Kajian Kritis terhadap Pendapat Frank Fisher mengenai Analisis Dampak dan Krisis Lingkungan: ke Arah Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berdampak secara sistemik terhadap perkembangan ekonomi hingga ke ranah sosial maupun politik. Perkembangan kemajuan teknologi ini secara logis telah membawa dampak sangat besar, misalnya perkembangan dasar pandangan terhadap dunia modern serta ideologi yang mengubah garis kehidupan tradisional menuju kapitalisme dan sosialisme.
Teknologi kenyataanya bagaikan dua sisi mata uang, mesti ada sisi untung dan ruginya. Sisi merugikan diataranya adalah dampak dari teknologi yang bersifat membahayakan. Baik yang bersifat fisik, misalnya pencemaran, bencana maupun kegagalan sistem. Misalnya, Fischer (1990) mencontohkan terjadinya bencana akibat meledaknya reaktor nuklir Three Mile Island di Amerika Serikat dan Bhopal di India. Untuk itu benar-benar diperlukan suatu analisis dampak (risk assessment) yang bertujuan untuk menyajikan informasi secara obyektif mengenai kelayakan dari suatu teknologi, baik dari sisi teknis maupun lingkungan. Analisis dampak (risk assessment) harus mencerminkan perpaduan antara permasalahan manajerial dan metode rekayasa serta dengan mengintegrasikan faktor fisik dan manusia yang dapat didefinisikan dengan konsep kesatuan rasionalitas teknis (Schwarz dan Thompson 1989: 102-122).
Dalam penggunaanya, teknologi mempunyai risiko fisik yang bersifat simbolik dan biasanya terpisah dari konteks sosial, khususnya terkait dengan persepsi. Dalam istilah analisis, resiko secara kuantitatif dinyatakan sebagai dampak yang diprakirakan akan terjadi yang ditentukan dalam bentuk tingkat bahaya ataupun kegagalan teknis, seperti resiko kematian atau kerusakan tertentu (Wynne 1987; Irwin dan Smith 1982; Covello dan Menkes. 1985). Meskipun dalam pelaksanaanya analisis dampak telah melibatkan kemungkinan kegagalan sistem, namun pada kenyataanya, analisis dampak secara teknis dianggap telah gagal memberikan solusi serta mengabaikan peran sosial dan faktor-faktor politik. Langkah pertama menuju solusi tersebut menurut Joerges (1988) adalah dengan lebih banyak mengenali sistem dalam fenomena sosial-institusional.
Restrukturisasi Analisis Dampak: Menuju Pendekatan Partisipatif
Untuk mencari format analisis dampak secara lebih demokratis, terutama dalam kaitannya dengan permasalahan politik, maka harus diadakan perubahan pola techno-birocratic yang kurang hirarkis menjadi struktur yang lebih demokratis (Fischer 1990). Contohnya adalah pendekatan “Constructive Technology Assessment ” (CTA), seperti yang telah dikembangkan oleh Organisasi Teknologi Belanda. CTA telah menawarkan beberapa details metodologi pada wacana pengambilan keputusan. Khususnya bagaimana mengatur dan melaksanakan hukum dalam menyelesaikan konflik dan penyelesaian sengketa.
Metode penyelesaian sengketa, seperti teknik mediasi, negosiasi dan membangun konsensus untuk menyelesaikan perselisihan. Negoisasi perlu melibatkan mediator yang netral untuk mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa, seperti anggota masyarakat, pengusaha, aktivis lingkungan, dan pejabat pemerintah dalam rangka membentuk sebuah kesepakatan di antara peserta. Proses ini mengarahkan pada komunikasi yang lebih baik. Mediatorlah yang memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan dari metode ini.
Partisipasi Para Ahli
Partisipasi para ahli diperlukan untuk “mendemokratisasikan” proses pengambilan keputusan berkaitan dengan dampak suatu kegiatan. Persyaratan terpenting yang harus dilakukan yaitu komitmen secara profesionalitas, khususnya pada permasalahan sosial, dengan partisipasi demokratis terhadap kemajuan dan pemberdayaan masyarakat.
Metode ini memberikan wewenang untuk mengorganisir suatu forum antara para ahli dengan masyarakat yang respek terhadap permasalahan lingkungan. Salah satu aksi yang dapat dilakukan adalah mengembangkan penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif dapat digunakan untuk memulai langkah alternatif terhadap suatu kegiatan sosial, termasuk mengembangkan teknologi alternatif dan gerakan-gerakan ekologis.
Penelitian partisipatif pada awalnya akan banyak dihadapkan pada kesulitan dalam menemukan permasalahan, baik yang bersifat sosial maupun interpersonal daripada permasalahan yang bersifat ilmiah. Metode ini membutuhkan banyak waktu dan komitmen politik untuk membangun keterampilan interpersonal ke dalam suatu proses pengambilan keputusan yang kompleks. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pendekatan analisis dampak yang bebasis komunitas adalah pemberdayaan. Hal ini dilakukan untuk mengintegrasikan pendapat masyarakat ke dalam suatu proses analisis (Wartenberg 1989: 23). Tujuan akhir adalah, agar masyarakat lebih mengetahui analisis dampak dari suatu kegiatan (Sandnan 1989; Merrifield 1989). Masyarakat diharapkan secara sistematis dapat memberikan informasi kepada penyusun analisis dampak mengenai permasalahan lingkungannya, sehingga dapat meningkatkan validitas dari analisis dampak yang akan dilakukan.
Kasus Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia
Harian Kompas (23/04/2010: Hal 13, Kolom 1) menurunkan sebuah tulisan yang cukup menggelitik mengenai persiapan teknis pendirian Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Berita harian tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut.
Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia terus mengembangkan teknologi dan persiapan teknis yang dibutuhkan untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga nuklir. Setelah gagasan di Semenanjung Muria, Jawa Tengah dan Madura Jawa Timur ditolak masyarakat, Badan Tenaga Nuklir Nasional kini mengkaji kelayakan Banten dan Bangka Belitung.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata mengatakan, Banten dan Bangka Belitung justru mengajukan diri menjadi lokasi PLTN. Daerah lain yang juga berminat menjadi lokasi PLTN adalah Kalimantan Timur. “Sebenarnya banyak kepala daerah yang berminat. Daerah-daerah ini umumnya sering bermasalah dengan tenaga listrik” Kata Suharna. Menurut Menristek, belum ada target waktu dan lokasi pembangunan PLTN baru. Saat ini pemerintah tengah menggalakkan sosialisasi pada masyarakat bahwa tenaga nuklir aman digunakan. Menurut undang-undang, PLTN harus sudah dikembangkan di Indonesia antara tahun 2015 – 2050.
Pada tulisan yang lain, Kompas.com (23//2/2008) juga menurunkan tulisan mengenai PLTN, yang berisi desakan dari para akademisi (pakar) untuk membatalkan pembangunan PLTN, yang secara rinci beritanya adalah sebagai berikut.
“Dua puluh dua akademisi dan tokoh masyarakat yang menamakan dirinya Masyarakat Peduli Bahaya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), mengeluarkan pernyataan sikap mendesak pemerintah membatalkan segala upaya membangun PLTN Fissi di Semenanjung Muria. Poin-poin pernyataan sikap tersebut, dengan pertimbangan Risiko PLTN Fissi Muria terlalu tinggi, tidak ada urgensi untuk membangun PLTN Fissi Muria, banyak sumber energi alternatif yang ramah lingkungan untuk dikembangkan di Indonesia dan adanya penolakan dari masyarakat Indonesia khususnya masyarakat setempat.”
Pernyataan tersebut disampaikan di akhir diskusi yang berlangsung lebih dari 4 jam, di Sekolah Tingggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Sabtu (23/2). Salah satu anggota forum tersebut, Romo Franz Magnis Suseno mengatakan forum ini akan segera menyampaikan pernyataan tersebut kepada pemerintah. “Kami tidak akan berbondong-bondong, atau teriak-teriak karena akademisi punya cara sendiri. Kami akan sampaikan pada pemerintah bahwa pembangunan PLTN ini berdampak pada masyarakat yang amat berkeberatan dengan rencana tersebut,” ujar Romo Magnis dalam jumpa pers usai diskusi.
Ditambahkan pula, meski tidak ada langkah konkrit yang ekstrim, dukungan dari masyarakat luas akan membuat orang-orang yang berencana membangun proyek PLTN akan berpikir keras. “Untuk merumuskan pernyataan ini, kami sudah melakukan proses dialog yang panjang,” lanjut dia. Beberapa anggota penggagas selain Romo Magnis, ada pula Sony Keraf (Wakil Ketua Komisi Energi DPR), Heru Nugroho (Sosiolog UGM), Saparinah Sadeli (Psikolog UI) dan Damardjati Supadjar (Filsuf UGM).
Tender proyek PLTN Fissi Muria ini direncanakan berjalan tahun 2008, dan tahap konstruksi direncanakan akan dimulai pada tahun 2010/2011. PLTN Murisa diproyeksikan akan memenuhi kebutuhan energi listrik 4000-6000 megawatt (MW) untuk tambahan pasokan energi listrik di Jawa-Bali.
Dalam tulisan yang lainnya, Kompas.com (23/02/2008) menurunkan tulisan mengenai keresahan masyarakat di sekitar rencana lokasi pembangunan PLTN dengan judul “ Warga Jepara Curhat PLTN”.
Masyarakat Balong, Jepara, Jawa Tengah resah. Keresahan mereka terkait adanya wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di wilayah mereka. Sumedia, salah seorang perwakilan Masyarakat Balong mengungkapkan hal tersebut dalam Forum Keprihatinan yang digagas para Akademisi dan Tokoh Masyarakat, di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Sabtu (23/2). “Dari awal tidak ada pemberitahuan dari pemerintah daerah, tiba-tiba kami melihat ada alat-alat berat yang katanya untuk membangun PLTN. Kami menyatakan menolak, karena saat ini pembangunan PLTN di Balong belum terlalu dibutuhkan,” cerita Sumedi.
Meskipun sekarang di lokasi yang direncanakan akan dibangun PLTN tidak dijumpai lagi alat-alat berat, menurut Sumedi warga sering melihat adanya rapat-rapat yang diadakan di Balong. “Tapi rapat apa nggak tahu. Makanya kami mohon dukungan semua pihak agar rencana tersebut jangan sampai terlaksana,” lanjut dia.
Sebuah Analisa
Mencermati beberapa berita di harian Kompas dan Kompas.com mengenai pro-kontra rencana pembangunan PLTN di Indonesia, sepertinya kita menyimak dan merasakan suatu tarik ulur antara dua kepentingan besar dalam dua kutub yang berlawanan. Di satu pihak, pemerintah sangat ingin membangun proyek pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut dengan alasan pasokan kebutuhan energi listrik yang sangat mendesak untuk beberapa tahun kedepan. Terbukti, sampai-sampai pemerintahpun menerbitkan sebuah UU yang kemudian digunakan sebagai power untuk mendukung proyek tersebut agar tetap jalan sebagaimana mestinya. Rencana tersebut ternyata banyak diamini oleh kepala daerah di Indonesia, seperti Banten, Bangka-Belitung sampai Pemda Kalimantan Timur. Mereka menggunakan pragmatisme yang sama, yaitu kebutuhan akan energi listrik yang terus bertambah dan kekurangan pasokan listrik saat ini.
Sebenarnya, kalau kita merunut kembali pendapai Fischer di atas, dapat dipahami bahwa perkembangan iptek memang telah berdampak sistemik serta telah mengubah kehidupan modern menuju kapitalisme. Dimana orientasi kehidupan modern sudah mulai bergeser dengan menghambakan nilai-nilai kapital semata. Sehingga yang kemudian menjadi target pencapaian adalah keuntungan kapital, dengan kadang-kadang mengorbankan manusia dan lingkungannya. Teknologi, apalagi teknologi nuklir, memang seperti dua mata pisau, bisa menguntungkan ataupun merugikan. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah rencana pembangunan PLTN yang akan dilakukan pemerintah Indonesia memang benar-benar sudah merupakan kebutuhan riil yang nyata serta sudah dikaji secara matang baik dari segi teknis dan lingkungan termasuk manusia di dalamnya. Fischer (1990) telah mencontohkan terjadinya beberapa kegagalan reaktor nuklir di dunia, seperti di Three Mile Island ataupun di Bhopal yang kemudian berdampak sangat serius kepada lingkungan sekitarnya.
Kajian risk assessment PLTN yang akan dibangun tersebut, harusnya mencerminkan perpaduan antara permasalahan manajerial, metode rekayasa nuklir serta mengintegralkan faktor lingkungan fisik dengan manusia, yang menurut Schwarz (1998) dedefinisikan dengan konsep kesatuan rasionalis teknis. Dalam penggunaanya, teknologi mempunyai risiko fisik yang bersifat simbolik dan biasanya terpisah dari konteks sosial, khususnya terkait dengan persepsi. Dalam istilah analisis, resiko secara kuantitatif dinyatakan sebagai dampak yang diprakirakan akan terjadi yang ditentukan dalam bentuk tingkatan bahaya ataupun kegagalan teknis, seperti resiko kematian atau kerusakan tertentu (Wynne 1987; Irwin dan Smith 1982; Covello dan Menkes. 1985). Apakah resiko-resiko tadi juga sudah dipikirkan masak-masak oleh pemerintah, karena ini tentunya menyangkut keselamatan dan nyawa ratusan atau bahkan ribuan orang yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tersebut.
Disisi yang lain, masyarakat beserta para supporternya, seperti; penggiat lingkungan, para pakar, tokoh-tokoh masyarakat, serta beberapa anggota legislatif yang masih punya concern, secara bersama-sama menjadi penjaga gawang agar proyek ambisius ini tidak jadi di bangun.
Pendekatan-pendekatan seperti yang digunakan oleh CTA mungkin dapat diadopsi untuk mengatasi konflik kepentingan berkaitan dengan pembangunan PLTN. Khususnya bagaimana mengatur dan melaksanakan hukum dalam menyelesaikan konflik dan penyelesaian sengketa. Metode penyelesaian sengketa, Seperti menggunakan teknik mediasi, negosiasi dan membangun konsensus untuk menyelesaikan perselisihan harusnya dikedepankan, daripada kemudian menjadikan konflik tersebut menjadi konflik terbuka dan saling menyerang. Memang dalam hal ini diperlukan suatu forum mediasi antara pemerintah sebagai pihak yang akan melakukan pembangunan dengan masyarakat di pihak lainnya. Para pihak tersebut harusnya secara intens melakukan dialog secara jujur sehingga dapat dicapai kata sepakat yang terbaik.
Mendasarkan pada berita dari Kompas.com di atas, sepertinya partisipasi para ahli untuk mendemokratisasikan proses pengambilan keputusan sudah dijalankan, misalnya dengan adanya pertemuan/forum antara para pakar dengan masyarakat untuk berdialog mengatasi dampak yang mungkin terjadi. Bahkan mereka sudah melakukan move-move dengan mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan PLTN tersebut. Namun sayangnya forum yang telah dibentuk oleh para pakar tadi belum sepenuhnya melibatkan pemerintah sebagai decision maker untuk duduk bersama dalam satu forum.
Kesimpulan
Mendasarkan permasalahan di atas maka penulis dapat memberikan kesimpulan dan personal view sebagai berikut.
Seharusnya pemerintah benar-benar melakukan kajian yang komprehensif terhadap rencana pembangunan PLTN tersebut, baik dari sisi teknis (keselamatan reaktor), aspek sosial budaya, kesehatan, politik, hankam termasuk kajian resiko terburuk apabila terjadi force major sebagai akibat bencana alam dan kegagalan reactor. Termasuk kajian apakah Indonesia nantinya akan mampu membuat suku cadang PLTN tersebut? Kalau tidak, berarti tingkat ketergantungan Indonesia nantinya akan menjadi sangat tinggi terhadap teknologi negara asing.
Kepala daerah, meskipun mereka setuju dan menghendaki pembangunan PLTN tersebut di daerahnya, belum tentu pendapat tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakatnya, sehingga diperlukan penelitian partisipatif yang nantinya dapat digunakan untuk mengetahui keinginan dan kemauan masyarakat yang sebenarnya. Apabila dikemudian hari ternyata timbul protes dan keberatan dari masyarakat, maka harus selalu diupayakan pemecahan masalah dengan cara-cara pesuasif (alternative dispute resolution) melalui mediasi dengan mengedepankan win-win solution.
Selanjutnya, diperlukan kajian analisis dampak yang bersifat komprehensif dan partisipatif dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Serta kajian-kajian dampak yang bersifat teknis. Apabila dalam kajian analisis dampak kemudian diketahui bahwa dari sisi lingkungan, PLTN tidak layak didirikan maka harus ada upaya untuk melakukan class action ke Mahkamah Konstitusi agar UU mengenai energi nuklir dapat dibatalkan. Dan yang lebih utama sebenarnya adalah terus mengupayakan alternative sumber energy terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan kehidupan manusia, seperti energy angin, energy matahari ataupun energi lainnya.
Ahsan Nurhadi
Peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM