Tanggal 22 April merupakan momen penting yang diperingati sebagai hari bumi. Momen ini sudah seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh elemen masyarakat dunia untuk menillik kembali kerja bersama dalam menurunkan risiko akibat krisis iklim.
Sebagai Negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mengurangi emisi karbon. Terkenal sebagai Negara yang memiliki hamparan hutan yang luas, Indonesia terlibat dalam perjanjian REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan mendapat kucuran dana dari komitmen tersebut. Memiliki predikat sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 99.093 kilometer, potensi laut untuk mitigasi perubahan iklim perlu mendapat perhatian lebih.
Karbon Biru dan Ekonomi Biru Indonesia
Karbon biru (Blue Carbon) merupakan karbon organik yang ditangkap dan disimpan oleh lautan dan ekosistem pesisir terutama yang bervegetasi, seperti padang lamun, rawa pasang-surut dan hutan bakau. Konsep karbon biru diperkenalkan untuk menunjukkan bahwa ekosistem pesisir memiliki kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan karbon.
Indonesia sebagai rumah bagi seperempat hutan bakau di dunia, bersama dengan padang lamun berkontribusi sekitar 17% cadangan karbon biru dunia. Oleh karena itu keberadaan ekosistem pesisir menjadi sangat penting untuk dikonservasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melindungi ekosistem pesisir adalah dengan memasukkan proyek karbon biru dalam REDD+. Melalui REDD+ diharapkan kelestarian ekosistem pesisir dapat dipertahankan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Duta Besar Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir (Kemenkomarves, 17/06/2019) bahwa Indonesia akan menjadikan Blue Carbon sebagai andalan dalam skenario pengurangan emisi karbon.
Sejalan dengan urgensi karbon biru untuk memperoleh porsi dalam mitigasi perubahan iklim, ekonomi biru (blue economy) juga memiliki potensi peran yang besar. Ekonomi biru merupakan bagian dari kesepakatan Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan dari ekonomi biru adalah memanfaatkan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan perekonomian sekaligus menjaga kelestarian ekosistem laut.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia berkomitmen untuk menciptakan fondasi ekonomi berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan dengan fokus yang salah satunya pada ekonomi biru. Ekonomi biru hadir untuk mendorong pengembangan industri kelautan yang secara ekologi, ekonomi dan sosial mendapatkan manfaat dari ekosistem laut. Selain itu, konsep ini juga memastikan bahwa model pengelolaan berbasis ekosistem harus menjadi inti dalam proses pengambilan keputusan pembangunan industri dan masyarakat.
Indonesia sebagai Negara maritim sekaligus pemilik keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia memiliki potensi besar untuk memadukan konsep karbon biru dan ekonomi biru
Indonesia sebagai Negara maritim sekaligus pemilik keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia memiliki potensi besar untuk memadukan konsep karbon biru dan ekonomi biru. Apalagi pelaksanaan ekonomi biru telah menjadi prioritas BRIN. Hal ini sekaligus menjadi jawaban bahwa riset di Indonesia mulai memiliki prioritas yang jelas untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki.
Ekonomi Pesisir untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Perpaduan konsep Karbon Biru dan Ekonomi Biru sangat tepat jika diterapkan di wilayah pesisir. Mengingat di Indonesia 60% masyarakatnya bekerja sebagai nelayan karena Indonesia memiliki poros maritim yang besar. Melalui Ekonomi Biru diharapkan praktik perekonomian di Indonesia khususnya kawasan pesisir dapat meninggalkan praktik ekonomi yang hanya memberi keuntungan jangka pendek beralih ke praktik ekonomi yang lebih sustainable dan rendah karbon. Adanya konsep ini diharapkan dapat meminimalisir interdependensi antara ekosistem dan ekonomi serta mengatasi dampak negatif seperti perubahan iklim dan pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi.
Salah satu komoditas yang dapat menyatukan konsep karbon biru dan ekonomi biru adalah rumput laut. Budidaya rumput laut dapat menjadi win-win solution bagi ekonomi dan ekologi yang seringkali saling mengorbankan.
Rumput laut memiliki kemampuan mengikat karbon untuk kebutuhan fotosintesis. Menurut peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Erlania dkk, apabila disejajarkan dengan tumbuhan terestrial, rumput laut memiliki daya serap karbon yang tergolong baik. Hal tersebut dapat ditinjau dari hasil penelitian Widiyanto bahwa hutan konservasi memiliki potensi daya serap karbon sebesar 275 ton per hektar. Tidak jauh berbeda dari angka tersebut, hasil penelitian Erlania dkk menunjukkan bahwa daya serap karbon pada rumput laut dapat mencapai angka 173 ton per hektar. Angka tersebut menunjukkan bahwa rumput laut memiliki daya serap karbon yang cukup tinggi sehingga dapat dikatakan sepadan dengan daya serap karbon pada hutan konservasi.
marikultur pada komoditas rumput laut memiliki potensi untuk menjadi agen mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan budidaya (culture based)
Sejauh ini mitigasi perubahan iklim lebih banyak dilakukan dengan berbasis ekosistem (ecosystem based) sebagaimana pada mangrove dan lamun. Padahal marikultur pada komoditas rumput laut memiliki potensi untuk menjadi agen mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan budidaya (culture based). Melibatkan rumput laut sebagai agen mitigasi perubahan iklim dapat membuka peluang besarnya keterlibatan masyarakat pesisir untuk turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Bahkan apabila budidaya rumput laut diintegrasikan dengan budidaya ikan, rumput laut juga dapat memanfaatkan limbah budidaya ikan sebagai sumber nutrien.
Kemampuan dan potensi rumput laut tidak dapat dinafikan. Apalagi menurut Anna Antoinette Weber-van Bosse selama mengikuti Ekspedisi Siboga pada tahun 1899-1900 ditemukan 782 jenis makroalga dengan rincian 196 jenis alga hijau, 134 alga cokelat, dan 452 jenis alga merah.
Dilansir dari World Economic Forum (25/05/2021), beberapa negara di dunia telah banyak mencurahkan perhatian pada potensi rumput laut bagi mitigasi perubahan iklim, peningkatan ekonomi, ketahanan pangan, hingga potensi energi terbarukan. Hal ini seharusnya menjadi pemicu bagi Indonesia untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
Melimpahnya biodiversitas dan luasnya habitat untuk pertumbuhan rumput laut membuat Indonesia sangat berpotensi untuk menerapkan prinsip karbon biru dan ekonomi biru. Rumput laut dapat menjadi kekayaan biodiversitas yang kemudian menjadi komoditas unggulan sehingga mampu mensejahterakan masyarakat. Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus menurunkan emisi karbon di atmosfer dengan mengoptimalkan potensi rumput laut.
Integrasi antara riset, industri dan pemerintah menjadi kunci bagi masyarakat untuk bergerak lebih terarah. Sebagaimana peribahasa “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Hanya dengan melakukan budidaya rumput laut, para petani rumput laut dapat sekaligus membantu mitigasi perubahan iklim, meningkatkan ketahanan pangan dan yang tidak kalah penting adalah kebutuhan ekonomi tercukupi.
Referensi
Alongi, D., Murdiyarso, D., Fourqurean, J., Kauffman, J., Hutahaean, A., Crooks, S., et al. (2015). Indonesia’s Blue Carbon: A Globally Significant and Vulnerable Sink for Seagrass and Mangrove Carbon. Wetlands Ecol Manage, 23, 1-10.
Ambari, M. (2017, September 11). Mongabay. Retrieved Mei 20, 2021, from Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2017/09/11/besarnya-potensi-karbon-biru-dari-pesisir-indonesia-tetapi-belum-ada-roadmap-blue-carbon-kenapa/
Ary, Widiyanto. “POTENSI SERAPAN KARBON PADA BEBERAPA TIPE HUTAN DI INDONESIA.” Forestry Research and Development Agency, 2011, pp. 1-10, https://www.researchgate.net/publication/299749137_POTENSI_SERAPAN_KARBON_PADA_BEBERAPA_TIPE_HUTAN_DI_INDONESIA.
Badan Riset dan Inovasi Nasional. “Kepala BRIN Sampaikan Tiga Arah dan Tujuh Target Badan Riset dan Inovasi Nasional.” Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia, 05 Mei 2021, https://www.brin.go.id/kepala-brin-sampaikan-tiga-arah-dan-tujuh-target-badan-riset-dan-inovasi-nasional/. Accessed 27 Mei 2021.
Biro Komunikasi Kemenkomarves. (2019, Juni 17). Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Retrieved Mei 20, 2021, from Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi: https://maritim.go.id/indonesia-masukkan-blue-carbon-sebagai-andalan-dalam-skenario/
Costello, C., Cao, L., & Gelcich, S. (2019). The Future of Food from the Sea. Washington DC: Wolrd Resources Institute.
Erlania, Nirmala, K., & Soelistyowati, T. (2013). Penyerapan Karbon pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas di Perairan Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Riset Aquakultur, 8, 287-297.
Erlania, and Radiarta I Nyoman. “The Use of Seaweeds Aquaculture for Carbon Sequestration: A Strategy for Climate Change Mitigation.” Journal of Geodesy and Geomatics Engineering, vol. 2, 2015, pp. 109-115, http://www.davidpublisher.org/Public/uploads/Contribute/55a76a7bde8da.pdf.
Indonesia.go.id. (2020, Juli 17). Indonesia.go.id : Portal Informasi Indonesia. Retrieved Mei 19, 2021, from Indonesia.go.id : Portal Informasi Indonesia: https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/dari-indonesia-untuk-paru-paru-dunia
Macreadie, P. L. (2019). The Future of Blue Carbon Science. Nature Communications, 1-13.
Neish, I. C., Sepulveda, M., Hurtado, A. Q., & Critchey, A. T. (2017). Reflections on the Commercial Development of Eucheumatoid Seaweed Farming. In A. Q. Hurtado, A. T. Critchley, & I. C. Neish, Tropical Seaweed Farming Trends, Problems and Oppotunities (pp. 1-26). Switzerland: Springer International Publishing.
Nontji, A. (2018, 04 26). Oseanografi LIPI. Retrieved 11 27, 2020, from Oseanografi LIPI: http://oseanografi.lipi.go.id/datakolom/48%20ANNA%20VAN%20BOSSE.pdf
Pandu, P. (2021, April 23). Kompas . Retrieved Mei 19, 2021, from Kompas: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/23/indonesia-diminta-tingkatkan-target-penurunan-emisi-dan-percepat-netralitas-karbon/
Prayuda, R., & Sary, D. V. (2019). Strategi Indonesia dalam Implementasi Konsep Blue Economy terhadap Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Indonesian Journal of International Relations, 3, 46-64.
Wale, Azeez. “These 4 start-ups are using seaweed to help save the planet.” World Economic Forum, 25 Mei 2021, https://www.weforum.org/agenda/2021/05/startups-seaweed-farming-ocean-planet-climate/. Accessed 27 Mei 2021.
Wenhai, L., Cusack, C., Baker, M., Tao, W., Mingbao, C., Paige, K., et al. (2019). Succesful Blue Economy Examples with an Emphasis on International Perspectives. Frontiers in Marine Science, 6, 1-14.
World Bank. (2017). The Potential of The Blue Economy. Washington: The World Bank.