Mangi-mangi merupakan salah satu istilah untuk menyebut mangrove yang di kawasan Indonesia Timur masih sering terngiang di telinga. Dalam bahasa Melayu Kuno, mangi-mangi ini pada dasarnya merupakan istilah yang digunakan secara spesifik untuk menjelaskan genus Avicennia. Namun dalam judul tulisan ini, mangi-mangi merujuk kepada mangrove keseluruhan sebagaimana di kawasan timur Indonesia menyebutnya.
Ekosistem hutan mangrove yang biasanya hidup di kawasan pantai ini mulai mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Mempertimbangkan panjangnya garis pantai di Indonesia yang mencapai 81.290 km, sudah selayaknya mangrove menjadi salah satu andalan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang akhir-akhir ini mulai marak di dunia, yaitu krisis iklim. Pasalnya, berdasarkan penelitian mangrove mampu menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan di kawasan terestrial.
Mangi-mangi dan Manfaatnya
Meskipun sempat dipandang sebelah mata, manfaat hutan mangrove kini mulai menjadi primadona. Apabila masyarakat selama ini memandang mangrove hanya karena kebermanfaatannya secara langsung seperti ditebang untuk diambil kayunya, kini manfaat mangrove yang lain mulai disadari oleh masyarakat. Tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, ekosistem mangrove tentu saja memiliki peran penting dalam aspek ekologi.
Hutan mangrove memiliki manfaat ekologi seperti melindungi garis pantai dan menyediakan habitat dan makanan bagi ikan, burung dan fauna bernilai lainnya. Selain itu hutan mangrove juga memiliki produktivitas biologi yang berhubungan dengan produksi daun dan daun yang jatuh, serta kecepatan dekomposisi oleh detritus. Tidak hanya itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat secara ekonomi. Mangrove dapat menjadi bahan baku kayu bakar dan arang, tempat untuk ikan berkembang biak sehingga sumber daya ikan menjadi lebih melimpah.
Mangi-mangi dalam Busana
Upaya konservasi mangrove terus digalakkan di berbagai lini dengan melibatkan banyak aspek. Salah satu aspek yang tidak kalah penting untuk dilibatkan dalam konservasi mangrove adalah fashion. Di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Brebes terdapat industri kerajinan batik mangrove yang sudah cukup berdaya.
Batik merupakan salah satu warisan budaya milik Indonesia yang tidak habis termakan zaman. Mulai dari generasi yang lebih tua maupun generasi Z, mengenakan batik sudah menjadi salah satu cara mengekspresikan gaya berpakaian. Tidak hanya untuk memenuhi unsur gaya berpakaian, batik yang dibuat dengan filosofi tertentu, memiliki pesan spesifik yang terkandung di dalamnya. Bahkan seringkali dalam suatu lembar kain batik, memiliki gambaran cerita sejarah yang hendak diceritakan.
Tidak kalah dengan batik pada umumnya, batik mangrove buatan ibu-ibu di Kabupaten Brebes juga mengandung pesan penting untuk sejarah dan memelihara alam Indonesia. Guratan gambar mangrove dan berbahan pewarna alami mangrove menyampaikan pesan edukasi bahwa tanpa ditebang dan dimusnahkan, mangrove tetap memiliki manfaat yang bernilai. Mulai dari nilai estetika hingga nilai konservasi.
Pewarna yang digunakan untuk membuat batik mangrove berasal dari rebusan kulit mangrove. Kulit mangrove yang direbus hingga mendidih dan menghasilkan warna coklat tua. Oleh sebab itu warna batik mangrove didominasi oleh warna coklat alami. Namun tidak hanya berasal dari kulit mangrove, pewarna untuk batik mangrove ini juga berasal dari bahan alami lainnya seperti tumbuhan nila, jelaweh, daun ketapang, kayu tinggi, dan tumbuhan tegeran. Oleh karena itu limbah dari pembuatan batik ini pun tetap aman bagi lingkungan. Dengan memanfaatkan mangrove tanpa merusak, kini tidak hanya melestarikan hutan bakau, tetapi juga kebudayaan.