Air merupakan elemen esensial bagi kehidupan di permukaan Bumi. Bumi adalah planet biru, dimana hampir tiga perempat permukaan bumi diselimuti air. Meskipun air ada dimana-mana, namun kebanyakan air bersifat asin (air laut). Air tawar (freshwater) adalah sumber daya yang terbatas (Encyclopedia of Ecology). Lebih dari dua pertiga air tawar tersimpan dalam es di daerah kutub atau di gletser dan jauh di daerah pegunungan, kurang dari sepertiganya adalah air tanah, dan hanya 0,3 persen yang merupakan air permukaan (sungai, danau, dan waduk).
Air tawar berupa air permukaan, air tanah dan air hujan merupakan sumber daya penting bagi semua organisme hidup. Sebagian besar organisme memiliki kandungan air 50–90% dan terdapat ambang batas kritis yang harus dipertahankan agar dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Selain itu, air juga berfungsi sebagai habitat penting bagi banyak organisme di berbagai lingkungan, mulai dari gurun yang sangat gersang hingga hutan hujan tropis.
Menurut Laporan Sumber Daya Air Dunia Tahun 2024 (The United Nations World Water Development Report 2024: Water For Prosperity and Peace), penggunaan air tawar meningkat hanya di bawah 1% per tahun, didorong oleh kombinasi pembangunan sosio-ekonomi dan perubahan terkait pola konsumsi, termasuk pola makan. Selain itu, sekitar setengah populasi dunia saat ini mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya selama satu tahun. Seperempat populasi dunia menghadapi tingkat kekurangan air yang ‘sangat tinggi’, karena menggunakan lebih dari 80% pasokan air bersih terbarukan setiap tahunnya.
Bencana terkait air masih mendominasi daftar bencana selama 50 tahun terakhir, dan menyebabkan 70 persen kematian akibat bencana alam (Bank Dunia, 2022). Rekor curah hujan ekstrem telah meningkat di seluruh dunia, begitu pula frekuensi, durasi, dan intensitas kekeringan meteorologis. Perubahan iklim diperkirakan akan memperparah siklus air global, dan semakin meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan kekeringan dan banjir. Beberapa dampak yang paling parah akan dirasakan di negara-negara kurang berkembang, juga di pulau-pulau kecil dan di Kutub Utara. Pada satu sisi, bahaya banjir dan tenggelam semakin meningkat. Sementara di sisi lain, separuh populasi dunia menghadapi kekurangan air yang parah. Antara tahun 2002 dan 2021, kekeringan berdampak pada lebih dari 1,4 miliar orang dan menyebabkan kematian hampir 21.000 orang.
Langkah-langkah perlindungan dan pelestarian sumber daya air merupakan suatu keniscayaan. Inilah alasan peringatan Hari Air Sedunia oleh Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), yang diadakan pada tanggal 22 Maret, setiap tahun sejak tahun 1993. Peringatan Hari Air Sedunia memberikan kesempatan bagi seluruh umat manusia agar menghargai sekaligus dapat meningkatkan kesadaran atas pelestarian sumber daya air dalam mendukung kehidupan di permukaan bumi.
Air adalah hak asasi yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Ketersediaan dan pengelolaan air yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 6 (SDGs 6: Clean water and sanitation). Namun, pemenuhan kebutuhan atas sumber daya air masih belum tercapai, dimana sebanyak 2,2 miliar orang masih hidup tanpa air minum yang dikelola dengan aman, termasuk 115 juta orang yang meminum air permukaan. Empat dari lima orang yang tidak memiliki setidaknya layanan dasar air minum tinggal di daerah pedesaan. Situasi terkait sanitasi yang dikelola secara aman masih memprihatinkan, dengan 3,5 miliar orang tidak memiliki akses terhadap layanan tersebut. Kota-kota tidak mampu mengimbangi percepatan pertumbuhan penduduk di perkotaan.
Seruan Air Untuk Perdamaian (Leveraging Water for Peace) menjadi tema Hari Air Sedunia tahun 2024 ini. Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada Hari Air Sedunia menekankan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kerja sama air lintas batas: “Air untuk perdamaian menjadi tema Hari Air Sedunia tahun ini. Pencapaiannya bergantung pada kerja sama yang jauh lebih besar. Saat ini, 153 negara berbagi sumber daya air. Namun hanya dua puluh empat negara yang melaporkan perjanjian kerja sama untuk semua sumber air yang mereka gunakan bersama. Kita harus mempercepat upaya untuk bekerja sama lintas batas negara, dan saya mendesak semua negara untuk bergabung dan menerapkan Konvensi Air PBB – yang mempromosikan pengelolaan sumber daya air bersama secara berkelanjutan.”
Air dapat menjadi alat perdamaian ketika masyarakat dan negara bekerja sama dalam memanfaatkan sumber daya bersama yang berharga ini. Namun, air juga dapat memicu dan memperparah konflik ketika akses tidak diberikan dan penggunaan dibagi secara tidak adil. Dalam konflik yang terjadi, air seringkali berperan dalam berbagai keadaan, yaitu:
Air dapat menjadi pemicu konflik.
Ketika kepentingan berbagai negara, maupun bagian wilayah suatu negara yang membutuhkan air telah saling berbenturan dan dianggap tidak dapat didamaikan, atau ketika kuantitas dan/atau kualitas air menurun, yang dapat berdampak pada kesehatan manusia dan ekosistem. Kegagalan peraturan internasional dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas dapat menjadi pemicu konflik atau perebutan sumber daya air.
Seperti dalam kasus penjajahan Israel di wilayah Palestina yang telah meningkatkan kelangkaan lahan, fragmentasi wilayah, dan urbanisasi. Israel juga memberlakukan pembatasan akses dan kendali atas sumber daya alam, termasuk air. Dimana sejak tahun 2005 Israel memblokade wilayah Gaza, dan telah membuat Gaza seolah-olah sebagai sebuah kamp konsentrasi terbesar di dunia dengan 2 juta orang penduduk Pelestina. Pada tahun 2020, UNICEF memperkirakan hanya 10 persen penduduk Gaza yang memiliki akses langsung terhadap air minum yang bersih dan aman, sedangkan 90 persen sisanya tidak memiliki akses terhadap air minum (lihat Report of the Special Rapporteur on the human rights to safe drinking water and sanitation A/78/253, paragraf 47).
Dengan alasan bahwa Israel melindungi hak hidup penduduknya, Israel telah memblokir masuknya 70 persen bahan-bahan yang diperlukan untuk pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas pasokan air minum dan instalasi pengolahan limbah, yang semakin memperburuk keadaan. Tindakan Israel tersebut telah menghalangi terwujudnya hak atas air dan sanitasi bagi warga Palestina, dengan alasan bahwa bahan-bahan tersebut dapat digunakan untuk keperluan militer.
Air dapat menjadi senjata selama konflik bersenjata.
Penguasaan atas Air, baik oleh negara maupun aktor non-negara, dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendapatkan atau mempertahankan kendali atas wilayah dan populasi atau sebagai sarana untuk menekan kelompok lawan. Sehingga air dapat menjadi senjata untuk menekan dan mempertahankan kendali atas suatu wilayah karena terjadinya asimetri kekuasaan. Kesepakatan antar pihak, kadang-kadang dicapai di bawah tekanan asimetri kekuasaan yang signifikan, yang mengakibatkan tercipta kondisi ketidaksetaraan. Sehingga bukannya menyelesaikan konflik, malah memperpanjang konflik dan mempersulit pihak yang paling lemah untuk memenuhi hak-hak mereka.
Salah satu bentuknya adalah Perjanjian Interim Israel-Palestina mengenai Tepi Barat dan Jalur Gaza, dimana asimetri kekuatan yang timbul dari kekuatan militer Israel menghalangi penerapan prinsip-prinsip hukum internasional, sehingga mengakibatkan ketimpangan akses terhadap air di wilayah pendudukan Palestina. Berdasarkan Perjanjian tersebut, 80 persen air dialokasikan untuk keperluan Israel, sementara hanya 20 persen diperuntukkan bagi warga Palestina. Hal ini tidak hanya membatasi realisasi hak asasi manusia bagi warga Palestina tetapi juga melanggengkan konflik yang bersifat kronis. (lihat The Allocation of Water Resources in the OPT, Including East Jerusalem – Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights (A/HRC/48/43), paragraf 19).
Patut diingat, bahwa tekanan hak atas air bagi warga Palestina sudah terjadi sejak dimulainya pendudukan pada tahun 1967. Dimana tiga sumber utama air tawar alami di Wilayah Palestina, yaitu: Sungai Yordan, akuifer pesisir, dan akuifer pegunungan dikuasai di bawah yurisdiksi militer Israel (Perintah Militer No. 92, tahun 1967). Bahkan Israel melarang warga Palestina untuk membangun instalasi air baru atau memelihara instalasi yang sudah ada tanpa izin militer. Perintah ini masih berlaku dan hanya berlaku bagi warga Palestina, dan tidak bagi pemukim Israel, yang diatur berdasarkan hukum Israel (lihat A/HRC/48/43, paragraf 18).
Perusahaan Mekorot, milik pemerintah Israel (Kementerian Energi dan Otoritas Air Israel), telah mengambil alih kepemilikan seluruh sistem pasokan air di Tepi Barat sejak tahun 1982. Menurut informasi yang diberikan oleh Negara Palestina, perusahaan tersebut terus mengoperasikan puluhan sumur, saluran pipa dan saluran air utama, serta waduk-waduk di area ekslusif kekuasaan militer Israel (Area C) yang mengambil air dari wilayah Palestina dan menyediakan layanan bagi pemukiman Israel di Tepi Barat (lihat A/HRC/48/43, paragraf 18).
Air dapat menjadi korban konflik.
Ketika sumber daya air, sistem air atau tenaga kerja di fasilitas air menjadi korban yang disengaja atau tidak disengaja atau menjadi sasaran kekerasan. Serangan yang menargetkan terhadap infrastruktur sipil, baik sumber air, sistem atau instalasi pengolahan air, dan sistem distribusi air akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius dan melanggar hukum kemanusiaan internasional.
Sebagai contoh tindakan Israel dalam membanjiri terowongan bawah tanah dengan air laut dalam Konflik yang terjadi di Palestina. Padahal menurut perkiraan Koordinator Kemanusiaan untuk Wilayah Pendudukan Palestina Lynn Hastings, maka tindakan Israel yang membanjiri terowongan dengan air laut akan menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur air dan sanitasi yang sudah rapuh di Gaza, sehingga mengurangi akses masyarakat terhadap air bersih di Gaza. Tak hanya itu, infiltrasi air laut ke daratan dapat berdampak pada generasi mendatang, karena membahayakan sistem akuifer, yang menjadi sumber air minum utama bagi warga Gaza. Jika air telah didesalinasi untuk masyarakat di Gaza, maka hal ini dapat membahayakan ekosistem Gaza yang sudah sangat rapuh, dan bahkan ada risiko runtuhnya bangunan dan jalan, karena meningkatnya tekanan dan infiltrasi air laut ke Gaza.
Banyak pelapor khusus PBB lainnya yang memberikan tanggapan negatif atas tindakan Israel membanjiri sistem akuifer dengan air laut. Menurut Pelapor khusus PBB untuk hak atas air, Pedro Arrojo-Agudo, membandingkannya dengan legenda penggaraman Romawi di ladang Kartago untuk membuat wilayah saingan kuno mereka tidak dapat dihuni. Pelapor hak asasi manusia dan lingkungan hidup, David Boyd, mengatakan kerusakan satu-satunya pasokan air di Gaza akan menjadi “bencana besar” bagi lingkungan dan hak asasi manusia. Selain itu, menurut Mark Zeitoun (direktur Geneva Water Hub dan profesor di Geneva Graduate Institute), air laut yang dipompa ke dalam terowongan sepanjang ratusan kilometer yang melintasi tanah berpasir dan berpori di Gaza pasti akan meresap ke dalam akuifer yang 85% airnya telah menjadi andalan 2,3 juta penduduknya selama ini. Tindakan Israel dianggap sebagai langkah terbaru, dalam sejarah panjang tindakan Israel, yang selama puluhan tahun telah menargetkan pasokan air bagi warga Palestina.
Sebelumnya, pasukan pendudukan Israel juga menutup mata air yang ada di wilayah Palestina dengan mengerahkan buldoser dan truk mixer untuk menuangkan semen ke sumber air saat menyerang wilayah Palestina. Meskipun, serangan atau tindakan yang menargetkan infrastruktur air masyarakat sipil, termasuk instalasi pengolahan, sistem distribusi dan sumber air merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Menurut Lynn Hastings, kekuatan militer Israel di Palestina, bertanggung jawab untuk melindungi penduduk sipil Palestina. Dimana Israel harus memenuhi kebutuhan dasar atau memastikan akses kemanusiaan bagi masyarakat sipil yang membutuhkan. Selain itu, meskipun Israel akan mengizinkan truk kemanusiaan untuk mencapai perbatasan antara Mesir dan Gaza, menurut Lynn Hasting itu tidaklah cukup. Menurutnya Israel perlu memastikan bahwa kondisi di Gaza juga sedemikian rupa sehingga seluruh bantuan kepada semua orang yang membutuhkan dapat dikirimkan tanpa adanya hambatan.
Akses terhadap air adalah hak asasi manusia. Sehingga, setiap Negara tidak diperkenankan untuk mempengaruhi hak asasi manusia atas air di Negara lain. Bahkan, ada kebutuhan mendesak untuk setiap Negara untuk bekerja sama dalam upaya melindungi dan melestarikan sumber daya air. Kerja sama di bidang air membuka jalan bagi kerja sama dalam menghadapai semua tantangan secara bersama-sama. Dalam hal inilah, peringatan hari air sedunia menyerukan agar setiap Negara harus menggunakan air sebagai alat untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera bagi semua orang.