Peringatan hari kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, berdekatan dengan hari bumi yang diperingati tanggal 22 April. Sehingga dapat menjadi momentum untuk mengulas sejauh mana pengakuan atas peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup atau perubahan iklim.
Secara internasional, pada tanggal 26 maret 2022, Komisi PBB tentang Status Perempuan dalam sidang ke 66 (The 66th session of the Commission on the Status of Women/ CSW66) mengakui peran penting perempuan sebagai agen perubahan untuk pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam menjaga lingkungan dan mengatasi dampak buruk akibat perubahan iklim[i]. Sebelumnya, CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1979 telah menegaskan pembangunan partisipasi maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di segala bidang.
Selain itu, sejak tahun 2015 PBB juga secara explisit mengakui, bahwa partisipasi dan kepemimpinan perempuan yang setara dalam kehidupan politik dan publik sangat penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGS). Hal tersebut menjadi salah satu tujuan SDGS, yang kelima untuk mencapai kesetaraan gender (Achieve gender equality and empower all women and girls) pada tahun 2030. UNFCCC juga telah mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki, dalam kebijakan iklim yang responsif gender, melalui suatu agenda khusus yang menangani masalah gender dan perubahan iklim, termasuk menuangkannya dalam Perjanjian Paris.
Namun kenyataannya, sampai saat ini perempuan masih kurang terwakili dalam semua tingkat pengambilan keputusan di seluruh dunia. Dimana pencapaian kesetaraan gender dalam kehidupan politik masih jauh dari ideal.
Menurut data UN women PBB, sampai dengan tanggal 1 September 2021, hanya terdapat 26 perempuan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan/atau Pemerintahan di 24 negara. Sedangkan untuk menteri perempuan hanya mencapai 21 persen, dengan 14 negara yang mencapai 50 persen atau lebih perempuan di kabinet. Selain itu hanya 25 persen dari semua anggota parlemen nasional adalah perempuan. Hanya empat negara yang memiliki 50 persen atau lebih perempuan di parlemen dan sebanyak 19 negara telah mencapai atau melampaui 40 persen[ii].
Sedangkan di Indonesia, menurut publikasi “Profil Perempuan Indonesia 2021” yang dipublikasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tanggal 30 Maret tahun 2022, maka Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki ditunjukkan oleh persentase kepala rumah tangga laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan. Secara nasional menunjukkan 84,18 persen kepala rumah tangga adalah laki-laki sedangkan sisanya 15,82 persen adalah perempuan[iii].
Lebih lanjut menurut Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), meskipun perbandingan jumlah PNS perempuan dan laki-laki secara keseluruhan sudah seimbang, namun masih terjadi ketimpangan gender pada level jabatan pimpinan tinggi (JPT) di birokrasi Indonesia. Saat ini diketahui, pada level JPT Madya (eselon I) baru sekitar 17% yang dijabat oleh perempuan dan pada level JPT Pratama (eselon II) baru mencapai 14%[iv]. Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), jumlah anggota wanita di DPR RI pada periode 2019-2024 mencapai 118 orang, atau sekitar 20,5 persen dari total 575 anggota terpilih[v].
Foto: Seorang Perempuan Sehabis Mengambil Pakan Ternak Sebagai Rutinitas Hariannya. (Dok PSLH)
Mengapa Peran Perempuan Penting?
Tak dipungkiri, apabila dampak negatif akibat perubahan iklim telah dapat dirasakan, seperti dalam jangka pendek melalui terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor, banjir dan angin topan. Sedangkan dalam jangka panjang, melalui degradasi lingkungan yang lebih bertahap. Dampak buruk dari peristiwa ini sudah dirasakan di banyak bidang, termasuk yang berkaitan dengan, antara lain, pertanian dan ketahanan pangan; keanekaragaman hayati dan ekosistem; sumber air; kesehatan manusia; pemukiman dan pola migrasi manusia; serta energi, transportasi dan industri.
Dalam banyak konteks, maka perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim daripada laki-laki. Dimana komposisi penduduk miskin dunia lebih banyak perempuan dan mata pencaharian perempuan lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam oleh perubahan iklim. Lebih jauh lagi, perempuan telah menghadapi hambatan sosial, ekonomi dan politik yang membatasi kapasitas atau kemampuan perempuan dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi. Perempuan dan laki-laki di daerah pedesaan di negara berkembang sangat rentan ketika mereka sangat bergantung pada sumber daya alam lokal untuk mata pencaharian mereka. Perempuan yang bertanggung jawab untuk mengamankan air, makanan dan bahan bakar untuk memasak dan memanaskan menghadapi tantangan terbesar. Kedua, ketika digabungkan dengan akses yang tidak setara ke sumber daya dan proses pengambilan keputusan, mobilitas terbatas menempatkan perempuan di daerah pedesaan pada posisi di mana mereka secara tidak proporsional terpengaruh oleh perubahan iklim.
Perempuan tidak hanya rentan terhadap perubahan iklim, tetapi perempuan merupakan aktor atau agen perubahan yang efektif dalam kaitannya dengan mitigasi dan adaptasi. Perempuan seringkali memiliki pengetahuan dan keahlian yang kuat yang dapat digunakan dalam strategi mitigasi perubahan iklim, pengurangan bencana dan adaptasi. Lebih lanjut, tanggung jawab perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat, sebagai pengelola sumber daya alam dan rumah tangga, memposisikan mereka dengan baik untuk berkontribusi pada strategi mata pencaharian yang disesuaikan dengan realitas lingkungan yang berubah.[vi]
Sebagai ilustrasi, untuk menggambarkan secara lebih sederhana tentang urgensi kesetaraan dan kerentanan perempuan dalam perubahan iklim, maka dapat melihat kasus kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng yang masih terus berlangsung sampai sekarang.
Foto: Kasus Antrean Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia[vii]
Dalam foto diatas, memperlihatkan lebih banyak perempuan yang mengantre minyak goreng murah daripada laki-laki. Mengapa perempuan rela mengantre selama berjam-jam, berdesakan, dan menghadapi sengatan matahari untuk mendapatkan minyak goreng yang lebih murah? Lalu mengapa bukan lelaki yang lebih banyak mengantre? Hal tersebut sesungguhnya adalah akibat dari ketidakpekaan gender. Dalam kasus minyak goreng tersebut, ketidakpekaan telah mengakibatkan perempuan menjadi korban yang lebih terdampak daripada laki-laki.
Selain itu, Perempuan juga menjadi aktor utama dalam mengatasi terjadinya kelangkaan atau sulitnya akses mendapatkan minyak goreng murah daripada laki-laki. Pada prinsipnya, usaha yang dilakukan adalah demi memastikan ketersediaan makanan yang terbaik, kepada anggota keluarganya (food accessibility). Telah diakui apabila perempuan memainkan peran kunci dalam menjaga keempat pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Mereka adalah produsen pangan dan pertanian; serta “gatekeepers” yang rela mendedikasikan waktu, pendapatan, dan pengambilan keputusan mereka sendiri untuk menjaga keamanan pangan dan gizi rumah tangga dan komunitas mereka serta sebagai pengelola stabilitas pasokan makanan pada saat kesulitan ekonomi.[viii]
Sudah selayaknya, apabila proses pengambilan keputusan terkait minyak goreng misalnya, lebih menjamin kesetaraan gender. Bila diperlukan, bahkan dapat melibatkan lebih banyak kaum perempuan daripada kaum laki-laki saat pengambilan keputusan. Agar dampak yang ditimbulkannya tidak cenderung gender atau mayoritas lebih dirasakan oleh para perempuan saja.
Ilustrasi kasus minyak goreng diatas tak jauh berbeda dengan masalah gender dan perubahan iklim. Dimana banyak aspek kehidupan manusia yang terkait erat dengan peranan perempuan yang dapat terpengaruh karena atau berlangsungnya perubahan iklim. Kebutuhan atas sumber daya air yang terancam akibat perubahan iklim misalnya, dimana hampir di seluruh belahan dunia Selatan, pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan atas air adalah pekerjaan perempuan, tanggung jawab yang sering dimiliki oleh anak-anak, terutama anak perempuan.[ix] Tanpa adanya strategi gender dalam pengambilan keputusan, maka kebijakan yang diambil tidak dapat mengakomodir secara optimal, antisipasi terhadap peran dan kerentanan gender sebagaimana kasus minyak goreng.
Aspek-aspek lainnya yang juga terkait erat dengan gender dan perubahan iklim antara lain, yaitu: pertanian dan ketahanan pangan; keanekaragaman hayati; kesehatan; perubahan pemukiman dan pola migrasi akibat degradasi lingkungan; energi; teknologi; pembiayaan mitigasi, adaptasi dan teknologi serta tindakan darurat akibat bencana alam karena perubahan iklim. Oleh karena itulah, penting untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan strategi yang sensitif gender dalam menanggapi berbagai krisis lingkungan dan kemanusiaan akibat perubahan iklim.
Momentum hari kartini dan hari bumi yang berlangsung diharapkan dapat menegaskan kembali pengakuan, sekaligus mendorong langkah nyata untuk mewujudkan kesetaraan gender, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kesepakatan yang telah disepakati oleh Negara-negara Anggota PBB dalam sidang ke 66 Komisi Kesetaraan Perempuan PBB adalah landasan bagi pemerintah untuk tetap selalu konsisten mempromosikan partisipasi dan kesetaraan gender secara penuh dan bermakna, dalam kepemimpinan, pengambilan keputusan, perencanaan dan perancangan program serta berbagai implementasi kebijakan perubahan iklim, lingkungan dan antisipasi risiko bencana iklim. Semoga.
[i] Lihat dalam: https://www.unwomen.org/en/news-stories/press-release/2022/03/press-release-un-commission-on-the-status-of-women-reaffirms-womens-and-girls-leadership-as-key-to-address-climate-change-environmental-and-disaster-risk-reduction-for-all
[ii] Lihat dalam: https://www.unwomen.org/en/what-we-do/leadership-and-political-participation/facts-and-figures
[iii] Lihat dalam: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/26/3813/profil-perempuan-indonesia-tahun-2021
[iv] Lihat dalam: https://ekbis.sindonews.com/read/616885/34/pns-perempuan-yang-jadi-pejabat-masih-di-bawah-20-1638454372
[v] Lihat dalam: https://jateng.tribunnews.com/2022/04/21/peringati-hari-kartini-puan-berharap-wanita-indonesia-terus-gaungkan-kesetaraan
[vi] Baca lebih lanjut dalam: (https://www.un.org/womenwatch/feature/climate_change/factsheet.html)
[vii] Sumber Foto: (https://money.kompas.com/read/2022/02/03/122656426/serbu-minyak-goreng-murah-emak-emak-antre-berjam-jam-sejak-pagi?page=all)
[viii] Lihat dalam: https://www.un.org/womenwatch/feature/ruralwomen/overview-food-security.html
[ix] Nagel, Joane., Gender and climate change-impacts, science, policy, Routledge (2016), hlm.35