Atmosfer sangat penting bagi kehidupan di Bumi. Atmosfer menyediakan oksigen yang kita hirup, karbon dioksida untuk pertumbuhan tanaman melalui fotosintesis, ozon untuk menyerap radiasi ultraviolet yang merusak dari matahari, serta lapisan rumah kaca berupa uap air dan karbon dioksida untuk mempertahankan suhu layak huni yang diperlukan untuk menopang kehidupan di Bumi. Selain itu, atmosfer juga mengandung berbagai macam jenis pencemar, atau polusi udara yang hadir dalam jumlah jejak dan tingkatnya sangat bervariasi dalam ruang dan waktu.
Polusi udara adalah zat yang jika dilepaskan ke atmosfer dapat menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia atau lingkungan yang lebih luas. Polusi udara dapat hadir di atmosfer sebagai gas atau partikel. Contoh polutan udara berbentuk gas meliputi sulfur dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, karbon dioksida, metana, dan senyawa organik lainnya. Contoh polutan udara partikulat meliputi asap, asap, partikel halus dari lalu lintas, dan partikel kasar seperti garam laut dan debu yang tertiup angin.
Ironisnya, polusi udara merupakan risiko kesehatan lingkungan terbesar saat ini. Menurut WHO, sembilan puluh sembilan persen manusia menghirup udara yang tercemar, yang menyebabkan sekitar 8 juta kematian dini, termasuk lebih dari 700.000 anak di bawah usia lima tahun. Polusi juga mencekik perekonomian dan memanaskan planet kita, menambah bahan bakar ke api krisis iklim. Dan secara tidak proporsional mempengaruhi mereka yang paling rentan di masyarakat, termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua.
Dalam rangka mengurangi secara signifikan dampak negatif yang disebabkan polusi udara tersebut, pada tanggal 19 Desember 2019 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprakarsai tindakan global melalui Resolusi yang diadopsi oleh Majelis Umum tentang International Day of Clean Air for Blue Skies. Peringatan International Day of Clean Air for Blue Skies diperingati setiap tahunnya pada tanggal 7 September menjadi langkah dalam meningkatkan kesadaran dan aksi global mengenai pentingnya udara bersih bagi kesehatan, lingkungan, dan kesejahteraan manusia.
Resolusi PBB juga menyerukan aksi kolektif untuk mengurangi polusi udara yang berbahaya dan mempromosikan udara bersih sebagai hak asasi manusia. Resolusi tersebut secara substansial mengakui, bahwa udara bersih penting bagi kesehatan dan kehidupan sehari-hari manusia, menyadari bahwa polusi udara merupakan risiko lingkungan terbesar bagi manusia kesehatan dan salah satu penyebab utama kematian dan penyakit yang dapat dihindari di seluruh dunia. Selain itu, Resolusi tersebut menyadari, bahwa polusi udara secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan, anak-anak dan orang tua, dan juga prihatin dengan dampak negatif polusi udara terhadap ekosistem.
Pekerjaan Rumah Baku Mutu Udara Ambien Nasional
Pada bulan yang sama, tepatnya pada tanggal 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Presiden, tiga Menteri dan 3 Gubernur bersalah dan melawan hukum dalam gugatan pencemaran udara Jakarta. Putusan tersebut tonggak sejarah dalam kebijakan pengendalian pencemaran udara di Indonesia.
Dalam perjalanannya, Presiden bersama Kementeriannya melakukan perlawanan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Meskipun upaya tersebut kemudian menemui kegagalan. Pada 17 Oktober 2022, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sayangnya, Pemerintah tetap menolak hasil banding tersebut. Pada tanggal 20 Januari 2023 Presiden mengajukan perlawanan Kasasi.
Perlawanan pemerintah bersama Kementeriannya akhirnya kandas di Mahkamah Agung (MA), yang menolak kasasi yang diajukan presiden dalam perkara gugatan polusi udara Jakarta pada November 2023. Putusan Kasasi tersebut telah mempertegas, bahwa Pemerintah telah bersalah dan melawan hukum atas permasalahan polusi udara di Jakarta tidak terkendali.
Salah satu Amar putusan hakim dalam gugatan pencemaran udara Jakarta adalah menghukum Presiden, sebagai tergugat untuk mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA), yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amar yang harus dipatuhi oleh Presiden tersebut didasarkan atas pertimbangan, adanya perbedaan baku mutu udara ambien nasional dan baku mutu udara ambien yang direkomendasikan oleh WHO.
Putusan tersebut juga telah menegaskan, bahwa dengan menetapkan BMUA jauh di atas nilai yang direkomendasikan WHO sebagai tingkat aman, maka Presiden justru dianggap secara sadar melegalkan dan mempertegas pembiaran, yang implikasinya, sekalipun udara tidak tercemar udara tersebut masih mengancam kesehatan masyarakat.
Ironisnya, putusan PN Jakpus tersebut bukanlah putusan pertama yang meminta Presiden untuk mengetatkan BMUA nasional. Dalam sidang dan putusan pencemaran udara tersebut, saksi ahli W. Riawan Tjandra mengungkapkan telah ada putusan pengadilan yang memerintahkan Presdien untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 sejak tahun 2017 dalam Putusan No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk, Putusan No. 36/PDT/2017/PT PLK, dan Putusan No. 3555 K/Pdt/2018.
Meskipun rekomendasi BMUA oleh WHO bersifat pedoman dan tidak mengikat secara hukum atau tanpa adanya sanksi jika negara-negara yang tidak mengadopsi BMUA sesuai standar WHO, namun Putusan hakim telah memberikan pencerahan, bahwa penetapan standar BMUA yang berlaku seharusnya diubah sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi, sebagaimana pedoman yang direkomendasikan oleh WHO. Pedoman BMUA rekomendasi WHO dapat menjadi panduan bagi peraturan perundang-undangan dan kebijakan, guna mengurangi tingkat polutan udara dan mengurangi beban penyakit yang diakibatkan oleh paparan polusi udara di seluruh dunia. Pedoman tersebut didasarkan pada bukti yang diperoleh dari enam tinjauan sistematis yang mempertimbangkan lebih dari 500 makalah.
Pedoman Kualitas Udara Ambien WHO
World Health Organization (WHO) adalah organisasi internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara khusus bergerak dalam bidang kesehatan. Dalam pemantauannya terhadap kesehatan udara di seluruh dunia, WHO menerbitkan Pedoman kualitas udara WHO, yang merupakan serangkaian rekomendasi berbasis bukti mengenai nilai batas untuk polutan udara tertentu yang dikembangkan untuk membantu negara-negara mencapai kualitas udara yang melindungi kesehatan masyarakat.
Pedoman ini pertama kali dirilis pada tahun 1987 secara berkala terus mengalami pembaruan. WHO memperbarui Pedoman Kualitas Udara secara berkala untuk memastikan relevansinya yang berkelanjutan dan untuk mendukung berbagai pilihan kebijakan untuk manajemen kualitas udara di berbagai belahan dunia, terutama dengan mempertimbangkan luasnya studi kesehatan baru yang telah diterbitkan saat ini. Sejak tahun 1987, beberapa versi yang diperbarui telah muncul dan versi global terbaru diterbitkan pada tahun 2005.
Setelah akumulasi bukti selama 16 tahun sejak pembaruan global terakhir pada tahun 2005 WHO kembali menerbitkan pembaruan pedoman kualitas udara WHO tahun 2021, yang diungkappkan sebagai respons terhadap ancaman polusi udara yang nyata dan berkelanjutan terhadap kesehatan masyarakat.
Pedoman Kualitas Udara Global (AQG) WHO 2021 memberikan bukti nyata tentang kerusakan yang ditimbulkan polusi udara terhadap kesehatan manusia, bahkan pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang dipahami sebelumnya. Pedoman tersebut merekomendasikan tingkat kualitas udara baru untuk melindungi kesehatan masyarakat, dengan mengurangi tingkat polutan udara utama, yang beberapa di antaranya juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Pedoman baru WHO merekomendasikan tingkat kualitas udara untuk 6 polutan, yang buktinya paling maju mengenai dampak kesehatan akibat paparan. Ketika tindakan diambil terhadap polutan klasik ini – partikel (PM), ozon (O₃), nitrogen dioksida (NO₂), sulfur dioksida (SO₂), dan karbon monoksida (CO), tindakan tersebut juga berdampak pada polutan berbahaya lainnya.
Pedoman tersebut juga menyoroti praktik terbaik untuk pengelolaan jenis partikulat tertentu (misalnya, karbon hitam/karbon elementer, partikel sangat halus, partikel yang berasal dari badai pasir dan debu) yang saat ini belum memiliki cukup bukti kuantitatif untuk menetapkan tingkat pedoman kualitas udara. Pedoman tersebut berlaku untuk lingkungan luar ruangan dan dalam ruangan secara global, dan mencakup semua pengaturan.
Sasaran pedoman ini adalah agar semua negara mencapai tingkat kualitas udara yang direkomendasikan. Menyadari bahwa ini akan menjadi tugas yang sulit bagi banyak negara dan wilayah yang berjuang dengan tingkat polusi udara yang tinggi, WHO telah mengusulkan target sementara untuk memfasilitasi peningkatan kualitas udara secara bertahap dan dengan demikian memberikan manfaat kesehatan yang bertahap namun bermakna bagi penduduk.
Hampir 80% kematian yang terkait dengan PM₂.₅ dapat dihindari di dunia jika tingkat polusi udara saat ini dikurangi ke tingkat yang diusulkan dalam pedoman yang diperbarui, menurut analisis skenario cepat yang dilakukan oleh WHO. Pada saat yang sama, pencapaian target sementara akan menghasilkan pengurangan beban penyakit, yang manfaat terbesarnya akan terlihat di negara-negara dengan konsentrasi partikulat halus (PM₂.₅) yang tinggi dan populasi yang besar.
Tabel Perbandingan Baku Mutu Udara Ambien WHO dan Nasional