Yogyakarta, Kamis (22/6), Pusat Studi Lingkungan Hidup mengadakan siniar rutin Bernama Podcast Lestari (Poles) yang membahas terkait isu-isu faktual terkait lingkungan di lingkup regional, nasional, maupun internasional. Pada episode kali, isu yang dibahas yaitu mengenai “ TEKA TEKI GREEN WASHING YANG BIKIN OVERTHINGKING”.
Narasumber pada edisi kali ini adalah Bhima Yudhistira, MF (Mas Bima) Beliau merupakan Ececutive Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang cukup aktif memberikan opini dan komentar terkait isu pidana pada media massa. CELIOS adalah lembaga riset yang fokus dibidang ekonomi dan kebijakan publik untuk mendorong pemerataan ekonomi, ekonomi yang berkelanjutan dan kualitas inovasi digital. Alasan hadirnya CELIOS adalah karena adanya isu climate justice yang dapat berdampak pada intra generasi. Pada episode kali ini, Poles berlangsung selama 59 menit dengan jumlah penonton kurang lebih 40 orang. Siniar dibuka oleh Retno Suryandari (Retno) dan Aditya Sewanggara (Adit) yang memberikan penjelasan sekilas terkait dengan Green Washing. Pada pemaparan awal, Mas Bhima menjelaskan terkait konsep dan latar belakang dari lahirnya istilah Green Washing.
Dalam pandangannya, Bhima Yudistira mengungkapkan kekhawatirannya terhadap praktik greenwashing yang dilakukan oleh institusi, termasuk pemerintah daerah. Menurutnya, meskipun mereka mencoba untuk melabeli tindakan mereka sebagai sesuatu yang sesuai dengan aspek lingkungan, kenyataannya jauh dari promosi atau pemasaran yang sebenarnya mencerminkan komitmen mereka terhadap lingkungan hidup.
Bhima Yudistira merujuk pada istilah “greenwashing” yang muncul dalam sebuah paper yang ditulis berdasarkan pengalaman pada tahun 1986. Pada waktu itu, ia mengingatkan tentang pengalamannya saat berlibur di sebuah hotel di Fiji. Saat ia memasuki hotel tersebut, ia mendapatkan petunjuk untuk menggunakan kembali handuk yang belum terlalu kotor demi menghemat air. Namun, ia merasa bingung karena mengetahui bahwa hotel tersebut sedang melakukan ekspansi yang mungkin berhubungan dengan aspek lingkungan, seperti dalam konteks Indonesia yang sering menghadapi masalah dengan Amdal.
Menurut Bhima Yudistira, kasus yang paling mencolok dari praktik greenwashing terjadi pada tahun 2005 melibatkan perusahaan minyak raksasa. Perusahaan ini menggunakan perusahaan pemasaran untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap jejak karbon atau emisi karbon. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa BP sebagai perusahaan minyak memiliki aktivitas bisnis utama yang berpotensi merusak lingkungan.
Bhima Yudistira juga mengingatkan tentang kasus lainnya yang terjadi pada sekitar tahun 2015, yaitu kasus manipulasi hasil tes emisi oleh perusahaan mobil VW. Perusahaan ini mempromosikan mobilnya sebagai ramah lingkungan dengan emisi rendah, tetapi kenyataannya mereka melakukan manipulasi untuk mengelabui tes emisi. Hal ini juga merupakan contoh nyata dari praktik greenwashing.
Menurut Bhima Yudistira, praktik greenwashing seharusnya dihindari. Jika sebuah institusi atau perusahaan telah terlibat dalam kegiatan yang merusak lingkungan, mereka seharusnya jujur mengakui kesalahan dan mengambil tindakan nyata untuk memperbaikinya. Misalnya, jika sebuah perusahaan terlibat dalam industri ekstraktif yang tinggi emisinya, mereka seharusnya mengurangi aktivitas pertambangan dan beralih ke energi terbarukan. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh konsistensi dalam tindakan mereka dan bukan hanya berfokus pada promosi peduli lingkungan semata.
Bhima Yudistira menegaskan bahwa penting bagi institusi dan perusahaan untuk memperhatikan dan menghormati lingkungan hidup. Promosi mereka seharusnya sesuai dengan tindakan nyata yang diambil untuk menjaga kelestarian alam. Ketika praktik greenwashing dilakukan, mereka sebenarnya hanya membersihkan citra mereka tanpa melakukan perubahan substansial.
Praktik greenwashing memiliki manfaat bagi perusahaan atau instansi karena mereka ingin dikenal sebagai pihak yang peduli terhadap lingkungan. Salah satu manfaat utamanya adalah dari sudut pandang konsumen. Jika perusahaan mencitrakan diri sebagai pemangku kepedulian lingkungan dan memiliki standar lingkungan yang baik, hal ini dapat meningkatkan loyalitas konsumen. Terutama dalam generasi milenial yang cenderung mempertimbangkan nilai-nilai lingkungan dalam memilih produk atau merek.
Selain itu, perusahaan dengan standar lingkungan yang baik juga dapat memperoleh pembiayaan lebih mudah dari bank dan perusahaan asuransi. Hal ini karena bank dan asuransi juga memiliki komitmen terhadap lingkungan, sehingga terdapat kesesuaian antara mereka. Selanjutnya, perusahaan yang terlibat dalam praktik greenwashing juga dapat memperoleh insentif dari pemerintah di beberapa tempat. Insentif tersebut dapat berupa pengurangan pajak, penghargaan, atau bentuk apresiasi lainnya jika citra lingkungan mereka baik.
Dalam rangka mempertahankan dan memperoleh manfaat ini, perusahaan atau instansi perlu memastikan bahwa praktik greenwashing yang mereka lakukan diiringi dengan tindakan nyata yang sesuai dengan komitmen lingkungan mereka. Hanya dengan konsistensi dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap isu lingkungan, manfaat dari praktik greenwashing dapat berkelanjutan dan mendukung citra positif yang dibangun.
Menurut penjelasan Adit, jika sebuah perusahaan atau instansi terlibat dalam praktik greenwashing, yaitu melakukan tindakan yang menyesatkan atau menipu terkait isu lingkungan, mereka dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Meskipun secara eksplisit tidak ada sanksi yang secara tegas menghukum para pelaku greenwashing. Sebagai penutup, Retno menjelaskan bahwa pentingnya pemahaman-pemahaman etika lingkungan di dunia pendidikan. Pendapat ini didukung oleh Mas Bima, yang menekankan pentingnya mengimplementasikan mata kuliah etika lingkungan di tingkat perkuliahan.