Seri Konservasi: Duka Satwa di Bulan Ramadhan
Berita duka tentang kematian tiga ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) akibat terjerat tali baja (sling) di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh semakin menambah panjang daftar kematian satwa dilindungi di Provinsi Aceh. Sebelumnya di bulan agustus tahun 2021, Tiga harimau sumatera (1 ibu dan 2 anaknya) juga ditemukan mati di kawasan hutan Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan.[i] Pada tahun 2020, juga ditemukan seekor harimau yang tewas setelah memakan daging kambing yang telah dilumuri racun insektisida pada 28 Juni 2020 di perkebunan warga di Kecamatan Trumon, Aceh Selatan.[ii]
Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan penuh berkah bagi seluruh umat Islam untuk memperbanyak ibadah dan berbuat kebajikan (ihsan) seolah tampak menjadi paradoks di tanah berjuluk Serambi Mekah, dengan adanya berita tentang kematian harimau sumatera disana.
Perlindungan spesies tertentu merupakan bentuk perlindungan terhadap satwa dalam rangka mencegah terjadinya kepunahan spesies. Status kepunahan adalah suatu kondisi dimana individu terakhir dari suatu spesies benar-benar sudah tidak ditemukan lagi di alam. Misalnya seperti yang dialami spesies harimau jawa, harimau bali dan merpati pengembara (pingeon passenger). Namun, meski telah mendapatkan status dilindungi, namun beberapa hewan seperti harimau sumatera, gajah sumatera, buaya muara, beruang madu dan orang utan masih saja terus terancam oleh ulah manusia. Ironis memang, jika satwa yang seharusnya berstatus mendapatkan perlindungan malah bernasib sebaliknya, seperti yang menimpa harimau sumatera.
Ajaran Islam sesungguhnya telah memberikan pandangan agar umatnya melestarikan lingkungan hidup. Dimana Bumi dan Langit adalah karunia dan nikmat dari Allah SWT untuk manusia (Al-Baqarah [2]:29); (Al-Mulk [67]:15); (QS. Lukman: 20), yang harus senantiasa dilestarikan dan terpelihara agar dapat bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Bahkan peran manusia, yang dalam Islam disebut khalifah (Al-Baqarah [2]:30), sejatinya adalah sebagai makhluk yang didelegasikan Allah SWT bukan hanya sekadar sebagai penguasa di bumi akan tetapi juga dalam peranannya untuk memakmurkan seisi bumi. Agama Islam telah melarang dengan tegas, perilaku yang dapat mengakibatkan kerusakan di Bumi, dimana Firman Allah SWT, yaitu:[iii]
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56)
قَدْ عَلِمَ كُلُّ اُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۗ كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مِنْ رِّزْقِ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. Al-Baqarah [2]:60)
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash [28]:77)
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ ۚ
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS al-Syuara’ [26]:183)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Al-Rum [30]:41)
Pengaturan Pelestarian Satwa Dilindungi Hukum dan Ajaran Islam
Secara nasional, kebijakan konservasi terhadap satwa dan tumbuhan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDHE). Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik). Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konsevasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Karenanya upaya konservasi atau perlindungan terhadap jenis satwa dan tumbuhan liar menjadi salah satu pilar penting dalam upaya mewujudkan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Baca dalam: MENGENANG TRAGEDI SATWA (LINDUNG) INDONESIA (Bag: 1) dan (Bag: 2)
Selaras dengan ajaran Islam, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menetapkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Fatwa MUI) No.14 tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Keseimbangan Ekosistem. Berdasarkan ajaran Islam, maka dalam fatwa tersebut MUI memutuskan, antara lain, yaitu setiap makhluk hidup memiliki hak untuk melangsungkan kehidupannya dan didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan manusia.
Selain itu MUI juga memutuskan, wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk memperlakukan satwa langka dengan baik (ihsan), dengan jalan melindungi dan melestarikannya guna menjamin keberlangsungan hidupnya. Upaya tersebut dapat dilakukan, dengan jalan: a. menjamin kebutuhan dasarnya, seperti pangan, tempat tinggal, dan kebutuhan berkembang biak; b. tidak memberikan beban yang di luar batas kemampuannya; c. tidak menyatukan dengan satwa lain yang membahayakannya; d. menjaga keutuhan habitat e. mencegah perburuan dan perdagangan illegal; f. mencegah konflik dengan manusia; g. menjaga kesejahteraan hewan (animal welfare).
Terpenting, MUI telah memutuskan, bahwa Haram hukumnya bagi umat muslimin untuk membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu, dan/atau melakukan tindakan yang mengancam kepunahan satwa langka hukumnya haram kecuali ada alasan syar’i, seperti melindungi dan menyelamatkan jiwa manusia. Bahkan diharamkan bagi kaum muslimin untuk melakukan perburuan dan/atau perdagangan illegal satwa langka.
Fatwa Pelestarian Satwa dapat menjadi pedoman bagi umat Islam di Indonesia untuk senantiasa melestarikan satwa dilindungi, termasuk sebagai pedoman bagi manusia untuk mengatasi adanya konflik antara manusia dengan satwa yang menyebabkan kematian kematian satwa dilindungi, seperti Gajah, harimau,orang utan, mamalia, aves, Reptil serta ciptaan Allah SWT lainnya.[iv] Ajaran Islam memang telah menegaskan, bahwa tidak ada satupun ciptaanNya yang sia-sia bagi manusia, sebagaimana Fimran Allah:
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Al-Imran [3]:191)
Islam sesungguhnya telah mengajarkan pemeluknya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya sebagai salah satu ciptaan Allah SWT. Di dalam Al Qur’an Allah SWT mengingatkan manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini, termasuk satwa, sebagai amanat yang mesti dijaga. Dimana manusia tidak pula memiliki hak tak terbatas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Bahkan, Islam tidak membenarkan manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun sebagai objek eksperimen sembarangan.
Nabi telah mengajarkan bahwa sikap dan tindakan manusia terhadap binatang akan menentukan nasib mereka di akhirat. Sebuah hadits mengisahkan:[v] “Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut.” (HR. Muslim no. 2245). Namun sebaliknya bila manusia dzalim kepada binatang, maka Rasululah SAW bersabda: “Seorang wanita disiksa karena ia mengurung seekor kucing hingga mati dan wanita itu pun masuk neraka; wanita tersebut tidak memberi kucing itu makan dan minum saat dia mengurungnya dan tidak membiarkannya untuk memakan buruannya.” (H.R. Bukhari)
Foto: 3 Harimau yang ditemukan mati terjerat sling baja di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (24/4/2022) [vi]
Berbuat baik kepada binatang merupakan sebuah perintah, karena binatang bagian dari alam sebagaimana manusia. Oleh karenanya, ada perintah berbuat baik dan kasih sayang kepada manusia juga bermakna sama berbuat baik dan kasih sayang kepada binatang. Keberadaan binatang sebagai bagian alam memiliki nilai penting pada setiap masa dan berbuat baik terhadapnya dengan cara memberikan perlindungan dari kepunahan dalam ajaran Islam diganjar pahala. Ajaran Islam menegaskan bahwa binatang mempunyai hak untuk berlindung dan dijaga kelestariannya. Islam mengajarkan untuk berbuat baik pada setiap makhluk termasuk pula hewan.
Pendekatan agama, seperti melalui Fatwa MUI diharapkan secara efektif mampu memberikan perubahan persepsi dan kesadaran pada masyarakat (Clement et al, 2010; McKay et al, 2014).[vii] Pendekatan melalui tuntunan ajaran agama Islam ini dilakukan karena lokasi penyebaran satwa langka pada umumnya berada pada kantong-kantong dimana masyarakat Muslim memegang ajaran keyakinannya dengan kuat, seperti bumi serambi mekah.
Semoga kedepannya ajaran islam tentang melestarikan satwa serta adanya Fatwa MUI dapat disosialisasikan secara lebih intensif melalui para pemuka masyarakat informal yang dihormati di tingkat akar rumput, seperti pemuka agama dan/ atau pemimpin adat dan/ atau orang yang dituakan dalam komunitas masyarakat setempat. Harapannya, dapat semakin menggugah kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian satwa, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, khususnya bagi umat muslimin di nusantara. Semoga…
[i] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/25/terkena-jerat-tiga-harimau-sumatera-di-aceh-selatan-mati
[ii] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/07/02/harimau-di-aceh-selatan-mati-diracun-insektisida/
[iii] https://litequran.net/
[iv] Bagian Menimbang dalam Fatwa MUI No 14 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Keseimbangan Ekosistem
[v] Fachruddin M Mangunjaya; Hayu S Prabowo; Imran SL Tobing; Ahmad Sudirman Abbas; Chairul Saleh; Sunarto; Mifta Huda; dan Taufik Mei Mulyana, Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem: Penuntun Sosialisasi Fatwa MUI No 4, 2014, tentang Fatwa Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Eksosistem, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia, (MUI) Pusat, 2017
[vi] https://assetd.kompas.id/G4EwFbwHpJJcK5X_1RWOa4HJI30=/1200×900/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F25%2F63f588fb-be55-4bbc-a6ad-81845361b24b_jpeg.jpg
[vii] Fachruddin M Mangunjaya; Hayu S Prabowo; Imran SL Tobing; Ahmad Sudirman Abbas; Chairul Saleh; Sunarto; Mifta Huda; dan Taufik Mei Mulyana, Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem: Penuntun Sosialisasi Fatwa MUI No 4, 2014, tentang Fatwa Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Eksosistem, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia, (MUI) Pusat, 2017