Secara historis, gerakan konservasi global berdasarkan pada konsep pembangunan kawasan konservasi atau kawasan lindung yang terbebas dari gangguan atau kehidupan manusia. Namun semakin banyak bukti telah menunjukkan, bahwa saat ini masyarakat adat dan/atau komunitas lokal di sekitar kawasan konservasi, baik hutan maupun perairan, telah diakui mampu menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem disekitarnya. Masyarakat adat bahkan diakui menjadi yang terbaik dalam menjaga kehidupan satwa liar, dimana sebanyak 80% keanekaragaman hayati yang tersisa dari hutan di seluruh dunia berada di dalam wilayah masyarakat adat.
Masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities) telah diakui memiliki tradisi panjang dalam mengelola dan mengekstraksi sumber daya alam tanpa mengorbankan proses dan fungsi ekologis. Keberhasilan masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan alamnya antar generasi, telah dicapai tanpa adanya larangan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan sebagai sumber penghidupannya. Metode tersebut sangat bertolak belakang dengan catatan kelam konservasi konvensional, yang melarang, bahkan tak jarang mengusir masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitarnya untuk meninggalkan kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development of the Indigenous Peoples of Latin America and the Caribbean (FILAC), telah banyak fakta-fakta yang telah membuktikan, bahwa masyarakat adat di wilayah Amerika Selatan dapat menjaga hutan dengan baik, dimana tingkat deforestasi yang terjadi lebih rendah 50% daripada di tempat lainnya. Publikasi tersebut karenanya menyarankan, bahwa dukungan kepada masyarakat adat untuk mengendalikan, mengelola secara berkelanjutan, dan mengambil manfaat dari hutan dapat sangat membantu memecahkan masalah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan budaya, kerentanan pedesaan, dan kerawanan pangan.
Laporan publikasi oleh FAO dan FILAC mendeskripsikan tiga kasus sebagai gambaran pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Pertama, Hutan Kemasyarakatan di Meksiko (the Petcacab Ejido di Quintana Roo). Dimana pada 1980-an, Pemerintah Meksiko memelopori kebijakan yang mendukung usaha masyarakat untuk menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya. Konsesi penebangan oleh perusahaan dihapuskan dan pemerintah kemudian memberikan dukungan keuangan dan teknis bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Hasilnya, komunitas Maya Petcacab di Quintana Roo telah memanen kayu secara berkelanjutan selama hampir empat puluh tahun. komunitas Petcacab telah memiliki 51.176 hektar, dimana 80 persennya adalah kawasan hutan. Nilai ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat dari penjualan hasil hutan pada tahun 2016, diperkirakan sebesar USD 1,7 juta. Pengalaman Meksiko menunjukkan bahwa kebijakan yang mendukung pengelolaan hutan masyarakat adat dapat melestarikan hutan dan menyediakan mata pencaharian dalam skala besar. Itu membutuhkan hak atas tanah dan hutan yang aman, serta investasi publik, peraturan perundangan yang mendukung, dan dukungan dari dunia usaha.
Kasus kedua adalah kebijakan pembayaran jasa lingkungan di Ekuador (Program Socio Bosque). Ekuador termasuk di antara setengah lusin negara Amerika Latin yang membayar masyarakat adat untuk merawat hutannya. Pada tahun 2008 ia menciptakan Program Socio Bosque untuk melestarikan hutan, mengurangi emisi, dan meningkatkan kondisi kehidupan. Socio Bosque memberikan dana kepada masyarakat untuk proyek-proyek lokal. Sebagai imbalannya, masyarakat setuju untuk tidak bertani, menebang kayu, atau berburu di suatu daerah selama dua puluh tahun. Sejauh ini, 196 komunitas telah menerima pembayaran untuk melestarikan 1.450.000 hektar. Tingkat deforestasi rata-rata di distrik tempat Socio Bosque bekerja turun lebih dari 80 persen antara tahun 2008 dan 2016 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, di kabupaten lain di negara itu, laju deforestasi meningkat. Sebagian besar penduduk desa yang baru-baru ini disurvei mendukung partisipasi komunitas mereka di Socio Bosque. Mereka mengatakan Socio Bosque mengurangi invasi ke wilayah mereka, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas organisasi lokal, meningkatkan partisipasi dalam kegiatan komunitas sukarela, dan memperkuat rantai nilai lokal. Membayar wilayah adat untuk jasa lingkungan berbeda dengan membayar petani individu. Program seperti Socio Bosque harus menekankan penguatan tata kelola wilayah dan kapasitas untuk tindakan kolektif, daripada memberi kompensasi kepada masyarakat atas uang yang mereka hilangkan dengan membuka hutan untuk pertanian.
Ketiga, Manajemen Pembakaran Hutan Adat di Brasil (Program PREVFOGO). Pada tahun 2014, Brasil mengadopsi kebijakan pengelolaan kebakaran yang mengakui manfaat praktik kebakaran adat seperti pembakaran terkendali dan menetapkan program kebakaran terpisah untuk wilayah adat dan quilombolos (PREVFOGO), yang mencakup lebih dari 17 juta hektar. Masyarakat adat di wilayah sabana Amerika Selatan telah menggunakan api selama lebih dari 4.000 tahun untuk mendaur ulang nutrisi, berburu, memancing, mengendalikan hama dan ular, menginduksi pembungaan, melakukan upacara, memotong jalan, dan menjaga bahan yang mudah terbakar agar tidak menumpuk. Pengetahuan tradisional tentang cara mengelola kebakaran dapat melindungi hutan.
PREVFOGO sebagian didasarkan pada kolaborasi di Mato Grosso antara pemerintah dan tetua adat untuk merancang rencana pengelolaan kebakaran yang menggabungkan pengetahuan tradisional. Dalam tiga tahun pertama PREVFOGO mengurangi kebakaran pada akhir musim kemarau di tiga wilayah besar, hingga lebih dari setengahnya. Dialog antarbudaya antara pejabat publik dan anggota masyarakat adat dapat memperkaya kebijakan pemerintah. Tidak mudah untuk mengatasi prasangka berabad-abad tentang komunitas, budaya, dan praktik tradisional, tetapi semua orang diuntungkan ketika semua itu terwujud.
Menurut hasil studi lainnya, oleh Kathryn Baragwanath dan Ella Bayi, disimpulkan bahwa melalui pengakuan kepemilikan wilayah hutan adat kepada masyarakat adat secara penuh, telah terbukti menjadi cara yang efektif untuk mencegah meningkatnya laju deforestasi hutan. Studi tersebut menggambarkan, bahwa masyarakat adat yang memiliki wilayah adat secara penuh di Hutan Amazon di Brasil telah terbukti mampu menurunkan deforestasi tahunan sebesar 66% dalam wilayah adatnya, dalam menghadapi ancaman deforestasi di Amazon yang telah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2019. Sehingga studi tersebut membuktikan kemampuan pengelolaan lahan hutan yang jauh lebih baik, apabila dibandingkan dengan pengelolaan lahan yang tidak dimiliki oleh masyarakat adat. Meskipun dampak positif mungkin bersifat lokal, namun hasil penelitian menunjukkan, bahwa pengakuan terhadap wilayah adat tidak hanya sebagai upaya memenuhi hak asasi manusia, tetapi juga merupakan cara yang hemat biaya bagi pemerintah dalam rangka melestarikan kawasan hutan adat.
Studi terbaru yang dilakukan pada kawasan konservasi perairan di Indonesia, juga semakin memperkuat keberhasilan masyarakat adat dalam melindungi kawasan konservasi. Para peneliti menemukan, bahwa jumlah biomassa di kawasan yang dikuasai secara berkelanjutan oleh masyarakat adat lebih besar, apabila dibandingkan dengan kawasan yang dikelola oleh negara yang mengandalkan hukuman untuk setiap pelanggaran. Para peneliti juga menyarankan, bahwa mengizinkan masyarakat adat untuk mengelola kawasan konservasi laut (KKL) adalah pendekatan yang lebih baik daripada hukuman. Lebih lanjut mereka menyarankan agar lebih banyak KKL yang harus diserahkan kepada masyarakat adat sebagai sarana untuk melindungi wilayah pesisir di seluruh Indonesia dan mungkin kawasan konservasi lainnya di dunia.
Sebuah laporan berjudul, “Stockholm+50: Unlocking a Better Future” diterbitkan oleh Institut Lingkungan Stockholm (Stockholm Environment Institute/ SEI) dan Dewan Energi, Lingkungan dan Air (the Council on Energy, Environment and Water/ CEEW) menjelang pertemuan PBB, Stockholm +50 , yang menandai 50 tahun sejak pertemuan lingkungan penting di ibukota Swedia pada tahun 1972. Laporan tersebut merekomendasikan pengakuan yang lebih besar terhadap pengetahuan lokal asli dan mendukung hak-hak adat dengan tujuan agar pelaksanaan konservasi alam menjadi lebih efektif. Pengakuan dan penetapan hukum atas hak pengelolaan alam dapat menjadi cara untuk membatasi ekstraksi sumber daya tetapi juga dapat mengarah pada pengakuan nilai-nilai intrinsik alam dan perubahan perilaku dari waktu ke waktu.
Partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam stocholm +50 didasarkan, bahwa pengetahuan, keahlian dan pemahaman masyarakat adat dan komunitas lokal dapat diperkenalkan kepada publik serta pengambilan keputusan, sehingga meningkatkan perkembangan etika baru untuk kesejahteraan manusia yang selaras dengan alam. Pengetahuan tersebut dapat membantu memikirkan kembali cara-cara manusia untuk memproduksi, mengkonsumsi, hidup dan menghargai alam, dan membantu kita menemukan hubungan baru dengan alam. Untuk tujuan ini, penting bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal (the indigenous peoples and local communities/ IPLCs) – pemegang pengetahuan tradisional, gaya hidup berkelanjutan dan kosmologi alternatif – terlibat sepenuhnya, bukan sebagai kelompok yang lemah dan rentan, tetapi sebagai pemain kunci dan agen kuat dari mengubah.
Gambar: Cover Buku “Hiduik Badakekan jo Inyiak Balang“. Kearifan lokal masyarakat Minangkabau (Padang) telah menghormati Harimau Sumatera, sebagai simbol budaya dan kehidupan yang lazim dipanggil dengan sebutan “Inyiak Balang”, “Ampang limo” atau “Datuak”. Kearifan lokal tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Gubernur No.522.5/3545/Dishut-2021 pada tanggal 14 Desember 2021 tentang Pelestarian Harimau Sumatra di Provinsi Sumatra Barat. Sebagai sarana edukasi pendidikan lingkungan hidup bagi masyarakat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat dan SINTAS Indonesia telah menyusun Buku Saku berjudul “Hiduik Badakekan jo Inyiak Balang : Buku Saku Mitigasi Konflik Manusia – Harimau”, yang telah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hasil pertemuan PBB Stockholm+50 kembali menegaskan kembali, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan peranannya dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di seluruh dunia. Dimana, pada penutupan pertemuan Stockhom+50 di Swedia, pada tanggal 3 Juni delegasi yang mewakili Masyarakat Adat dari seluruh dunia mengumumkan deklarasi, yang disebut: Deklarasi Masyarakat Adat (the Indigenous Peoples Declaration). Deklarasi Masyarakat Adat Stockholm +50 menyerukan kepada pemerintah dan lembaga internasional untuk mengakui dan mendorong partisipasi masyarakat adat. Selama ini masyarakat adat cenderung dimarginalkan, tidak hanya dari meja pengambilan keputusan tetapi juga dari desain dan implementasi langkah-langkah konservasi dan perubahan iklim yang berdampak langsung pada tanah dan masyarakat mereka. Seperti yang dikatakan oleh deklarasi itu: “pelestarian sering dilakukan untuk kita dan di sekitar kita, bukan bersama kita (conservation is often done for us and around us, not with us)”.
Peranan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam perlindungan lingkungan, sesungguhnya sudah selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dimana UUPPLH dalam bagian penjelasannya menyatakan, bahwa upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan harus memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
Tidak hanya melindungi hak masyarakat adat, UUPPLH juga mengakui peranan komunitas lokal yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola lingkungan. Bahkan, Pasal 2 UUPPLH menegaskan, bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kearifan lokal. Menurut UUPPLH, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Pasal 63 UUPPLH kemudian mengamanatkan, bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi/ Kabupaten/ Kota) wajib memperhatikan kearifan lokal masyarakat dalam menyusun rencana kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 70 UUPPLH juga meetapkan, bahwa peran serta masyarakat dilakukan dalam rangka mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Selain diatur dalam UUPPLH, maka aspek konservasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UUP). Pasal 52 UUP menetapkan, bahwa Pemerintah mengatur, mendorong, dan atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tingi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal.
Secara internasional, menurut PBB masyarakat adat di seluruh dunia diperkirakan mencapai lebih dari 476 juta orang, yang tinggal di 90 negara di seluruh dunia. Masyarakat adat mencapai 6,2% dari seluruh populasi dunia, yang tersebar di tujuh wilayah sosial budaya dunia, yang tergabung dalam lebih dari 5.000 kelompok yang berbeda. Wilayah masyarakat Adat mencakup 28% permukaan dunia. Diakui oleh PBB, bahwa masyarakat Adat menjadi penjaga hampir 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa, yang juga mencakup wilayah seluas 11% hutan dunia. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data Statistik Kebudayaan 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah komunitas adat yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia mencapai 2.061 komunitas. Saat ini diperkirakan luasan hutan adat atau wilayah adat mencapai 12,4 juta – 18 juta hektar. Merujuk dari publikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diketahui setidaknya 8,7 juta hektar adalah kawasan berhutan. Sayangnya luasan wilayah atau hutan adat tersebut, sampai saat ini belumlah mendapat pengakuan secara deklaratif dari pemerintah.
Sayangnya, marjinalisasi masyarakat adat sampai saat ini masih terus berlanjut, dikombinasikan dengan degradasi ekosistem, memiliki konsekuensi yang parah. Meskipun masyarakat adat berjumlah kurang dari 5% dari populasi dunia, mereka menyumbang 15% dari yang termiskin. Mereka terus memperjuangkan hak atas tanah mereka, seringkali mempertaruhkan hidup mereka dalam melakukannya, selain menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius di seluruh dunia. Dari 2009 hingga 2018 di Amerika Latin, diperkirakan terjadi 1.356 serangan terhadap para pemimpin lingkungan dan komunitas mereka. Diketahui, lebih dari setengah yang menjadi target serangan tersebut, adalah masyarakat adat. Hal sama terjadi di Indonesia, berdasarkan publikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara), perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat masih terus berlangsung dan semakin meningkat. Dimana sepanjang tahun 2021 saja, dilaporkan adanya 13 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup areal seluas 251.000 hektar dan berdampak pada pada 103.717 jiwa.
Padahal melihat potensi luasan wilayah adat di Indonesia , maka pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal dapat menjadi sebuah wajah baru dalam rangka mewujudkan konservasi lingkungan yang lebih baik di nusantara. Oleh karenanya, penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi serta berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hendaknya memperhatikan hak dan peranan masyarakat adat dan komunitas lokal. Pengakuan atas pengelolaan wilayah adat kepada masyarakat adat atau kepada komunitas lokal selain merupakan wujud pemenuhan atas Hak Asasi Manusia (HAM), juga diyakini mampu mencapi tujuan sosial dan lingkungan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pada akhirnya hal tersebut bermuara kepada tercapainya cita-cita tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
…