Krisis iklim semakin menjadi-jadi. Snowcap di Gunung Fuji tak kunjung memamerkan kecantikannya hingga akhirnya 6 November 2024 muncul kembali. Kemunculannya terlambat hampir satu bulan, di luar kebiasaannya yang selalu muncul awal Oktober sejak 130 tahun lalu. Indonesia pun demikian, dengan satu-satunya salju di Puncak Cartenz, kini terancam hilang akibat mendidihnya bumi yang melelehkan es di atasnya.
Emission Gap Report 2024 menunjukkan bahwa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai rekor tertinggi sebesar 57,1 GtCO2e pada tahun 2023. Angka tersebut meningkat sebesar 1,3 persen (0,7 GtCO2e) dari tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa upaya penurunan emisi yang dilakukan saat ini masih belum efektif dalam mengurangi emisi GRK. Para ilmuwan pun menekankan bahwa kebijakan saat ini dianggap belum mampu membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C atau 2°C sesuai Perjanjian Paris.
Baru-baru ini di bulan Oktober di Indonesia yang memang selalu panas karena adanya gerakan semua matahari, menjadi lebih menyengat hingga temperaturnya mencapai rekor suhu harian yaitu 38,4°C. Sepanjang tahun 2024 suhu bulanan Indonesia lebih panas hampir satu derajat celsius dibanding rata-rata suhu di 30 tahun terakhir. Kondisi ini tentu saja hanya dapat terjadi karena krisis iklim global yang semakin gawat.
Kesepakatan COP29
Di tengah krisis yang semakin kronis, para pemimpin dunia tentu saja tidak boleh terdiam statis. Baru-baru ini (11 – 22 November 2024) COP29 Baku telah terlaksana. Salah satu hal yang menjadi kesepakatan penting adalah tercapainya Konsensus Standar Pasar Karbon berdasarkan Artikel 6.4 Perjanjian Paris. Terwujudnya kesepakatan ini diharapkan mampu membantu negara-negara dalam mewujudkan penurunan emisi penyebab pemanasan global yang lebih cepat dan tentu saja murah.
Pasar karbon memang menjadi andalan para pemimpin dunia dalam upaya menurunkan emisi GRK. Namun sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan upaya ambisius untuk mengurangi emisi maupun upaya untuk beralih ke energi baru terbarukan dengan alasan mahal. Padahal energi fosil juga mahal apabila eksternalitas terhitung. Sehingga saat ini yang terjadi adalah perusahaan masih merasa tenang untuk menghasilkan dosa-dosa emisi karena merasa telah menebus dosa melalui mekanisme carbon offset. Padahal apakah memang penyerapan karbon dari seluruh agen yang kita andalkan menjadi carbon sequester masih dapat diandalkan?
Hutan Kita Tak Lagi Sama
Hutan yang digadang-gadang memiliki mekanisme alami untuk membantu mewujudkan penanganan perubahan iklim. Selain mekanisme Nature based Solution yang dikenal murah, hutan juga menjadi ekosistem penting yang mampu menyerap karbon dan berkontribusi dalam bursa perdagangan karbon. Namun di tengah perannya yang diketahui ampuh untuk menyerap gas rumah kaca yang dapat bertahan di atmosfer selama 20 tahun tersebut, ternyata ekosistem hutan menghadapi tantangan besar.
Hutan global sebelumnya diketahui mampu menyerap karbon sebesar 3,6 ± 0,4 petagram karbon per tahun sejak tahun 1990-an. Namun pada tahun 2023 penyerapan karbon hutan dunia mengalami penurunan salah satunya akibat kekeringan di Amazon dan kebakaran hutan di Kanada yang mengurangi kemampuan penyerapan karbon serta pelepasan karbon skala besar. Secara spesifik, hutan boreal juga secara khusus mengalami penurunan kemampuan penyerapan karbon karena peningkatan suhu yang mengakibatkan gangguan fisiologis pohon serta adanya hama kumbang kulit kayu. Sedangkan untuk hutan tropis primer juga mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon hingga 31%, tentu saja disebabkan oleh deforestasi.
Penurunan kapasitas penyerapan karbon di hutan tropis selain dipengaruhi oleh luas hutan yang semakin berkurang juga dipengaruhi oleh ketersediaan air dari ekosistem. Jadi, pemanasan global yang menjadi sebab perubahan iklim itu sendiri juga mengakibatkan penurunan kapasitas penyerapan karbon dari ekosistem hutan melalui kurangnya kandungan air yang dibutuhkan oleh pohon. Berdasarkan penelitian Liu et al (2023) menunjukkan bahwa ketersediaan air yang semakin sedikit di wilayah tropis mempengaruhi penyerapan karbon oleh ekosistem terestrial. Dalam penelitian tersebut, para peneliti menemukan bahwa penurunan ketersediaan air sangat terkait dengan peningkatan laju pertumbuhan karbondioksida di atmosfer. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika ketersediaan air semakin terbatas, kemampuan ekosistem tropis untuk menyerap karbon berkurang. Hal ini dapat dijelaskan dengan mekanisme ekofisiologi tumbuhan.
Apabila tumbuhan hidup di lingkungan yang kekurangan air atau kekeringan, aktivitas fotosintesisnya akan menurun. Penurunan ini disebabkan karena mekanisme stomata maupun non-stomata. Stomata merupakan pori-pori dengan ukuran panjang sekitar 10-80 mikrometer dan lebar sekitar 3-30 mikrometer yang berfungsi menjadi tempat keluarnya air dan penyerapan karbondioksida. Stomata biasanya akan menutup ketika lingkungan sekitar tidak menyediakan air yang cukup. Hal ini bertujuan supaya air alam tubuh tumbuhan tidak menguap. Namun penutupan stomata ini sekaligus mengurangi karbondioksida yang terserap. Sehingga laju fotosintesis berkurang, dan karbondioksida di atmosfer tidak mengalami pengurangan. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pemanasan global yang semakin meningkat.
Kondisi ini merupakan kondisi lingkaran setan yang membuat kondisi bumi semakin mengkhawatirkan. Oleh sebab itu seluruh penyebab kenaikan suhu bumi harus diganti dengan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. Selain itu intervensi yang ambisius terhadap kondisi hutan yang menjadi salah satu garda depan untuk memperlambat krisis iklim juga harus semakin intensif dilakukan.
Referensi
Anjum, S. A., Xie, X., Wang, L., Saleem, M. F., Man, C., & Lei, W. (2011). Morphological, physiological, and biochemical responses of plants to drought stress. African Journal of Agricultural Research, 6(9), 2026–2032.
Brienen, R. J. W., & Hubau, W. (2024). The enduring world forest carbon sink. Nature, 619(7989), 123–134. https://doi.org/10.1038/s41586-024-07602-x
Carrington, D. (2020, March 4). Tropical forests losing their ability to absorb carbon, study finds. The Guardian. Retrieved from https://www.theguardian.com/environment/2020/mar/04/tropical-forests-losing-their-ability-to-absorb-carbon-study-finds
Reuters. (2024, July 29). World’s forests failed to curb 2023 climate emissions, study finds. Reuters. Retrieved from https://www.reuters.com/business/environment/worlds-forests-failed-curb-2023-climate-emissions-study-finds-2024-07-29/
United Nations Environment Programme (UNEP). (2024). Emissions gap report 2024. Retrieved from https://www.unep.org/resources/emissions-gap-report-2024
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (n.d.). Article 6.4 mechanism. Retrieved from https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/article-64-mechanism
Vidal, J. (2024, October 14). Nature carbon sink collapse linked to global heating models and emissions targets. The Guardian. Retrieved from https://www.theguardian.com/environment/2024/oct/14/nature-carbon-sink-collapse-global-heating-models-emissions-targets-evidence-aoe
Vidal, J. (2024, October 15). Finland emissions target threatened by collapsing forest sinks. The Guardian. Retrieved from https://www.theguardian.com/environment/2024/oct/15/finland-emissions-target-forests-peatlands-sinks-absorbing-carbon-aoe