• Tentang UGM
  • Penelitian
  • Perpustakaan
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Gadjah Mada
  • Profil
    • Sambutan Kepala PSLH
    • Visi dan Misi
    • Sejarah PSLH UGM
    • Kegiatan
    • Hubungi Kami
  • Pengelola dan Staff
    • Kepala PSLH
    • Kepala Bidang
    • Bidang Pelatihan dan Kerjasama
    • Bidang Penelitian Pengabdian Masyarakat
    • Bidang Publikasi
    • Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian
    • Bidang Keuangan dan Inventaris Aset
    • Bidang Media dan IT
  • Pelatihan
    • Agenda Pelatihan
    • World Bank
    • FAQ
  • Resource
    • Opac
    • Info Layanan
    • Referensi
    • Text Book
    • Hasil Penelitian
    • Pengadaan Buku
    • Jurnal
      • Jurnal Umum
      • Jurnal PSLH
    • Penerbitan
    • Buku Tamu
  • Event
    • Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2023
    • Prosedur Peminjaman Ruang
    • Desa Wisata Pinge
    • Pameran Virtual
    • Pendaftaran Webinar
    • Download
      • Virtual Background Webinar
      • Virtual Background
      • e-Book Tata Kelola Sawit Indonesia
  • Blog
  • Beranda
  • Kegiatan
  • Penelitian Taman Nasional

Penelitian Taman Nasional

  • Kegiatan, Seminar
  • 18 September 2012, 09.10
  • Oleh:
  • 0

Keanekaragaman flora di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartaboni mengalami penurunan secara signifikan. Adanya intervensi manusia di kawasan taman nasional ditengarai sebagai salah satu penyebab menurunnya jumlah flora di kawasan tersebut. Hingga saat ini terdapat 241 jenis flora yang tergolong dalam 63 marga dan 86 suku. Hasil temuan ini menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, sebanyak 251 jenis (2008), 301 jenis (2007), dan 523 jenis (1995). “Penambangan tanpa izin dan perambahan hutan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah jenis flora tersebut ,” kata Drs. Nawir N Sune, M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, senin (17/9) di Sekolah Pascasarjana UGM.

Nawir menegaskan bahwa penataan secara menyeluruh dan komperehensif terhadap taman nasional penting dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan. Salah satunya dengan mengatur ruang taman nasional yang didasarkan pada karakteristik kawasan dengan mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (zonasi). Dalam penetapan zona kawasan juga harus dilakukan secara hati-hati, terutama dalam zona inti.

Menurutnya penetapan zonasi pada zona inti dalam taman nasional selain harus sangat berhati-hati, juga tidak hanya mengakomodir kepentingan ekologis saja, tetapi juga aspek lainnya yang secara komperehensif mempengaruhi penetapan ruang. Karenanya, hal tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan delineasi zona suatu kawasan taman nasional khusunya zona inti.

Nawir mengungkapkan dalam beberapa taman nasional di Indonesia tidak jarang dijumpai batas yang kurang tegas antara zona inti dengan zonasi lainnya secara fisik dalam peta maupun di lapangan. Selain itu, juga ditemukan ketidakjelasan tata batas antara zona inti dengan zona lainnya yang sangat imajiner di lapangan. “Ketidakjelasan batas zona inti dengan zona lain yang sangat imajiner ini berakibat pada pemanfaatan lainnya oleh masyarakat yang sampai pada zona inti taman nasional. Diantaranya, pemanfaatan penambangan tanpa izin oleh masyarakat yang akan mengganggu proses ekologis alami seperti yang terjadi di taman nasional Bogani Nani Wartabone,” urainya saat mempertahankan disertasi berjudul “Pemodelan Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional” .

Lebih lanjut disampaikan Naswir, penetapan zona inti menurut Permenhut No. 56 tahun 2006 belum mengakomodir karakteristik biofisik lahan, antara lain ketinggian tempat dan kemiringan lereng yang secara operasional bisa digunakan sebagai acuan dalam mendeliniasi zona inti secara spasial di peta dan mengenalinya di lapangan. Dalam melakukan penetapan kawasan juga masih dilakukan survey lapangan secara terestrerial pada seluruh kawasan konservasi yang membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang besar.

Melihat kenyataan tersebut Naswir melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan simulasi model spasial ekosistem bentang lahan. Melalui upaya tersebut diharapkan diperoleh parameter dan metode yang lebih operasional, efektif, efisien, dan aplikatif untuk memodifikasi kriteria yang digunakan dalam penetapan zonasi kawasan. Model zonasi zona inti dengan model tersebut merupakan kombinasi dari parameter biogeofiisik seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, penggunaan lahan, bentuk lahan dan jenis tanah. “Komponen-komponen tersebut merupakan komponen ekosistem bentang lahan sebagai syarat dan tempat hidup habitat flora dan fauna endemik yang menempati ekosistem bentang lahan sesuai dengan persyaratan hidupnya di kawasan tersebut. Hal itu tentunya pengelolaan kawasan dan pelestarian sumber daya alam yang berkelanjutan,” tuturnya.

Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas zona inti hasil pemodelan sebesar 204.903,29 ha (69,45%) lebih luas dibanding luas zona inti penetapan sesuai perundang-undangan yang hanya sebesar 180.737,86 ha (61%) dari total luas taman nasional. Beda keduanya dapat dimasukkan jadi bagian integral zona inti. Dengan begitu penetapan zona inti menurut undang-undang bisa direvisi kembali agar fungsi perlindungan flora dan fauna didalamnya lebih optimal,” jelasnya.

Sumber: Humas UGM

Tags: penataan ruang
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM

Kompleks Gedung PSLH-EFSD UGM, Jl. Kuningan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

   pslh@ugm.ac.id
   +62 (274) 565722, 6492410
   +62 (274) 517863

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY