Sistem perekonomian neoliberal yang mengakibatkan kerugian bagi tenaga kerja dan meningkatnya kesenjangan, serta sistem produksi linier “take, make, use, and dispose” yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca tidak lagi relevan bagi kehidupan manusia di era krisis iklim dan krisis kemanusiaan saat ini.
Tahun 2008, Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP) Achim Steiner meluncurkan konsep Global Green New Deal sebagai respon terhadap krisis keuangan pada tahun 2008. Peluncuran konsep ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja industri hijau, sehingga meningkatkan perekonomian dunia sekaligus mengendalikan perubahan iklim. Namun ternyata perekonomian biru, oranye, ungu, dan kuning secara bersama-sama memiliki peluang lebih besar untuk membangun kembali perekonomian yang berketahanan, inklusif, dan lebih adil. Dan hal ini sejalan dengan the quadrennial comprehensive policy review (QCPR) tahun 2020 ketika negara-negara anggota mengajukan kepada PBB supaya upaya yang dilakukan sesuai dengan konteks tempat negara tersebut beroperasi.
Kesadaran bahwa sistem ekonomi, kesehatan, dan politik merupakan sesuatu yang terhubung memunculkan solidaritas internasional. Negara-negara maju yang notabene menjadi penghasil emisi karbon tertinggi dan telah melalui berbagai fase pembangunan memiliki tugas untuk mendukung negara-negara berkembang. Negara berkembang yang aspek infrastrukturnya baru dalam proses pembangunan didorong untuk menerapkan ekonomi sirkular. Apabila negara maju harus melalui fase merusak lingkungan untuk mencapai kestabilan ekonomi, maka seharusnya negara berkembang dapat langsung akselerasi ke sistem ekonomi sirkular yang lebih ramah lingkungan.
Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau (Green Economy) merupakan konsep ekonomi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat yang disertai dengan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Istilah ekonomi hijau pertama kali dicetuskan dalam laporan “Blueprint for a Green Economy” dari sekelompok ekonom yang ditujukan kepada pemerintah Inggris tahun 1989 supaya mempertimbangkan konsep pembangunan berkelanjutan.
UN Environment Programme (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai konsep ekonomi yang rendah karbon, efisiensi sumber daya, dan inklusif secara sosial. Dalam ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi pemerintah dan swasta pada kegiatan ekonomi, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon dan polusi, peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. Sumber daya alam dipandang sebagai aset penting dan sumber daya publik utamanya bagi masyarakat miskin yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya alam. Oleh sebab itu, penerapan ekonomi hijau memiliki dampak positif bagi kehidupan sosial yang inklusif.
Ekonomi hijau merupakan konsep payung yang menaungi konsep Ekonomi Sirkular dan Bioekonomi. Secara khusus, Ekonomi Sirkular dan Bioekonomi berfokus pada sumber daya, sedangkan pada prinsipnya Ekonomi Hijau mengakui peran yang mendasari seluruh proses ekologi.
Ekonomi Biru
Berdasarkan definisi dari World Bank, Ekonomi biru merupakan konsep ekonomi yang menekankan pada penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan penghidupan dan lapangan kerja sembari menjaga kesehatan ekosistem laut. Ekonomi biru diharapkan menjadi jawaban bagi permasalahan pengelolaan kelautan dan perikanan Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara maritim. Tujuan dari ekonomi biru yaitu membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip alami dan lokalitas di kawasan pesisir.
Konsep ekonomi biru pada mulanya hanya mencakup produk-produk berbasis perikanan yang bernilai ekonomi. Namun saat ini cakupannya meluas hingga menjangkau kepada keberlanjutan ekosistem laut. Keberlanjutan ekosistem laut yang terintegrasi dengan keberlanjutan segala potensi yang ada di dalamnya (termasuk potensi perdagangan karbon biru) menjadi salah satu kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. Penerapan ekonomi biru juga sejalan dengan konsep Environment, Social, and Governance (ESG) karena pelaksanaan ekonomi biru melibatkan triple bottom line tersebut.
Ekonomi Oranye
Ekonomi oranye atau yang lebih dikenal dengan ekonomi kreatif merupakan konsep ekonomi yang menitikberatkan pada kontribusi dan potensi aset kreatif untuk memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Ekonomi kreatif menjadi pilihan pembangunan yang layak dipertimbangkan untuk diwujudkan melalui kebijakan multidisiplin dan multisektor yang inovatif. Poin utama dalam membangun ekonomi kreatif adalah penggunaan kreativitas dan modal intelektual sebagai input utama dalam proses penciptaan, produksi dan distribusinya. Ekonomi kreatif mencakup ekonomi budaya dan sosial yang terintegrasi dengan teknologi, kekayaan intelektual, hingga pariwisata.
Ciri umum yang dimilikinya adalah ekonomi kreatif adalah memiliki banyak dimensi, memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan berpotensi memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Ekonomi kreatif juga dapat diintegrasikan dengan berbagai konsep ekonomi lainnya untuk memperoleh cara kreatif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Ekonomi Ungu
Ekonomi ungu (purple economy) atau yang juga disebut ‘care economy’ merupakan konsep ekonomi yang mengakui pentingnya perawatan, pemberdayaan dan otonomi perempuan terhadap berfungsinya perekonomian, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan. Isu yang disoroti dalam konsep ekonomi ungu ini yaitu pekerjaan perawatan, pengasuh, petugas kesehatan masyarakat dan pekerjaan lain sejenis yang mengandalkan jasa seringkali dipandang sebelah mata. Oleh sebab itu seringkali pekerjaan ini tidak memperoleh upah yang sesuai hingga kondisi kerja yang buruk. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut telah banyak menyokong berlangsungnya kehidupan masyarakat sehari-hari, dari satu generasi hingga generasi berikutnya sehingga melahirkan angkatan kerja yang sehat, produktif, kreatif dan memiliki kemampuan belajar. Meskipun memberikan kontribusi yang berharga, pekerjaan-pekerjaan tersebut masih dianggap sebagai eksternalitas yang tidak diperhitungkan dalam kebijakan dan perhitungan nasional.
Ekonomi Kuning
Ekonomi kuning disebut juga dengan ‘ekonomi perhatian’ (attention economy) merupakan konsep ekonomi yang menarik dan memonetisasi perhatian masyarakat. Diperkenalkan pertama kali oleh ekonom sekaligus psikolog peraih nobel, Herbert A. Simon pada akhir tahun 1960-an. Ciri utama dari ekonomi kuning yaitu adanya persaingan dari berbagai perusahaan untuk memperoleh perhatian masyarakat melalui berbagai platform digital.
Awal mula munculnya ekonomi kuning ini yaitu dari analisis Simon yang meramalkan bahwa banjir informasi akan terjadi di berbagai tempat, tetapi manusia memiliki keterbatasan dalam mencerna informasi. Oleh sebab itu informasi harus dikemas sedemikian rupa untuk memperoleh perhatian sehingga dapat mengoptimalkan profit. Semakin banyak perhatian yang diperoleh perusahaan, semakin banyak pendapatan yang dapat dihasilkan. Hal ini menyebabkan pergeseran fokus dari metrik ekonomi tradisional seperti keuntungan dan produktivitas ke metrik perhatian seperti penayangan, suka, dan pembagian.
Definisi ekonomi kuning dicetuskan oleh Davenport dan Beck (2001) yaitu sebagai sebagai suatu pendekatan pengelolaan informasi yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas langka dan menerapkan teori ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah pengelolaan informasi. Kita semakin hidup dalam “ekonomi perhatian” dibandingkan “ekonomi informasi”.
Referensi
Carpentier, C. L. (n.d.). economies. And this is in line with the 2020 QCPR where member States have reiterated their requests for the United Nations to e. the United Nations. Retrieved February 23, 2024, from https://www.un.org/sites/un2.un.org/files/2021/01/unctadcarpentiernew_economics_for_sustainable_development_-_alternative_economic_models_and_concepts.pdf
D’Amato, D., Droste, N., Allen, B., Kettunen, M., Lähtinen, K., Korhonen, J., Leskinen, P., Matthies, B.D., & Toppinen, A. (2017). Green, circular, bio economy: A comparative analysis of sustainability avenues. Journal of Cleaner Production, 168, 716-734. http://dx.doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.09.053
Diving into the blue economy | United Nations. (n.d.). the United Nations. Retrieved February 23, 2024, from https://www.un.org/en/desa/diving-blue-economy
Green Economy | UNEP. (n.d.). UN Environment Programme. Retrieved February 23, 2024, from https://www.unep.org/regions/asia-and-pacific/regional-initiatives/supporting-resource-efficiency/green-economy
Henderson, M. (n.d.). CREATIVE ECONOMY. the United Nations. Retrieved February 23, 2024, from https://www.un.org/sites/un2.un.org/files/orange_economy_14_march.pdf
PURPLE ECONOMY (CARE ECONOMY+). (2023, March 17). the United Nations. Retrieved February 23, 2024, from https://www.un.org/sites/un2.un.org/files/purple_economy_14_march.pdf
YELLOW ECONOMY. (2023, March 17). the United Nations. Retrieved February 23, 2024, from https://www.un.org/sites/un2.un.org/files/yellow_economy_14_march.pdf