Peringatan Hari Alam/ Kehidupan Liar Sedunia (World Wildlife Day)
Setiap tanggal 3 Maret yang diperingati sebagai World Wildlife Day (Hari Alam/ Kehidupan Liar Sedunia) adalah hari diadopsinya Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1973, yang berperan penting dalam perdagangan internasional sehingga tidak mengancam kelangsungan hidup spesies. Konvensi CITIES tetap menjadi salah satu negara yang paling alat yang ampuh untuk konservasi satwa liar, dengan keikutsertaan 184 Pihak (183 negara + Uni Eropa)[1] serta telah menetapkan status, setidaknya lebih dari 142,500 spesies flora dan fauna yang terancam kelestariannya (The IUCN Red List).[2]
Pada tanggal 20 Desember 2013, sesi ke-68 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations General Assembly), dalam resolusinya PBB 68/205 telah mencanangkan World Wildlife Day menjadi hari yang dirayakan secara internasional oleh PBB. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran di seluruh dunia terhadap kelestarian flora dan fauna liar.
Lihat dokumen penetapan sesi ke-68 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam: (https://undocs.org/A/C.2/68/L.48)
Sekretariat CITES dalam Press releasenya menyatakan telah bekerja sama dengan organisasi lainnya, untuk memfasilitasi pelaksanaan Hari Kehidupan Liar Sedunia pada tahun 2022 dengan tema “Recovering key species for ecosystem restoration” (Memulihkan spesies kunci untuk restorasi ekosistem).[3] Harapannya adalah untuk meningkatkan perhatian seluruh dunia terhadap status konservasi beberapa spesies flora dan fauna liar yang paling terancam punah dan untuk mendorong perhatian yang lebih besar sehingga dapat memberikan solusi untuk kelestariannya.
Lihat dalam (https://www.un.org/en/observances/world-wildlife-day)
Lingkungan Alam (Wildlife) Yang Semakin Terancam
Selain kewajiban moral sebagai umat manusia untuk melestarikan kehidupan di Bumi, kenyataanya manusia sangatlah bergantung pada hasil hutan atau jasa lingkungan yang telah disediakan oleh alam, mulai dari makanan dan air tawar hingga pengendalian polusi dan penyimpanan karbon. Dengan merusak alam atau lingkungan hidup, telah kita mengancam kesejahteraan kita sendiri.
Flora dan fauna yang hidup di alam liar memiliki nilai intrinsik dan berkontribusi pada aspek ekologi, genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi dan estetika kesejahteraan manusia serta pembangunan berkelanjutan yang tidak terhitung nilainya.
Saat ini, kehidupan liar di seluruh dunia terancam dalam bahaya. Kerusakan turut mengakibatkan ancaman terhadap habitat serta kepunahan keanekaragaman hayati flora dan fauna.
Pada tahun 2019 organisasi riset antarpemerintah yang bernaung dalam PBB telah menyusun laporan berjudul “Global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services” (Laporan IPBES Tahun 2019), setebal 1148 halaman. Berdasarkan laporan yang disusun lebih dari 450 peneliti dengan menelaah 15.000 laporan ilmiah tersebut mengungkapkan, bahwa keadaan alam atau lingkungan hidup di seluruh dunia semakin memburuk, sehingga menurunkan kontribusi alam dalam menopang keanekaragaman hayati sekaligus memberikan manfaat dan jasa lingkungan bagi manusia.[4] Menurut para peneliti, lima pendorong utama yang menyebabkan perubahan bencana di planet antara lain, perubahan penggunaan lahan dan laut, eksploitasi organisme, perubahan iklim, polusi dan spesies invasif adalah faktor utama di balik hilangnya keanekaragaman hayati.[5]
Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar 1 juta spesies hewan dan tumbuhan yang ada di dunia rentan menghadapi ancaman kepunahan (threatened with extinction), yang paling besar terjadi dalam dekade terakhir, dimana tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Kelimpahan rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat daratan utama telah turun setidaknya 20%, sebagian besar sejak 1900. Lebih dari 40% spesies amfibi, hampir 33% karang pembentuk terumbu, dan lebih dari sepertiga mamalia laut dalam status menghadapi ancaman kepunahan (threatened). Sedangkan spesies serangga, bukti yang tersedia mendukung adanya perkiraan tentatif, yakni 10% menghadpi ancaman kepunahan (threatened). Setidaknya 680 jenis spesies vertebrata sejak abad ke-16 telah mendekati kepunahan (driven to extinction) dan lebih dari 9% dari semua mamalia peliharaan yang dapat dikembang-biakan (breed) untuk makanan dan pertanian telah mendekati kepunahan (become extinct) pada tahun 2016, dengan setidaknya 1.000 breed (spesies yang dapat dikembang-biakan atau dikultivasi) lainnya menghadapi ancaman kepunahan.[6]
Lihat Laporan IPBES dalam: (Global assessment report on biodiversity and ecosystem services)
Pada tahun 2021, laporan berjudul The State of the Word’s Trees diterbitkan oleh Botanic Gardens Conservation International (BCGI), menyebutkan secara global sekitar 30 persen dari total spesies pohon atau setara dengan 17.500 spesies pohon menghadapi risiko kepunahan (Risk of extinction).[7] Laporan dari BGCI juga mengungkapkan, bahwa 1 dari 5 jenis pohon secara langsung dimanfaatkan oleh manusia, untuk makanan, bahan bakar, kayu, obat-obatan, hortikultura, dan lainnya. Ancaman terbesar yang dihadapi pohon adalah pembukaan lahan untuk pertanian dan pemanenan pohon, diikuti oleh tindakan eksploitasi berlebihan dari penebangan dan pemanenan. Laporan tersebut menemukan bahwa 1 dari 3 pohon yang saat ini dipanen untuk diambil kayunya terancam punah. Perubahan iklim dan cuaca ekstrem merupakan ancaman yang muncul bagi spesies pohon secara global. Setidaknya 180 spesies pohon terancam secara langsung oleh kenaikan permukaan laut dan peristiwa cuaca buruk.
Lihat Laporan BCGI dalam: (the State of the World’s Trees Report)
Pada tahun 2022, menurut update data terbaru dari International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species, maka tingkat ancaman kepunahan terhadap keanekaragaman hayati cenderung semakin meningkat.[8] Dimana lebih dari 40.000 spesies terancam punah. Selain itu, estimasi spesies yang menghadapi ancaman kepunahan (threatened species) disetiap grup, adalah: cycads (sejenis pakis) 63% (63-64%); amfibi 41% (34-51%); dicots tertentu (birches; cacti; magnolias; maples; oaks; protea family; southern beeches; teas) 39% (34-45%); ikan hiu, pari dan hiu hantu (sharks, rays & chimeras) 37% (32-46%); konifera (conifers) 34% (34-35%); batu karang (reef-forming corals) 33% (27-44%); crustaceans tertentu (seperti lobster dan kepiting) 28% (17-56%); mamalia 26% (23-37%); reptil 21% (18-33%); serangga tertentu (dragonflies & damselflies) 16% (11-40%); burung 13% (13-14%); beberapa gastropods (abalones, cone snails) 10% (8-23%); bony fishes tertentu 6% (5-22%); cephalopods (nautiluses; octopuses; squids) 1.5% (1-57%).[9]
Mengenal Peran Spesies Kunci?
Secara khusus, World Wildlife Day pada tahun 2022 menyoroti pentingnya Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem (2021-2030). Dimana terdapat kebutuhan mendesak untuk membalikkan nasib spesies yang paling terancam punah (the most critically endangered species), untuk mendukung pemulihan habitat dan ekosistemnya. Sekaligus mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan spesies tersebut oleh umat manusia.
Ekosistem hanya dikatakan sehat ketika spesies yang menjadi komponennya berkembang dengan baik. Meskipun hanya satu spesies kunci yang menghilang, seluruh ekosistem dapat mulai menurun dan mati. Inilah sebabnya, mengapa tindakan untuk melindungi spesies kunci secara individual (keystone species) harus berjalan seiring dengan pemulihan seluruh ekosistem.
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Interaksi spesies menyebabkan aliran material dalam suatu ekosistem. Pada hewan maka proses yang paling umum adalah makan, respirasi (pernapasan), ekskresi (pengeluaran sisa metabolisme dalam pencernaan hewan), dan egestion (pengeluaran sisa makanan dalam pencernaan hewan). Sedangkan bagi tumbuhan, mereka adalah penyerapan air dan nutrisi oleh akar, respirasi, dan fotosintesis. Keluaran bahan dari satu spesies atau organisme seringkali menjadi masukan bagi makhluk hidup lainnya. Inilah yang melahirkan istilah “what eats what”, sehingga membentuk pola, misalnya rantai makanan, jaring makanan, dan siklus makanan. Hilangnya suatu jenis makhluk hidup sebagai mata rantai dalam jaring makanan dapat mengancam keberadaan makhluk hidup lainnya.[10]
Konsep spesies kunci mengandaikan bahwa spesies tertentu memainkan peran penting dalam menjaga integritas dan stabilitas dalam jaringan ekosistem. Analisis jaring makanan menunjukkan bahwa struktur dunia kecil (small-world) adalah bersifat umum, yang artinya, bahwa sebagian besar spesies hanya berinteraksi dengan sejumlah kecil spesies lainnya, tetapi konektivitas jaring secara keseluruhan dipertahankan oleh beberapa spesies yang berinteraksi dengan sejumlah besar spesies lainnya. Inilah yang memberikan dasar teoretis untuk gagasan adanya “spesies kunci”.[11]
Kepunahan hewan vertebrata misalnya, dapat menjadi indikator bencana bagi keseimbangan ekosistem. Fauna burung, monyet, dan kelelawar juga menjadi hewan kucin untuk penyebaran biji-biji tumbuhan di hutan tropis. Pohon yang mereka tanam menjadi regulator iklim, menyerap CO2, dan menghasilkan oksigen untuk manusia bernapas. Jadi, berkat merekalah hutan tumbuh serta air bersih dan siklus hidrologi dapat berlangsung. Kepunahan juga mengancam invertebrata dan serangga. Kepunahan serangga dapat berakibat fatal karena mereka merupakan agen penyerbuk, menyilangkan benang sari dan putik. Tanpa spesies tersebut maka penyerbukan tanaman buah-buahan bisa terancam. Petani kelapa sawit harus mempertahankan serangga penyerbuk, tapi terkadang secara tidak sadar membunuh serangga ini akibat penggunaan pestisida untuk membasmi hama.
Foto: Gajah merupakan salah satu hewan kunci yang bermanfaat bagi penyebaran biji-bijian dan pertumbuhan tanaman baru dalam ekosistem hutan.
Peringatan World Wildlife Day di Indonesia
Indonesia dikaruniai 19 keanekaragaman tipe ekosistem alami, yang tersebar dan terbagi menjadi 74 tipe vegetasi yang tersebar di seluruh Bioregion. Variasi ekosistem tersebut mengindikasikan adanya potensi kekayaan keanekaragaman hayati atau flora dan fauna.[12] Indonesia merupakan rumah bagi 11% dari keseluruhan jenis tumbuhan di dunia, lebih dari 40% jenis moluska, 12% dari keseluruhan mamalia, 17% dari keseluruhan burung (peringkat 1 dunia), 24% dari jenis amphibia, 32% dari seluruh reptilia, dan lebih dari 45% dari keseluruhan spesies ikan di dunia.[13] Sebagai salah satu negara dengan nilai keanekaragaman hayati (kehati) tertinggi dunia, maka peringatan World Wildlife Day dapat bermanfaat untuk kembali mengingatkan kembali adanya kebutuhan mendesak untuk memerangi kejahatan terhadap flora dan fauna yang ada di alam liar serta kejahatan konservasi, yang memiliki dampak luas terhadap aspek ekonomi, lingkungan dan sosial.
Meskipun sulit untuk dapat mendeskripsikan signifikansi hilangnya satu spesies dalam kompleksitas jutaan keanekaragaman hayati yang saling terkait. Namun, telah dipastikan, bahwa manusia tidaklah dapat mengembalikan spesies yang telah punah. Salah satu upaya yang saat ini dapat diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan upaya konservasi adalah segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUK).[14]
Lihat dalam: (Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2020)
Perayaan World Wildlife Day menjadi kesempatan merayakan berbagai keindahan flora dan fauna liar yang beragam dalam rangka meningkatkan kesadaran konservasi dan manfaat yang diberikan kepada manusia. Hal tersebut selaras dengan langkah pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan khususnya Tujuan 1 (Tanpa Kemiskinan), 2 (Nol kelaparan) 12 (Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan), 13 (Climate Action) 14 (Kehidupan di Bawah Air) dan 15 (Kehidupan di Darat) sebagai keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat merupakan landasan bagi pembangunan berkelanjutan.
Marilah kita berupaya untuk melestarikan kekayaan keanekaragaman hayati nusantara, sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan ekosistem global. Sehingga dapat terus memberikan manfaat yang tak ternilai dan tak tergantikan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Catatan: Postingan media dengan hashtags #WorldWildlifeDay
[1] Lihat dalam CITIES List of Contracting Parties: (https://cites.org/eng/disc/parties/chronolo.php), diakses tanggal 27 Februari 2022
[2] Lihat dalam (https://www.iucnredlist.org/), diakses tanggal 27 Februari 2022
[3] Sumber: (https://cites.org/eng/Recovering_Key_Species_Ecosystem_Restoration_WorldWildlifeDay_theme_CITES_15112022)
[4] IPBES (2019): Global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. E. S. Brondizio, J. Settele, S. Díaz, and H. T. Ngo (editors). IPBES secretariat, Bonn, Germany. 1148 pages. https://doi.org/10.5281/zenodo.3831673
[5] IPBES (2019): Global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. E. S. Brondizio, J. Settele, S. Díaz, and H. T. Ngo (editors). IPBES secretariat, Bonn, Germany. 1148 pages. https://doi.org/10.5281/zenodo.3831673
[6] IPBES (2019): Global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. E. S. Brondizio, J. Settele, S. Díaz, and H. T. Ngo (editors). IPBES secretariat, Bonn, Germany. 1148 pages. https://doi.org/10.5281/zenodo.3831673
[7] Lihat lebih lanjut dalam: (https://www.bgci.org/news-events/bgci-launches-the-state-of-the-worlds-trees-report/)
[8] Lihat dalam: (https://www.iucnredlist.org/resources/summary-statistics)
Catatan: Jumlah spesies yang terdaftar di setiap Kategori Daftar Merah berubah setiap kali Daftar Merah IUCN diperbarui. Untuk setiap pembaruan Daftar Merah, IUCN memberikan ringkasan jumlah spesies di setiap kategori, menurut kelompok taksonomi, dan menurut negara.
[9] Lihat dalam: (https://www.iucnredlist.org/resources/summary-statistics)
[10] Lihat dalam Jorgensen, S.E.; Fath, Brian. 2008. Encyclopedia of Ecology. London: Elsevier Science.
[11] Lihat dalam Jorgensen, S.E.; Fath, Brian. 2008. Encyclopedia of Ecology. London: Elsevier Science.
[12] Lihat dalam: (https://balaikliringkehati.menlhk.go.id/kehati-indonesia/ikhtisar-kehati-indonesia/)
[13] Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2020
[14] Lihat dalam: (https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/17/menanti-revisi-undang-undang-konservasi)
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad