Bagian 1 Seri Konservasi: Mengenang Tragedi Satwa (Lindung) di Indonesia
Secara nasional, kebijakan konservasi terhadap satwa dan tumbuhan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDHE). Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik). Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konsevasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
Karenanya upaya konservasi atau perlindungan terhadap jenis satwa dan tumbuhan liar menjadi salah satu pilar penting dalam upaya mewujudkan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Status konservasi untuk satwa menurut UUKSDAHE dikelompokan menjadi dua, yakni satwa dilindungi dan tidak dilindung. Jenis satwa yang dilindungi adalah yang berada dalam bahaya kepunahan dan atau populasinya jarang.
Penetapan status lindung pada spesies tertentu merupakan bentuk perlindungan terhadap satwa dalam rangka mencegah terjadinya kepunahan spesies. Status kepunahan adalah suatu kondisi dimana individu terakhir dari suatu spesies benar-benar sudah tidak ditemukan lagi di alam. Misalnya seperti yang dialami spesies harimau jawa, harimau bali dan merpati pengembara (pingeon passenger).
Namun, meski telah mendapatkan status dilindungi, namun beberapa hewan seperti harimau sumatera, gajah sumatera, buaya muara, beruang madu dan orang utan masih saja terus terancam oleh ulah manusia. Berbagai tragedi dalam perlindungan satwa menjadi bukti, bahwa upaya konservasi yang telah berjalan di negeri ini masih “jauh panggang dari api”.
Tragedi yang menimpa seekor Orangutan bernama Pony, misalnya. Tragis, mungkin hanya itulah kata yang dapat menggambarkan nasib memilukan yang menimpa Pony. Pada tahun 2003 silam, Pony diketahui disiksa untuk menjadi pemuas nafsu lelaki. Pony yang sejak masih bayi diambil dari hutan dan dibesarkan hanya untuk disiksa kembali. Bulu-bulu Pony dicukur setiap hari dan berulang kali melayani lelaki pengunjung rumah bordil. Pony juga dipaksa memakai perhiasan, parfum dan belajar untuk berputar ketika “klien” mendekat. Setelah Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundatian (BOSF) dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama dengan pasukan militer serta 35 polisi bersenjata diturunkan, akhirnya Pony bisa diselamatkan. Pony kemudian mendapatkan rumah barunya di Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo, Nyaru Menteng. Pony menerima perawatan yang sangat dibutuhkan dan memulai menjalani rehabilitasinya. Pada tahun 2005, Pony ditempatkan di Pulau Bangamat untuk rehabilitasi lanjutan (pra-release), dengan tujuan agar satwa dapat hidup lebih mandiri.
Kisah memilukan yang dialami satwa seperti Pony, kenyataanya tak kunjung berakhir. Pada tahun 2015 sebuah harian nasional pernah mengulas 5 cerita nestapa yang menimpa satwa lindung Indonesia. Seperti satwa Kucing Hutan, Lutung Jawa, Beruang Madu, Orang Utan, dan Harimau Sumatera. Tragisnya, peristiwa yang menimpa hewan-hewan malang tersebut dipamerkan di media sosial (facebook) seolah menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
Sikap tersebut adalah cermin perilaku antroposentris. Dimana manusia merasa sebagai puncak penguasa alam dan menganggap makhluk hidup lainnya tidak penting, atau sebatas untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan manusia semata. Sikap yang keliru ini juga digambarkan dengan rasa bangga setelah membunuh makhluk hidup lainnya, misalnya dengan memamerkannya di media sosial. Manusia seolah ingin menunjukan superioritas atau supremasinya dengan merasa posisinya sebagai penguasa makhluk hidup lainnya. Hal ini mirip dengan kekeliruan yang telah terjadi seabad lalu, yaitu peristiwa pembantaian Bison di Amerika pada tahun 1880-an.
Itulah salah satu penyebab yang mungkin dapat menjelaskan, mengapa penyiksaan dan pembunuhan satwa lindung masih terus terjadi. Masyarakat harus disadarkan kembali, bahwa manusia hanyalah satu komponen lingkungan hidup dalam suatu kesatuan lingkungan hidup yang tidak terpisahkan dan saling berinteraksi antara satu komponen dengan komponen lainnya, termasuk di dalamnya komponen flora, fauna dan seluruh ekosistemnya. Sehingga manusia harus menghargai seluruh komponen lainnya (selain manusia), baik itu kehidupan makhluk hidup lainnya (biotik) maupun komponen lingkungan abiotik dalam suatu lingkungan hidup yang harmonis. Dengan kata lain, masyarakat harus sadar, bahwa perlindungan terhadap kenekaragaman hayati, khususnya jenis satwa lindung yang telah terancam punah, adalah bagian dari upaya untuk menjaga keberlanjutan seluruh kehidupan (termasuk masyarakat di dalamnya) yang lebih baik.
Tragedi yang menimpa satwa lindung tak berakhir di tahun 2015 saja. Beberapa peristiwa memilukan yang diulas diharapkan menjadi refleksi kita bersama dalam rangka memperingati hari konservasi nasional yang diperingati setiap tanggal 10 agustus dan hari gajah sedunia yang jatuh setiap tanggal 12 agustus.
Gajah Yongki
Yongki adalah Gajah jinak lulusan Pusat Latihan Gajah Way Kambas, Lampung. Yongki didatangkan dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai gajah penghalau konflik antara gajah dan manusia, justru mati terbunuh oleh manusia di “rumahnya sendiri” pada September 2015. Pada saat ditemukan, posisi kedua kaki depannya terikat disertai lenyapnya sepasang gadingnya. Terlihat jelas bekas kucuran darah karena gadingnya dicabut secara paksa. Berita duka Yongki tak hanya dimuat di media nasional saja, namun banyak media asing yang juga turut memberitakan kabar duka yang menimpa Yongki.
GAJAH ERIN
Erin adalah nama dari seekor anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) betina yang kehilangan sebagian belalainya akibat jerat pemburu gajah. Erin ditemukan oleh Tim Elephant Response Unit (ERU) Way Kambas pada tahun 2016. Erin kemudian dievakuasi tim dan dibawah ke Rumah Sakit Gajah (RSG) Prof Dr Rubini Atmawidjaja di Pusat Pelatihan Gajah TNWK. Bagian belalai ialah bagian yang biasa digunakan gajah untuk meraih tumbuhan atau buah-buahan untuk dimakan. Gajah malang itu tentunya akan kesulitan mencari makan sendiri untuk selama-lamanya.
Tragedi duka juga terdengar pada Maret 2016. Dimana dihadapan penegak hukum (BKSDA), warga memotong-motong harimau yang telah mati ditembak, dikuliti, lalu dibagi-bagikan untuk dibawa pulang warga. Menurut keterangan, pada awalnya harimau terkena jerat babi yang dipasang warga Dolok Hajoran, Desa Silantom Julu, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Lalu harimau lepas jeratan dan lari ke perkampungan kemudian ditembak mati. Kala petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Padang Sidempuan datang, meminta bahkan ingin membeli harimau mati itu, tak diperbolehkan.
Pada 21 Agustus 2016, akun bernama “Rosi Kuale” mengunggah foto seekor beruang madu yang mati dengan luka di lehernya (maaf: digorok). Meskipun penyelidikan menunjukan peristiwa memilukan itu terjadi di Serawak Malaysia, namun pelakunya adalah orang Indonesia. BKSDA melacak alamat pemilik akun di Desa Sei Nilam, Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas.
Orang Utan Kalimantan
Pada awal tahun 2017 publik diramaikan dengan adanya foto yang menunjukan pembantaian dan proses dimasaknya orang utan oleh warga. Adalah Yayasan BOSF Nyaru Menteng yang menerima laporan yang dilengkapi dengan sejumlah foto. Menurut Humas BOSF, kejadian pembantaian tersebut terjadi pada akhir Januari 2017 di areal perusahaan kelapa sawit di Desa Tumbang Puroh, Kecamatan Sei Hanyo, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Pada tahun yang sama, peristiwa yang tak kalah memilukan juga terjadi terhadap Gajah di Desa Karang Ampar, Ketol, Aceh Tengah. Dimana seekor gajah ditemukan mati akibat ditembak oleh senjata api di kebun warga pada Juli 2017. Gajah itu diduga mati diracun dan juga ditembak oleh senjata api berjenis senapan serbu laras panjang AK 56.
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad