Pelaksanaan konservasi lahan merupakan program yang harus dilaksanakan, tetapi dengan melihat kondisi petani umumnya di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tergolong rendah tingkat ekonominya, maka langkah yang harus diambil adalah meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani di hulu DAS. Hal ini antara lain bisa dicapai dengan memperkenalkan penerapan teknologi konservasi tanah melalui sistem usaha tani terpadu, yaitu mengkombinasikan tanaman pangan, tanaman keras dan peternakan yang sesuai dengan kaidah konservasi tanah.
“Dengan sistem ini petani akan melihat adanya keuntungan yang bisa diperoleh dari usaha taninya dan teknik konservasi tanah juga akan dapat dilaksanakan,” kata Dra. Forita Dyah Arianti, M.Si pada ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (5/9).
Pada ujian terbuka tersebut Forita mempertahankan penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pengelolaan Lahan Pertanian terhadap Erosi dan Sedimentasi di DAS Galeh Kabupaten Semarang Jawa Tengah.
DAS Galeh menurut Forita merupakan salah satu DAS yang berada di Daerah Tangkapan Air Rawa Pening. Wilayah DAS Galeh diantaranya adalah Kecamatan Jambu dan Kecamatan Banyubiru. Data BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa luasan lahan kritis di Kecamatan Jambu tahun 2009 meningkat 49,6% dari luasan lahan kritis tahun 2007. Begitu pula di Kecamatan Banyubiru, luas lahan kritis tahun 2009 meningkat 64,6% dari luasan lahan kritis tahun 2007.
“ Meningkatnya lahan kritis menunjukkan bahwa DAS Galeh juga telah mengalami degradasi,” urai peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah itu.
Ia menjelaskan kerusakan DAS tersebut mengakibatkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS, sehingga fungsi hidrologi DAS terganggu. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, terjadi peningkatan aliran permukaan yang dapat mempercepat terjadinya erosi tanah dan meningkatkan kapasitas angkut sedimen, karena makin besar erosi yang terjadi berarti makin besar sedimen yang terangkut, akibatnya volume sedimen meningkat.
“Erosi merupakan masalah utama pada daerah lahan pertanian berlereng yang terjadi di DAS Galeh. Padahal di daerah tersebut didominasi petani sehingga akan berpengaruh pada pengelolaan lahan,” kata perempuan kelahiran Purbalingga, 2 Februari 1965.
Dari penelitian yang dilakukan Forita terungkap bahwa upaya konservasi tanah sebenarnya sudah dilakukan secara mandiri oleh petani meskipun hasilnya belum optimal seperti: pembuatan dan perawatan teras, pembuatan jalur-jalur air, pembuatan selokan dan rorak, pemanfaatan sisa tanaman dan pemberian pupuk organik. Dengan kondisi itu Forita mendesak kebijakan pemerintah seperti pembinaan petani terutama melalui kegiatan penyuluhan frekuensinya ditingkatkan.
“Jika ditingkatkan maka konservasi tanah akan lebih maksimal pada petani di lahan tegalan maupun kebun,” katanya.
Pada penelitiannya tersebut Forita juga berharap keseriusan pemerintah termasuk dalam penyediaan dana untuk pengembangan konservasi disamping enforcement pada pemilik lahan. Dengan demikian diperlukan penciptaan kondisi agar para penggarap turut merasakan pentingnya menjaga keberlanjutan sumberdaya lahan dengan melakukan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air.
Dari hasil ujian terbuka tersebut akhirnya Forita Dyah Arianti oleh tim penguji dinyatakan lulus doktor dengan predikat cum laude. Forita merupakan doktor yang ke-1715 lulus dari UGM.
Sumber: Humas UGM