Tim penelitian kerja sama antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Griffith University dan Southern Cross University berhasil membuat suatu penemuan penting terkait lukisan gua di wilayah Sulawesi, Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian berjudul, “Narrative cave art in Indonesia by 51,200 years ago” yang dipublikasikan dalam jurnal nature tersebut, diyakini seni cadas (rock art) yang menggambarkan tiga figur menyerupai manusia sedang berinteraksi dengan seekor babi hutan, adalah lukisan gua tertua yang pernah ditemukan hingga saat ini.
Rock art (seni cadas), gambar, lukisan, atau karya serupa di atas atau di atas batu, biasanya berasal dari zaman kuno atau prasejarah, meskipun seni ini terus dipraktikkan di beberapa wilayah Afrika selama abad ke-19 dan mungkin setelahnya. Seni cadas mencakup piktograf (gambar atau lukisan), petroglif (ukiran atau prasasti), ukiran (motif yang diukir), petroform (batuan yang ditata dalam pola), dan geoglif (gambar tanah). Hewan purba, peralatan, dan aktivitas manusia yang digambarkan sering kali membantu menjelaskan kehidupan sehari-hari di masa lalu, meskipun gambar tersebut sering kali bersifat simbolis dan bukan representatif. Sebuah situs mungkin memiliki karya seni yang berasal dari beberapa abad berbeda. Seni cadas mungkin berperan dalam agama prasejarah, mungkin terkait dengan mitos kuno (myths) atau aktivitas dukun (shamans) (encyclopedia britannica). Beberapa bentuk seni cadas paling awal adalah lukisan gua (cave paintings). Adapun di Indonesia banyak yang menyebut dengan lukisan goa, lukisan dinding goa, atau gambar cadas.
Dalam menentukan umur lukisan gua, tim penelitian mengaplikasikan metode analisis mutakhir melalui ablasi laser U-series (LA-U-series) untuk mendapatkan pertanggalan akurat pada lapisan tipis kalsium karbonat yang terbentuk di atas seni hias tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa seni hias di bawah lapisan tersebut memiliki pertanggalan paling awal sekitar 51.200 tahun yang lalu. Sehingga hal tersebut membuatnya sebagai gambar hias gua tertua di dunia sekaligus narasi seni paling awal yang pernah ditemukan dan diteliti hingga saat ini.
Ahli seni cadas Indonesia dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adhi Agus Oktaviana yang menjadi ketua tim dalam penelitian bersama tersebut, menyatakan, bahwa penemuan lukisan di goa kapur, di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan adalah seni cadas pertama di Indonesia yang umurnya melampaui 50.000 tahun. Penemuan oleh Oktaviana dan tim Griffith University ini mengindikasikan bahwa lukisan gua yang bersifat naratif merupakan bagian penting dalam budaya seni manusia awal Indonesia pada masa itu.
Selain itu, Tim penelitian juga melakukan pertanggalan ulang pada kandungan kalsium karbonat yang melapisi lukisan gua di situs Leang Bulu’ Sipong 4 di Maros Pangkep. Lukisan gua ini menampilkan adegan sosok yang diinterpretasikan sebagai therianthropes (setengah manusia, setengah hewan) yang sedang berburu babi rusa dan anoa. Lukisan gua ini sebelumnya sudah pernah diteliti dengan hasil pertanggalan setidaknya 44.000 tahun yang lalu. Melalui metode terbaru, hasil yang didapatkan juga cukup mengesankan karena seni hias tersebut berumur 4.000 tahun lebih tua, yaitu sekitar 48.000 tahun.
Dengan penemuan lukisan tertua berusia 51.200 tahun tersebut, maka usianya lebih dari tiga kali lipat lukisan terkenal Shaft scene, yaitu lukisan seorang pria berkepala burung sedang diserang oleh seekor bison yang terluka, yang berusia 17.000 tahun di goa Lascaux dan lukisan bermotif binatang-binatang buruan berusia 35.000 tahun di Goa Chauvet Prancis, lukisan “Lion Man” berupa patung manusia berkepala singa yang terbuat dari gading berusia 40.000 tahun yang ditemukan di Jerman, serta lukisan cadas tua juga ditemukan di El Castillo, Spanyol utara dengan usia 40.800 tahun yang sempat diklaim sebagai gambar tertua di dunia.
Gambar: lukisan tertua di Prancis
Dalam Siaran Pers Badan Riset dan Inovasi Nasional di websitenya, Kepala Pusat Riset (PR) Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Irfan Mahmud berpendapat bahwa publikasi ini sangat bermakna bagi narasi kebudayaan dunia dari berbagai aspek ilmu pengetahuan, dan makin memperkuat nilai penting warisan arkeologi Maros-Pangkep sebagai kawasan yang sangat penting dilindungi dan dimanfaatkan untuk riset, pendidikan, termasuk pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat.
Ancaman Kelestarian Lukisan Gua di Kawasan Karst Maros-Pangkep
Perbukitan kapur di lanskap karst Maros-Pangkep adalah bentang alam karst terluas kedua di dunia. Lanskap karst yang membentang di Maros-Pangkep bahkan telah secara resmi dinyatakan sebagai Geopark Global UNESCO, melalui Sidang UNESCO pada 24 Mei 2023 di Paris, Prancis. Kawasan karst Maros-Pangkep diketahui menyimpan ratusan gua dengan karya seni kuno. Pemegang rekor lukisan tertua sebelumnya, juga ditemukan di sebuah gua di Leang Tedongnge, yang terdapat dalam kawasan karst Maros-Pangkep. Lukisan berupa gambar babi hutan seukuran aslinya, yang dijelaskan dalam jurnal Science Advances pada tahun 2021 diyakini dibuat setidaknya 45.500 tahun yang lalu. Sebelumnya, Pada tahun 2014 juga ditemukan gambar lukisan berusia 40.000-an tahun dengan motif stensil tangan berwarna merah di kawasan yang sama dan pada tahun 2019 mereka kembali mengungkap temuan gambar cadas berusia 44.000 tahun di Leang Bulu’ Sipong 4.
Gambar: Lukisan babi berusia 45.500 tahun yang ditemukan di Leang Tedongnge
Rustan Lebe, arkeolog di Balai Pelestarian Kebudayaan, sebuah lembaga pemerintah Indonesia di Makassar, telah secara sistematis mendokumentasikan gua-gua yang tersebar di Kabupaten Maros dan Pangkep – beserta karya seni di dalamnya – sejak tahun 2016. Beberapa situs berada jauh di tengah hutan belantara tropis; yang lainnya terletak di belakang rumah dan digunakan oleh penduduk desa sebagai gudang gandum dan kuil; banyak yang berlokasi di lahan tempat perusahaan menambang marmer dan batu kapur untuk dijadikan semen. Basis data Lebe saat ini mencatat 654 gua, dan ia memperkirakan ia dan timnya sejauh ini baru menjelajahi kurang dari separuh perbukitan karst. Menurut Lebe, secara mengejutkan 65% situs berisi lukisan gua. Sayangnya Lebe juga menemukan, bahwa beberapa lukisan gua tersebut perlahan menghilang di depan matanya.
Lebe dan pekerja di gua lainnya yakin bahwa debu dari tambang Semen Tonasa dan tambang lain di wilayah tersebut – merupakan masalah besar. “Debu pasti masuk ke dalam gua,” kata Lebe, “terutama di gua yang terletak di dekat pertambangan dan industri.” Aktivitas pertambangan Semen Tonasa hanyalah satu dari beberapa operasi pertambangan di wilayah tersebut yang menurutnya dapat berdampak pada seni lukisan di dalam gua.
Laporan Jillian Huntley dari dan tim Pusat Penelitian Sosial dan Budaya Griffith (the Griffith Centre for Social and Cultural Research/ GCSCR) yang dimuat dalam Scientific Reports berjudul “The effects of climate change on the Pleistocene rock art of Sulawesi” tahun 2021 menunjukkan, kondisi seni cadas di Maros-Pangkep umumnya mengalami pelapukan pada tingkat yang mengkhawatirkan akibat dampak perubahan iklim, selain dari penambangan batu kapur skala industri (dengan polusi terkait yang belum dapat dihitung). Tim mengungkapkan, bahwa peningkatan suhu dan pola cuaca ekstrem lainnya, seperti hari-hari kemarau berturut-turut dan musim hujan lebat telah mempercepat penumpukan garam di dalam sistem gua yang menampung gua-gua seni cadas tersebut. Garam membengkak dan menyusut seiring dengan pemanasan dan pendinginan lingkungan. Dimana pada hari yang panas, kristal garam geologis yang berkembang di permukaan dan di belakang seni cadas tumbuh lebih dari tiga kali lipat ukuran awalnya, sehingga dapat menyebabkan sebagian gambar terkelupas dari dinding gua.
Pada bulan Februari 2020, surat kabar The Guardian menerbitkan artikel berjudul “World’s oldest art under threat from cement mining in Indonesia”, yang berisi tentang ancaman aktivitas pertambangan Semen Tonasa terhadap “seni tertua di dunia”. Artikel tersebut masuk ke kotak masuk Hilde Jervan, kepala penasihat di Dewan Etika untuk Dana Pensiun Global Pemerintah Norwegia (the Norwegian Government Pension Fund Global/ GPFG). Tim Jervan mempekerjakan arkeolog independen Matthew Whincop dan Noel Hidalgo Tan, yang mengunjungi Bulu’ Sipong 4 pada tahun 2022 untuk menilai apakah aktivitas Semen Tonasa mungkin merusak seni gua di dekatnya. Karena kurangnya data, Whincop dalam laporannya kepada Dewan Etik menyimpulkan, bahwa tidak ada bukti kuat bahwa aktivitas Semen Tonasa merugikan seni cadas Maros–Pangkep. Namun laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa perusahaan perlu berbuat lebih banyak untuk mencegah kerusakan, khususnya akibat debu, getaran ledakan, dan kelembapan yang disebabkan oleh lubang tanah liat yang berisi air.
Meskipun tidak ada bukti kuat, namun aktivitas PT Semen Tonasa telah dianggap meningkatkan resiko, sehingga pada tanggal 25 Mei tahun 2023, perusahaan investasi Norges Bank atau NBIM dari Norwegia sebagai penanam modal terbesar ketiga untuk Semen Indonesia, kemudian menempatkan produsen PT Semen Indonesia Tbk selaku holding Semen Tonasa yang beroperasi kawasan Maros-Pangkep dalam pengawasan selama tiga tahun karena dugaan risiko kerusakan pada situs warisan budaya prasejarah dan khususnya penting. Dalam rekomendasinya, Semen Tonasa dianggap tidak memiliki pemantauan sistematis terhadap situs seni cadas yang menjadi dasar untuk menilai dampak kegiatan terhadap seni cadas. Dewan Etik menganggap bahwa perusahaan harus mengambil tanggung jawab khusus untuk memastikan bahwa aktivitas Semen Tonasa tidak berkontribusi terhadap perusakan seni cadas, mengingat signifikansi global warisan budaya yang diwakilinya. Tanggung jawab ini juga mencakup perlindungan warisan budaya yang belum ditemukan. Perusahaan telah mengungkapkan bahwa mereka akan menerapkan langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan perlindungan situs warisan. Karena langkah-langkah tersebut masih dalam tahap perencanaan, Dewan merekomendasikan agar SIG ditempatkan di bawah pengawasan untuk memantau pelaksanaan langkah-langkah tersebut.
Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS/ Conseil international des monuments et des sites) memberikan nasihat kepada Dewan Etik GPGF mengenai pentingnya seni cadas di Maros Pangkep, bahwa: “Wilayah Maros Pangkep jelas memiliki lanskap biologis, arkeologis, dan budaya yang luar biasa” dan “seni cadas di wilayah ini mempunyai arti penting internasional yang luar biasa. […] Wilayah ini saat ini mengklaim seni cadas figuratif tertua di dunia. Seni Maros Pangkep lebih tua dari lukisan gua tertua di Eropa, yang dulunya dianggap sebagai penanda ‘Asal Usul’ seni. Oleh karena itu, seni cadas di kawasan ini sangat penting bagi pemahaman global tentang asal usul pemikiran simbolik dan penjelasan tentang bagaimana apa yang disebut ‘modernitas budaya’ manusia meluas ke seluruh dunia.”
Dalam perkembangannya, perusahaan semen tonasa kemudian menutup permukaan jalan di sepanjang gundukan Bulu’ Sipong dan meningkatkan jumlah truk air yang membasahi jalan yang kini ditutup tersebut untuk mengurangi jumlah debu yang dihasilkan dari kendaraan berat yang melintas. Selain itu, perusahaan telah mempekerjakan seorang arkeolog independen John Peterson, Filipina, untuk menyusun rencana pengelolaan warisan budaya yang komprehensif.
Karst dan gua telah menjadi saksi bisu evolusi Bumi dan kebangkitan peradaban manusia. Melindungi gua dan karst sangat penting untuk pelestarian sejarah kita dan planet ini. Tanpa upaya konservasi yang lebih memadai, maka lukisan tangan, babi kutil, dan pemandangan berburu yang tersimpan di goa karst Maros–Pangkep mungkin akan segera hilang tanpa dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Perlindungan ekosistem karst permukaan dan bawah tanah sangat relevan dengan Tujuan 15 dari Agenda PBB 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (Melindungi, memulihkan, dan mempromosikan penggunaan ekosistem darat yang berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, dan menghentikan serta membalikkan degradasi lahan dan menghentikan keanekaragaman hayati kehilangan). Perlindungan Karst juga memiliki relevansi untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 6 (Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua), karena 10% populasi dunia memperoleh pasokan air dari karst, baik dari mata air yang berbeda atau dari air tanah karst.