Persoalan sampah selalu menjadi permasalahan yang tidak pernah selesai. Pasalnya, hampir setiap waktu seluruh komponen yang ada di bumi ini menghasilkan residu. Mulai dari manusia, binatang, hingga mesin pun menghasilkan energi sampingan kurang berguna yang biasa kita sebut sebagai limbah (sampah).
Tahun 2020 berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia memproduksi sampah hingga 67,8 juta ton dengan komposisi sampah tertinggi berupa sampah sisa makanan yaitu 39,8 persen. Dilansir dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia pada tahun 2017 pernah menduduki peringkat kedua sebagai penyumbang sampah makanan terbesar setelah Arab Saudi. Total sampah makanan yang dihasilkan mencapai 13 juta ton per tahun, yang apabila diambil rata-rata dengan jumlah penduduk saat itu, setiap orang menyumbang sampah makanan sebanyak 300 kg per tahun.
Tingginya jumlah sampah makanan yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia disebabkan oleh kebiasaan dan pola pikir “lebih baik lebih, daripada kurang”. Oleh sebab itu masyarakat selalu menyediakan makanan dengan porsi lebih yang ternyata berujung tidak habis dan menjadi limbah. Kondisi ini juga semakin memburuk ketika kebiasaan mengelola sampah masyarakat dan fasilitas pengelolaan sampah di Indonesia belum memadai.
Makanan Menjadi Pencemar
Timbulnya sampah makanan yang berlimpah dapat disebabkan oleh berbagai faktor dari hulu hingga hilir. Mulai dari tidak efektifnya proses panen, penyimpanan pascapanen, proses distribusi, pengolahan makanan yang buruk, hingga kebiasaan konsumtif dan berlebih-lebihan.
Kebiasaan konsumtif yang berujung pada timbulnya banyak sampah makanan ini membuat kondisi bumi semakin memburuk. Pasalnya, setiap makanan yang terbuang akan mencemari lingkungan di berbagai elemen mulai dari air, tanah, hingga udara (atmosfer).
Sampah makanan yang persentasenya lebih tinggi dibanding jenis sampah lain ini berpotensi mencemari air dan tanah. Sampah makanan yang tergolong sebagai sampah organik hanya akan berakhir di Tempat Pemrosesan akhir (TPA). Hal ini akibat dari belum memadainya sistem pengelolaan sampah di Indonesia dan kurangnya kepedulian masyarakat untuk mengelola sampah yang dihasilkan. Sampah organik yang tinggi dan berakhir di TPA bercampur dengan sampah anorganik yang sulit terurai akan membentuk tumpukan sampah serta menghasilkan cairan lindi.
Lindi (leachate) merupakan cairan yang merembes melalui tumpukan sampah (organik & anorganik) sehingga membawa materi terlarut atau tersuspensi yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah. Terdapat aktivitas biologi, kimia dan fisika yang terjadi dalam proses pembentukan lindi yakni sebagai berikut.
-
Fase Dekomposisi Aerobik
Proses dekomposisi aerobik biasanya berlangsung singkat karena fase ini membutuhkan kadar oksigen yang tinggi. Mengingat kadar oksigen yang rendah di TPA, biasanya yang terjangkau pada fase ini hanya sampah di bagian permukaan saja dan berlangsung selama beberapa minggu saja. Fase ini melibatkan adanya perubahan protein menjadi asam amino kemudian menjadi karbon dioksida, air, nitrat, dan sulfat. Selain itu karbohidrat diubah menjadi Karbon dioksida. Air dan lemak mengalami hidrolisis dan berubah menjadi asam lemak dan gliserol. Selulosa diubah menjadi glukosa kemudian menjadi karbon dioksida dan air. Fase ini banyak melepaskan panas dari proses oksidasi biologis sehingga terjadi kenaikan temperatur yang tinggi.
-
Fase Dekomposisi Anaerobik
Proses dekomposisi anaerobik berlangsung pada tahun-tahun pertama. Temperatur menurun secara berangsur-angsur karena panas yang dihasilkan lebih rendah. Fase ini menghasilkan air lindi dengan kandungan asam lemak yang tinggi, pH rendah, konsentrasi BOD dan rasio BOD/COD tinggi dan berbau. Selain itu kadar amoniak, N-organik, Fe, Mn, Ca, Mg, Na, K, Cl dan logam berat yang tinggi pula.
-
Fase Fermentasi Metanogenik
Fase ini melibatkan bakteri metanogenik yang menghasilkan removal komponen organik terlarut dari air lindi, terutama asam karboksilat yang menyebabkan kondisi asam, bau dan BOD yang tinggi. Fase ini membutuhkan waktu bertahun-tahun dan lebih lambat dari fase dekomposisi anaerobik. Air lindi pada fase ini memiliki pH netral hingga basa. Konsentrasi asam lemak, BOD, COD, amoniak dan logam berat lebih rendah dibanding fase sebelumnya. Rasio BOD/COD pun lebih rendah, tetapi konsentrasi garam terlarutnya (K, Na, Cl) tetap tinggi. Pada fase ini bakteri metanogenik mulai mengkonsumsi komponen yang lebih sederhana dan menghasilkan gas karbon dioksida dan metana.
Air lindi dapat dikategorikan sebagai senyawa yang sulit didegradasi secara biologi karena mengandung bahan-bahan polimer (makromolekul) dan bahan organik sintetik. Rasio BOD5/COD yang sangat rendah (< 0,4) mengindikasikan bahwa air lindi mengandung bahan organik yang sulit terurai.
Air lindi yang merembes ke tanah dapat mencemari tanah dan air. Air permukaan yang terkontaminasi air lindi dengan kandungan zat organik tinggi akan mengakibatkan rendahnya kadar oksigen pada air. Hal ini akan merugikan makhluk hidup dalam air yang bergantung pada oksigen hingga mengakibatkan kematian. Selain itu apabila rembesan air lindi konsentrasi tinggi mencapai air tanah, polutan air lindi tersebut akan menetap pada air tanah dalam jangka waktu lama. Hal ini akan menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut sehingga baku mutu air tanah tidak lagi sesuai untuk penggunaan air bersih.
Proses akhir dari dekomposisi bahan organik termasuk dari sisa makanan menghasilkan gas karbon dioksida dan metana. Kedua gas tersebut merupakan jenis gas yang tergolong dalam gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang menyebabkan efek rumah kaca merupakan penggerak utama perubahan iklim. Gas-gas ini menyebabkan panas matahari terjebak di atmosfer bumi dan mencegahnya kembali ke luar angkasa sehingga menyebabkan pemanasan global.
Karbon dioksida merupakan kontributor utama pemanasan global. Terhitung per tahun 2020, konsentrasinya di atmosfer meningkat 48% di atas fase pra-industri (sebelum 1750).
Selain karbon dioksida, sampah sisa makanan adalah salah satu jenis sampah yang menghasilkan emisi gas metana. Metana (CH4) merupakan gas yang jangka waktu keberadaannya lebih pendek di atmosfer (±12 tahun) dibandingkan karbon yang dapat mencapai 200 tahun. Namun, berbanding terbalik dengan masa hidupnya yang pendek, metana 25 kali lebih kuat dalam memperparah pemanasan global
Sampah Makanan dan Ketimpangan Sosial
Menurut Thomas Robert Malthus dalam “Essay on Population”, peningkatan populasi menyebabkan kekurangan ketersediaan bahan pangan. Apabila dihadapkan pada kondisi saat ini, Global Food Security Index tahun 2020 menyatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia berada di posisi ke-65 dari 113 negara. Posisi tersebut masih berada di bawah Negara tetangga seperti Malaysia di peringkat ke-43 dan Thailand di peringkat ke-51.
Mengutip pernyataan Harari dalam ‘Homo Deus’, sebagian besar kematian di masa depan lebih banyak disebabkan oleh kekenyangan dibandingkan kelaparan. Artinya kemelimpahan makanan di dunia dapat terpenuhi. Prediksi tersebut pun meruntuhkan teori Malthus tentang kurangnya ketersediaan pangan. Indonesia, negara dengan jumlah populasi terbesar ke-4 dunia, mempunyai budaya membuang sampah makanan dalam jumlah yang besar. Budaya berlebih-lebihan ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki ketersediaan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya. Fenomena tersebut menunjukkan teknologi telah mampu menyokong kebutuhan pangan manusia.
Membaca kemampuan teknologi yang mendukung ketersediaan pangan, ternyata masih ditemukan kondisi kelaparan yang tidak mampu dijangkau oleh teknologi. Menurut Asian Development Bank tahun 2019 pada laporan “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development during 2020-2045” menyatakan bahwa masih ada 22 juta masyarakat Indonesia yang menderita kelaparan kronis. Laporan ini mempertegas bahwa teknologi belum mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial.
Oleh sebab itu, membentuk kebiasaan untuk tidak berlebih-lebihan termasuk dalam hal makanan merupakan hal penting. Selain dapat turut serta dalam menyelamatkan bumi dari krisis iklim, menghabiskan makanan dan menyediakan makanan secukupnya dapat menyelamatkan negara dari kerugian ekonomi dan menurunkan ketimpangan sosial.
References
Agmasari, S. (2021, October 27). Sampah Makanan di Indonesia Jadi Permasalahan Serius Halaman all. Kompas.com. Retrieved February 19, 2022, from https://www.kompas.com/food/read/2021/10/27/133600175/sampah-makanan-di-indonesia-jadi-permasalahan-serius-?page=all
Ali, M. (2011). Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak pada Tanaman Pangan dan Kesehatan. UPN Press.
Asian Development Bank. (2019). Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045. Filipina: Asian Development Bank.
European Comission. (n.d.). Causes of climate change. European Commission. Retrieved February 19, 2022, from https://ec.europa.eu/clima/climate-change/causes-climate-change_en
Ghasemzadeh, R., & Pazoki, M. (2020). Municipal Landfill Leachate Management. Springer International Publishing.
Lindsey, R. (n.d.). Climate Change: Atmospheric Carbon Dioxide | NOAA Climate.gov. Climate.gov. Retrieved February 19, 2022, from https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-atmospheric-carbon-dioxide
Sari, R. N., & Afdal. (2017). Karakteristik Air Lindi (Leachate) di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Air Dingin Kota Padang. Jurnal Fisika Unand, 6(1), 93-99.
SIPSN KLHK. (n.d.). CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN SAMPAH. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional: SIPSN. Retrieved February 19, 2022, from https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/
The Economist Intelligent Unit. (2020). The Economist Intelligent Unit. Retrieved 2021, from The Economist Intelligent Unit: http://country.eiu.com/Indonesia/ArticleList/Updates/Economy
Penulis: Retno Suryandari Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Editor: Zakky Ahmad