Sebuah laporan studi di Amerika menemukan, bahwa sebanyak 91% pembangkit listrik tenaga batubara di Amerika (265 dari 292) yang diketahui telah mencemari air tanah dengan polutan beracun tidak melakukan penaatan hukum terkait upaya pemulihan akibat pencemaran air tanah yang telah terjadi. Pencemaran bersumber dari kolam penampungan abu sisa pembakaran untuk pembangkit listrik. Studi disusun oleh lembaga Earthjustice dan the Environmental Integrity Project dengan mengamati 292 pembangkit batubara yang beroperasi di Amerika.
Studi tersebut menjadi kelanjutan studi dari earthjustice di tahun 2019. Dimana ditemukan, bahwa sebanyak 242 pembangkit dari 265 pembangkit listrik AS yang memantau air tanah, telah melaporkan tingkat yang tidak aman dari setidaknya satu polutan yang berasal dari abu batubara. Lebih dari setengah fasilitas tersebut melaporkan tingkat arsenik yang tidak aman, karsinogen yang terkait dengan berbagai jenis kanker, dengan 60% menemukan peningkatan lithium, yang dikaitkan dengan kerusakan neurologis.
Pembakaran batu bara di pembangkit listrik batu bara yang menghasilkan abu sisa pembakaran batu bara dapat mengandung tingkat kontaminan yang berbahaya dan merupakan salah satu jenis limbah industri terbesar yang dihasilkan di Amerika Serikat. Pada tahun 2015, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (the US Environmental Protection Agency/ EPA) mengumumkan serangkaian persyaratan yang komprehensif untuk pengelolaan abu batubara di tempat pembuangan akhir dan penimbunan yang dikenal dengan istilah “the Coal Ash Rule”.
Menurut EPA dalam situsnya, Peraturan tersebut dipicu karena terjadinya bencana tumpahan abu batubara di Stasiun Pembangkitan Sungai Dan Duke Energy dan hampir 160 kasus kontaminasi air di seluruh AS. Residu pembakaran batu bara (Coal combustion residuals/ CCR atau abu batu bara), produk sampingan dari pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga batu bara di Amerika, telah dianggap mengandung kontaminan seperti merkuri, kadmium, dan arsenik yang tanpa pengelolaan yang tepat dapat mencemari saluran air, air tanah, air minum, dan udara.
Peraturan the Coal Ash Rule tersebut mewajibkan pembersihan kolam-kolam atau tempat pembuangan limbah abu batubara. Sekitar 500 kolam penampungan abu batubara yang tidak dilapisi, diminta untuk berhenti menampung limbah abu dan memulai ditutup pada April 2021. Diketahui, pembangkit batubara Amerika menghasilkan sekitar 100 juta ton abu batubara setiap tahun, dengan sedikitnya 2 miliar ton tersimpan dalam kolam-kolam penampungan abu batubara dengan kualitas yang berbeda-beda. Sebagian besar kolam abu batubara menua dan tidak dilapisi dengan pelapis yang akan mencegah abu merembes ke sungai atau sempadan sungai.
Namun, setelah tujuh tahun EPA memberlakukan peraturan the Coal Ash Rule, hanya sekitar setengah dari pembangkit listrik yang mencemari air tanah setuju bahwa pembersihan diperlukan. Sedangkan sebanyak 96 persen dari pembangkit listrik tidak mengusulkan pengolahan air tanah.
Menurut hasil studi earthjustice, sebagian besar pembangkit sudah tidak lagi mengirimkan abu batubara ke kolam penampungan abu yang tidak dilapisi. Namun studi menunjukan, bahwa industri tidak melakukan pemantauan kontaminasi air tanah dan membersihkan serta memulihkan kualitas air tanah yang terkontaminasi di sekitar lokasi. Laporan memaparkan, bahwa secara ilegal cenderung memanipulasi data dan sistem pemantauan untuk membuat lokasi yang terkontaminasi terlihat bersih dan untuk menghindari pembersihan di sekitar penimbunan abu batubara.
Studi menemukan, bahwa hanya 4 persen dari industri yang telah memilih rencana pembersihan yang mencakup pengolahan beberapa air tanah yang terkontaminasi. Dari jumlah tersebut, hanya 1 pabrik yang merencanakan pembersihan menyeluruh, dengan 10 pabrik mengusulkan rencana pembersihan yang tidak lengkap.
Abu batubara (FABA) di Indonesia
Studi tersebut layak menjadi gambaran kebijakan pengelolaan Faba di Indonesia. Diketahui, limbah abu batubara di Indonesia dikenal dengan istilah Fly Ash dan Bottom Ash (Faba). Sumbernya adalah dari Pembakaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang saat ini sudah dikeluarkan dari jenis limbah B3 (limbah bahan berbahaya dan beracun). Perubahan pengaturan Faba sebagai Limbah Non B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan Lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021, menetapkannya dalam kategori Limbah Non-B3 terdaftar. Jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash.
Direktur Jenderal PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan bahwa material FABA yang menjadi limbah nonB3 hanya dari proses pembakaran batubara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker. Sedangkan dari Fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap katagori Limbah B3 yaitu Fly Ash kode limbah B409 dan Bottom Ash kode limbah B410.
Alasannya antara lain pembakaran batubara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Hal ini yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, subtitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang. Selain itu, dalam hal pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah, seperti yang terjadi di tungku industri kemungkinan terdapat unburnt carbon di dalam FABA masih tinggi yang mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan, sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3. Lebih lanjut menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana menjelaskan bahwa, hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan bahwa FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021.
Sebagai antisipasinya, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati, meskipun dinyatakan sebagai Limbah non B3, namun penghasil limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar atau persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan. Misalnya persyaratan teknis dan tatacara penimbunan FABA dan persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA. Vivien juga mengungkapkan bahwa di negara lain seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat bahwa FABA dari PLTU juga dikategorikan sebagai limbah nonB3, namun tatacara dan standar pengelolaanya sama dengan tatacara dan standar pengelolaan yang diterapkan di Indonesia.
Menurut Penelitian Puslitbang tekMIRA, FABA berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan refraktori cor; bahan penimbunan dalam kegiatan reklamasi tambang; bahan substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang serta bahan pembenah lahan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang. Namun saat ini volume limbah FABA yang dimanfaatkan masih rendah. Menurut Litbang ESDM dalam situsnya, pemanfaatan Faba untuk subtitusi bahan baku hanya mencapai maksimal 45 persen (litbang ESDM). Karenanya, sebagian besar pengelolaan Faba masih terbatas melalui penimbunan lahan (landfill). Litbang ESDM juga sudah mengakui, bahwa jika Faba tidak dimanfaatkan dan tidak ditangani dengan baik, maka dapat berpotensi menimbulkan pencemaran. Selain volume, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan FABA, di Indonesia, yaitu kualitas dan lokasi. Kualitas FABA sendiri bervariasi dan fluktuatif, sehingga menyulitkan dalam proses pemanfaatan. Lokasi PLTU terkadang di lokasi terpencil, sehingga biaya pengelolaan FABA menjadi mahal dan kurang ekonomis.
Meskipun secara global telah ada komitmen “shutdown” untuk batubara, namun sebagai sumber bahan baku energi termurah, maka pemanfaatan batubara masih akan terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, kebutuhan batu bara dalam negeri tahun 2022 mencapai 165 juta ton, sementara tahun 2025 naik menjadi 208,5 juta ton. Kebutuhan batu bara masih didominasi untuk keperluan pembangkit listrik tenaga batu bara milik PT PLN (Persero) yang mencapai 129 juta ton. Diperkirakan, pada tahun 2022 saja, potensi limbah abu batubara yang dihasilkan dari pembangkit listrik mencapai tak kurang dari 6,45 – 12,9 juta ton.[i]
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan, bahwa FABA yang dihasilkan oleh perusahaan PLTU dan non-PLTU setiap tahunnya berkisar 10-15 juta ton dengan dampak biaya pengelolaannya berkisar Rp50 miliar s.d. Rp2 triliun. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, dan bahkan Vietnam dianggap sudah sejak lama memanfaatkan FABA sebagai material konstruksi untuk campuran semen di proyek infrastruktur. Bahkan, Apindo mengklaim, bahwa potensi pemanfaatan FABA sebagai material pada berbagai aplikasi mencapai nilai Rp300 triliun pertahun.
Besarnya potensi volume Faba yang dihasilkan di Indonesia layak mendorong kajian lebih lanjut oleh pengambil kebijakan terkait penetapan dan potensi dampak lingkungan Faba sebagai limbah non B3. Namun terlepas dari penetapan jenisnya, maka sudah saatnya berbagai bentuk pengelolaan Faba sebagai material penimbunan dan penanganan Faba melalui proses penimbunan atau landfill yang berpotensi mencemari air tanah dapat dipertimbangkan kembali. Semoga…
[i] Menurut Publikasi KLHK, Sisa hasil pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan fly ash dan bottom ash (5-10 %). Persentase abu (fly ash dan bottom ash) yang dihasilkan adalah fly ash (80-90%) dan bottom ash (10-20 %)