1996, namun para perajin batik masih terus menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis dan lebih cerah. Oleh karena itu, agar hasil pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, dia menghimbau para industri batik untuk merubah pola kebiasaan, dari menggunakan pewarna batik sintetis dengan pewarna dari alam. “Sebab Indonesia sesungguhnya memiliki bahan pewarna alternatif lebih aman dan tahan lama berasal dari tanaman indigofera,” katanya.
Menurut Edia, tanaman indigofera sebagai bahan pewarna pengganti naptol, pernah terkenal sebagai pewarna indigo. Marga indigofera ini dipergunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami. “Bahkan kini dengan melalui teknik modern, zat warna pada indigofera yang berupa serbuk dan diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye), selain praktis digunakan, zat warna yang dihasilkan jauh lebih baik kualitasnya dibanding dengan zat warna alami tanaman indigofera yang diproduksi dengan cara tradisional,” tuturnya.
Menjadi pembicara pada workshop yang digelar KP4 UGM-KPWN-SMEDC UGM, Edia mengungkapkan Indigofera dikenal sebagai penghasil zat pewarna. Di daerah Sunda, tanaman ini dikenal dengan sebutan tarum, sementara masyarakat Jawa lain menyebut dengan tom. Berdasarkan studi pustaka dan bukti sejarah, diketahui tanaman itu telah dipakai sebagai pewarna sejak masa-masa sebelum masehi di negara-negara Eropa. Pada abad ke-16, masyarakat India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah membudidayakan indigofera secara besar-besaran. Melalui culture stelsel, pembudidayaan indigofera di Indonesia dilakukan atas perintah pemerintah kolonial untuk menyaingi pewarna dari bahan woad (Isatis tinctoria) yang dibudidayakan di Prancis, Jerman, dan Inggris.
Bahkan Indonesia sempat menguasai pasaran untuk pemasok zat warna, termasuk warna indigo (biru), ke pasar dunia lewat budi daya indigofera. Sayang, semenjak tahun 1897 saat mulai diperkenalkan warna sintetis, para pengusaha batik lebih memilih menggunakan pewarna tersebut sehingga ketika Pemerintah Belanda menghentikan impor pewarna buatan pada 1914, termasuk pengganti warna biru (indigosol), para pengusaha batik bereaksi keras. “Saat itulah awal dari memudarnya pamor tarum,” ujar Edia.
Seiring tingginya kesadaran terhadap lingkungan, kini potensi Indigofera sebagai pewarna alami sangatlah prospektif sebab peminat zat pewarna alami tidak hanya pembeli lokal, namun dari luar negeri, seperti Jepang dan Korea. Untuk membuat 1 kg serbuk zat pewarna Indigo dibutuhkan sekitar 250 kg daun Indogofera.
Otomatis, jika ingin memproduksi secara besar-besaran, dibutuhkan banyak pasokan daun Indigofera.
Kendati butuh pasokan bahan baku yang banyak, hasil yang didapat dari zat pewarna ini memuaskan. Sebanyak 25 gram serbuk Gama Indigo bisa digunakan mewarnai dua lembar kain batik berukuran standar 3×1,5 meter.
Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Agr.Sc selaku Kepala KP4 UGM berharap hasil penelitian indigofera ini segera dihilirkan ke dunia bisnis sehingga penelitian tidak hanya berhenti pada penelitian, namun bisa bermanfaat bagi masyarakat dan bisnis sebagai terminal akhir.
Sumber: Humas UGM