Umat Islam menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan meskipun harus menahan lapar dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Kegembiraan ini terwujud dalam bentuk hidangan saat bulan Ramadhan yang selalu hadir lebih bervariasi dibandingkan dengan hari biasa. Sebagian orang menjadikan hidangan tersebut sebagai reward karena telah berhasil menjalankan puasa sehari penuh.
Namun, reward tersebut seringkali berakhir menjadi sampah. Makanan yang mulanya dihidangkan sebagai penghargaan kini berubah menjadi punishment bagi manusia dengan semakin parahnya resiko krisis iklim. Dilansir dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia merupakan penyumbang sampah makanan terbesar kedua setelah Arab Saudi dengan total mencapai 13 juta ton per tahun. Volume sampah makanan yang terbuang semakin meningkat ketika memasuki bulan Ramadhan. Tahun 2016 di Jakarta terjadi peningkatan volume sampah dari 6.610 ton per hari menjadi 7.073 ton per hari (“Selama Ramadhan Terjadi Peningkatan Volume Sampah di Jakarta”, Kompas.com, 03.07/2016). Sedangkan pada tahun 2019 di Jakarta Barat saja terjadi peningkatan sampah dari 1,4 ton per hari menjadi 1,7 ton per hari (“Jumlah Sampah di Jakarta Barat Naik pada Minggu Pertama Ramadhan”, Kompas.com, 16/05/2019). Sebagian besar sampah didominasi oleh sampah makanan dan hampir setiap bulan Ramadhan terjadi peningkatan volume sampah.
Ketimpangan Pangan
Menurut Thomas Robert Malthus dalam “Essay on Population”, peningkatan populasi menyebabkan kekurangan ketersediaan bahan pangan. Apabila dihadapkan pada kondisi saat ini, Global Food Security Index tahun 2020 menyatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia berada di posisi ke-65 dari 113 negara. Posisi tersebut masih berada di bawah Negara tetangga seperti Malaysia di peringkat ke-43 dan Thailand di peringkat ke-51.
Mengutip pernyataan Harari dalam ‘Homo Deus’, sebagian besar kematian di masa depan lebih banyak disebabkan oleh kekenyangan dibandingkan kelaparan.
Mengutip pernyataan Harari dalam ‘Homo Deus’, sebagian besar kematian di masa depan lebih banyak disebabkan oleh kekenyangan dibandingkan kelaparan. Artinya kemelimpahan makanan di dunia dapat terpenuhi. Prediksi tersebut pun meruntuhkan teori Malthus tentang kurangnya ketersediaan pangan. Indonesia, negara dengan jumlah populasi terbesar ke-4 dunia, mempunyai budaya membuang sampah makanan dalam jumlah yang besar. Budaya berlebih-lebihan ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki ketersediaan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya. Fenomena tersebut menunjukkan teknologi telah mampu menyokong kebutuhan pangan manusia.
Membaca kemampuan teknologi yang mendukung ketersediaan pangan, ternyata masih ditemukan kondisi kelaparan yang tidak mampu dijangkau oleh teknologi. Namun, menurut Asian Development Bank tahun 2019 pada laporan “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development during 2020-2045” menyatakan bahwa masih ada 22 juta masyarakat Indonesia yang menderita kelaparan kronis. Laporan ini mempertegas bahwa teknologi belum mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial. Kegelisahan ini juga menjadi perhatian dari Ahmad Nashih Luthfi (“Puasa dan Zakat dalam Kelompok Rentan”, Kompas, 20/04/2021) yang menyoroti bahwa ternyata momen Ramadan belum mampu mengajak manusia khususnya umat muslim untuk membangun sistem dunia yang melindungi kelompok dhuafa. Meminjam frasa “survival of the fittest” dari teori evolusi, fenomena tersebut tampaknya tidak lagi relevan dan berganti menjadi “survival of the wealthiest”. Maka dari itu diperlukan sebuah sistem yang jelas dari pihak yang berwenang untuk menyusun regulasi yang menghapuskan berbagai jenis ketimpangan.
Krisis Iklim dan Ramadan
Apabila frasa “survival of the wealthiest” benar-benar terjadi dan tidak ada perbaikan sistem yang menghapus ketimpangan yang ada, mungkin dunia masih mampu bertahan dihuni oleh mereka yang ‘berkecukupan’. Namun faktanya ketimpangan yang terjadi telah melahirkan fenomena berlebih-lebihan seperti pada kasus sampah makanan. Fenomena ini akan berdampak pada krisis iklim yang dapat membidik siapa saja tanpa memandang golongan.
Apabila frasa “survival of the wealthiest” benar-benar terjadi dan tidak ada perbaikan sistem yang menghapus ketimpangan yang ada, mungkin dunia masih mampu bertahan dihuni oleh mereka yang ‘berkecukupan’.
Sampah sisa makanan adalah salah satu jenis sampah yang menghasilkan emisi gas metana. Metana (CH4) merupakan gas yang jangka waktu keberadaannya lebih pendek di atmosfer (±12 tahun) dibandingkan karbon yang dapat mencapai 200 tahun. Namun, berbanding terbalik dengan masa keberadaanya yang pendek, metana 25 kali lebih kuat dalam memperparah pemanasan global. Maka kebiasaan masyarakat yang boros terhadap makanan harus dihentikan.
Puasa Ramadan seharusnya menjadi momen refleksi bagi umat muslim untuk menerjemahkan kembali makna berpuasa. Makna puasa ‘shiyam’ yaitu menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, seharusnya bulan Ramadhan menjadi momen untuk perbaikan diri. Berpuasa tidak sebatas menahan nafsu dan syahwat ketika siang hari, melainkan menjaga diri agar tidak melakukan hal yang dibenci oleh Allah. Salah satu hal yang tidak disukai oleh Allah adalah berlebih-lebihan (Al-A’raf : 31). Umat muslim dapat memulai langkahnya dengan variasi hidangan yang tidak berlebih-lebihan saat berbuka puasa. Agar meminimalisir potensi sampah makanan yang dihasilkan, sehingga turut serta meminimalisir risiko terjadinya krisis iklim.
Selain melindungi bumi dari kerusakan lingkungan, maka sikap hidup secukupnya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, juga diharapkan mampu mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi.
Editor: Faisol Rahman
Referensi
Asian Development Bank. (2019). Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045. Filipina: Asian Development Bank.
Azhari, J. R. (2019, 05 16). Kompas.com. Retrieved 04 20, 2021, from Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/16/20140081/jumlah-sampah-di-jakarta-barat-naik-pada-minggu-pertama-ramadhan
Belarminus, R. (2016, 07 03). Kompas.com. Retrieved 04 20, 2021, from Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2016/07/03/21494811/selama.ramadhan.terjadi.peningkatan.volume.sampah.di.jakarta
Hayid, M. N. (2018, Maret 25). Nu Online. Retrieved April 24, 2021, from NU Online: https://islam.nu.or.id/post/read/87713/hakikat-makna-puasa-menurut-imam-ghazali
Luthfi, A. N. (2021, April 20). Kompas.id. Retrieved April 24, 2021, from Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/04/20/puasa-dan-zakat-dalam-kelompok-rentan/
The Economist Intelligent Unit. (2020). The Economist Intelligent Unit. Retrieved 2021, from The Economist Intelligent Unit: http://country.eiu.com/Indonesia/ArticleList/Updates/Economy