Kenaikan harga minyak mentah dunia telah menembus level 90 dollar AS, harga tertinggi sejak tahun 2014. JP Morgan memprediksi harga bisa menyentuh 120 dollar AS per barel jika perang Rusia-Ukraina pecah. Selain faktor geopolitis, kekhawatiran akan invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan harga juga dipicu faktor fundamental, yakni ketatnya pasokan dbandingkan dengan permintaan dunia. Kenaikan harga minyak mentah tentu akan semakin membebani subsidi energi: BBM, listrik, dan elpiji, yang harus dipikul APBN.[i]
Harga sejumlah BBM nonsubsidi di Indonesia telah melambung mengikuti tren harga minyak mentah dunia. Pada Sabtu 12 Februari lalu, Pertamina telah menaikkan harga BBM jenis Pertamax Turbo (RON 98), Pertamina Dex, dan Dexlite. Pertamina Dex dan Dexlite adalah nama pasar untuk BBM jenis solar non-subsidi.[ii]
Data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan, produksi minyak di Indonesia terus merosot dalam enam tahun terakhir. Pada 2016, produksi minyak tercatat sebanyak 831.000 barel per hari dan menurun hingga menjadi 660.000 barel per hari pada 2021. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi minyak sebanyak 703.000 barel per hari. Sehingga Indonesia perlu mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 800.000 barel per hari untuk memenuhi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional yang sebanyak 1,4 – 1,5 juta barel per hari.[iii]
Pada satu sisi, lonjakan harga minyak mentah tentunya akan berdampak besar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi. Di sisi lainnya, kenaikan harga minyak mentah merupakan momentum untuk mempercepat transisi ke energi baru terbarukan.
Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Energi Terbarukan
Sejak tahun 1988 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan perubahan iklim sebagai masalah bersama bagi seluruh umat manusia. Pada tahun yang sama itulah, UNEP dan WMO membentuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) untuk memberikan panduan ilmiah yang diperlukan dalam rangka mengambil tindakan lebih lanjut.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change-IPCC) ke 4 Tahun 2007 telah menetapkan tingkat pemanasan global maksimal 2° C. Ambang batas tersebut diyakini para ahli IPCC sebagai batasan adaptasi daya dukung bumi untuk menstabilkan iklim. Kenaikan suhu global lebih dari 2°C diperkirakan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan, baik generasi sekarang maupun akan datang.
Perjanjian Paris menciptakan kewajiban yang mengikat secara hukum pada para pihak, berdasarkan komitmen sukarela untuk mengimplementasikan Nationally Determined Contribution/NDC. Tujuannya untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2° C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga di bawah 1,5°C.
Bahan bakar fosil bertanggung jawab atas perubahan iklim, dan juga berkontribusi besar terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi. Pergeseran dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan adalah langkah yang perlu diambil dan menjadikan energi terbarukan sebagai norma bukanlah masalah teknologi atau biaya. Saat ini, sekitar 80% energi global dan 66% pembangkit listrik dipasok dari bahan bakar fosil, menyumbang sekitar 60% emisi gas rumah kaca (GRK) yang bertanggung jawab atas perubahan iklim.[iv]
Menurut Inger Andersen Direktur Eksekutif UNEP, hasil Penelitian Kesenjangan Emisi UNEP mengungkapkan, bahwa sektor energi dapat mengurangi 12,5 gigaton emisi tahunannya – sekitar seperempat dari total emisi tahunan global. Manfaat transisi energi tidak berhenti pada perubahan iklim, karena berinvestasi dalam transisi energi akan menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada investasi serupa dalam bahan bakar fosil. Sebagai contohnya, proyek retrofit (renovasi) efisiensi gedung dan pembangunan gedung baru yang efisien dapat menciptakan 9-30 pekerjaan per juta dolar pengeluaran. Menurut Inger, ini adalah pekerjaan yang paling hemat biaya di sektor energi dan sekaligus menyediakan energi yang bersih dan efisien akan mengurangi polusi udara, membantu pendidikan dan perawatan kesehatan yang berkualitas, dan memberikan banyak manfaat sosial lainnya.[v]
Penilaian oleh perusahaan jasa profesional Ernst & Young (EY) mengatakan fokus pemerintah pada energi terbarukan dan proyek ramah iklim untuk mendorong pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 dapat menciptakan lebih dari 100.000 pekerjaan langsung di seluruh negeri sambil mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, Laporan EY menunjukkan sekitar 58.000 pekerjaan dapat diciptakan dalam konstruksi dengan membuka jalan untuk mempercepat pengembangan ladang tenaga surya dan angin yang telah direncanakan.[vi]
Transisi ke bentuk energi yang lebih bersih telah dimulai di banyak negara. Secara global sektor listrik telah membuat kemajuan besar, dimana hampir semua pembangkit tenaga listrik yang baru dibangun telah bersumber dari energi terbarukan. Namun terlepas dari laju inovasi teknologi dan pengurangan biaya yang cepat baru-baru ini, energi terbarukan dan teknologi efisiensi energi masih harus bersaing dengan teknologi energi intensif karbon yang disubsidi tinggi. Teknologi energi terbarukan dapat diterapkan lebih cepat jika kebijakan energi menangani subsidi dan dampak bahan bakar fosil sambil memfasilitasi lebih banyak pembiayaan untuk proyek energi terbarukan.[vii]
Analisis ilmiah telah menemukan di bawah kebijakan saat ini dunia saat ini menuju lebih dari 3°C pemanasan, peningkatan para ilmuwan telah memperingatkan akan menyebabkan keruntuhan ekologis yang signifikan.[viii] Sayangnya,menurut Laporan REN 21 Global (Renewables 2021 Global Status Report), paradigma yang diperlukan untuk dapat menuju masa depan energi yang bersih, lebih sehat dan lebih adil masih belum berubah. Karena porsi bahan bakar fosil dalam bauran energi global masih sama tingginya, dengan satu dekade lalu (80,3% dibandingkan dengan 80,2% saat ini), dan porsi energi terbarukan hanya meningkat sedikit.[ix]
Baca lebih lanjut dalam: Renewables 2021 Global Status Report (GSR)
Potensi dan Pemanfaatan Energi Terbarukan di Indonesia
Sesuai dengan Perjanjian Paris 2015, hampir 200 negara yang menyepakati kemudian membuat Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon. Target tersebut dapat dicapai dengan beberapa cara seperti mengurangi deforestasi maupun transisi energi terbarukan. NDC yang ditetapkan oleh seluruh negara-negara di dunia, adalah suatu “tools” untuk mencapai kondisi iklim yang ideal, yaitu menahan kenaikan suhu global sebesar 1,5°C – 2°C.
Indonesia dalam NDCnya, berkomitmen pada periode pertama, mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. Komitmen ini diperkuat melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.
Demi mencapai target tersebut, Indonesia telah mencanangkan target EBT dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Indonesia diketahui memiliki semua potensi energi terbarukan, seperti energi surya, air, angin, panas bumi dan bioenergi dan/atau biomassa.
Menurut laporan REN 21, sejak tahun 2019 Indonesia hampir mencapai akses universal atas listrik (>99%), meningkat dari 67% di 2010. Namun, bahan bakar fosil masih mendominasi sistem ketenagalistrikan Indonesia. Dengan kenaikan sebesar 155% pada konsumsi batu bara, sebagai penunjang setengah dari total pembangkitan listrik Nusantara.
Sedangkan energi terbarukan meningkat sangat sedikit dan hanya berkontribusi sebesar 16% dari pembangkitan listrik nasional di 2019, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2010. Meskipun sejak tahun 2020 Indonesia telah menjadi produsen biodiesel terbesar dunia dengan pangsa 17% dari total global, diikuti oleh Amerika Serikat dan Brazil. Selain itu, Indonesia menempati urutan kedua setelah AS untuk kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang terpasang.
Kebutuhan energi listrik di Indonesia terus naik setiap tahunnya pada berbagai sektor pengguna. Puncak beban listrik meningkat dengan rata-rata peningkatan 5,81% setiap tahunnya. Sementara peningkatan konsumsi listrik yang terus naik sejak 2011 dengan rata-rata 5,7% per tahun. Berdasarkan data tersebut, diprediksi bahwa sepuluh tahun mendatang, kebutuhan listrik Indonesia akan meningkat sebesar 6,42% per tahun, dengan asumsi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3%.[x]
Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan energi terbarukan. Terlepas dari pernyataan dan target resmi Indonesia yang ditetapkan dalam hal ini, pengembangan energi terbarukan di Indonesia kenyataanya masih jauh panggang dari api. Dimana menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi, mengungkapkan, dari potensi energi terbarukan (ET) di Indonesia yang sebanyak 3.600 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru 11,15 GW atau sebesar 3% dari total potensi ET.[xi]
Menurut Siaran Pers Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Pemerintah telah memiliki peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Pada peta jalan tersebut, tambahan pembangkit listrik setelah tahun 2030 hanya dari PLT EBT. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya. Hidrogen juga akan dimanfaatkan secara gradual mulai 2031 dan secara masif pada 2051. Kemudian tenaga nuklir akan masuk dalam sistem pembangkitan mulai tahun 2049.[xii]
Menurut laporan Tinjauan Kebijakan Pembiayaan dan Investasi Energi Bersih Indonesia yang disusun oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD (The OECD Clean Energy Finance and Investment Policy Review of Indonesia 2021) mengungkapkan, Indonesia telah menjadi tujuan pilihan para investor bidang energi bersih, karena tingginya prospek energi terbarukan dan potensi penghematan energinya. Transisi Indonesia menuju energi terbarukan diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan pekerjaan hijau baru (green jobs).[xiii]
Sayangnya pemanfaatan energi bersih masih jauh di bawah potensinya, sementara investasi dalam bahan bakar fosil tetap dilakukan dalam jumlah besar. Saat ini, untuk setiap dolar yang dikeluarkan untuk energi terbarukan pada 2019, lebih dari tiga dolar dihabiskan untuk batu bara. Laporan OECD menegaskan, bahwa investasi energi terbarukan Indonesia mengalami kelesuan selama dekade terakhir dan sebagian besar selalu lebih rendah dari jumlah yang diperlukan untuk mencapai target nasional.[xiv]
Pemanfaatan Energi Terbarukan di Daerah
Menurut kajian Pusat Studi Energi UGM, peran sentral Pemerintah Daerah merupakan salah satu isu penting dalam upaya pemanfaatan sumber daya daerah untuk mencapai target transisi menuju ET.[xv] Langkah awal untuk mewujudkan pengembangan energi terbarukan di tingkat daerah adalah melalui penyusunan Rencana Umum Energi Daerah. RUED merupakan dokumen rencana pengelolaan energi tingkat daerah yang merupakan penjabaran dan rencana pelaksanaan Rencana Umum Energi Nasional yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran Rencana Umum Energi Nasional.
Namun sejak bulan Juli Tahun 2021, progres penyusunan RUED 34 Provinsi tampaknya masih jalan di tempat. Saat ini terdapat 22 Provinsi yang telah menetapkan Perda RUED, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Jawa Timur, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jambi, Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat.[xvi]
Salah satu daerah yang telah menyusun RUED adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui penerbitan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2020 – 2050. (Download disini)
Pada tahun 2018, tingkat pemanfaatan energi terbarukan di Yogyakarta baru mencapai 5 persen dari total seluruh kebutuhan energi. Pemerintah Yogyakarta telah berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas proyek-proyek tersebut dalam rangka meningkatkan bauran energi terbarukan di Yogyakarta. Pengembangan energi terbarukan dimulai sejak tahun 2005 dengan berbagai sumber energi seperti angin, air, dan matahari. Saat ini diketahui sebanyak 15 pembangkit listrik energi terbarukan telah didirikan di Yogyakarta sebelum tahun 2017 (Tabel). Semua pembangkit ini dapat dikategorikan sebagai pembangkit listrik skala kecil karena kapasitasnya di bawah 10 Mega Watt.[xvii]
Tabel Pembangkit Listrik Energi Terbarukan di Yogyakarta[xviii]
Yogyakarta memiliki banyak sumber energi terbarukan, seperti potensi energi surya, mikrohidro, angin, limbah dan bioenergi dengan total kapasitas hingga 75.531 TOE (Tonne of Oil Equivalent). Secara umum pemanfaatan sumber energi terbarukan di Yogyakarta hingga tahun 2016 sebesar 4.415 TOE atau 5,8 persen dari total kapasitas potensial.[xix]
Angin merupakan sumber energi potensial terbesar karena letak geografis Yogyakarta di wilayah pesisir selatan Jawa, menghadap Samudera Hindia. Lokasi ini berpotensi untuk mengembangkan sumber energi angin di tempat-tempat seperti Sundak, Srandakan, Baron dan Samas yang kecepatan anginnya dapat mencapai 5 meter per detik (Carepi, 2009). Namun, pemanfaatan angin sebagai sumber energi hampir tidak ada karena tingkat pemanfaatannya kurang dari 1 persen dari potensinya. Tantangan utama dalam pengembangan energi hidro adalah fluktuasi debit air dari tahun ke tahun.
Pemanfaatan aliran sungai dan sistem irigasi sebagai sumber energi baru mencapai sekitar 358 TOE atau 43 persen dari potensinya. Ini adalah tingkat persentase pemanfaatan potensi tertinggi di antara berbagai sumber energi terbarukan. Berdasarkan roadmap energinya, pemerintah Yogyakarta berencana menambah jumlah dan kapasitas pembangkit listrik tenaga air. Selanjutnya, komponen pembangkit listrik tenaga air kini dapat dibuat di dalam negeri yang akan menekan biaya produksi energi.
Selain itu, karena secara geografis terletak di dekat garis khatulistiwa, Yogyakarta memiliki potensi untuk menghasilkan energi dari matahari. Berdasarkan pantauan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), intensitas penyinaran matahari mencapai 4,5 kWh/m2 dengan radiasi maksimum terjadi pada pukul 10.00-14.30 di seluruh wilayah yang merupakan sumber energi yang besar (Sugiyono, 2010). Namun, pengembangan energi surya di Yogyakarta masih minim. Pada 2016, pemanfaatan energi surya mencapai 200 kilo watt peak (kWP) atau hanya 2 persen dari potensinya. Sugiyono (2010) berpendapat bahwa salah satu kendala utama pengembangan energi surya adalah investasi yang membutuhkan modal yang besar. Hal ini terutama disebabkan oleh komponen mahal yang digunakan dalam membangun energi surya terutama baterai.
Tabel Potensi Energi Terbarukan di Yogyakarta
Pemanfaatan energi surya di Yogyakarta sebagian besar terbatas pada daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki akses listrik karena belum terjangkau oleh jaringan listrik PLN. Alasan untuk keadaan ini adalah karena membangun dan menghubungkan jaringan listrik PLN ke daerah-daerah ini secara ekonomi tidak layak karena tidak dapat diaksesnya dan fakta bahwa mereka jarang berpenghuni. Membangun jaringan listrik baru ke daerah-daerah ini akan terlalu mahal sementara volume penjualan akan kecil. Dengan demikian, energi surya muncul sebagai alternatif untuk menyediakan listrik di daerah-daerah tersebut.
Yogyakarta juga memiliki potensi untuk memperoleh energi terbarukan dari biomassa. Biomassa adalah bahan bakar organik yang dapat dihasilkan dari kotoran hewan atau bahan tumbuhan seperti padi, kelapa, jagung dan tebu. Hal ini dapat menghasilkan berbagai produk energi termasuk listrik, bahan bakar cair, gas dan bahan kimia. Sumber energi terbarukan lainnya adalah limbah dari rumah tangga dan industri. Ada inisiatif masyarakat yang sedang berjalan yang berusaha mengubah sampah menjadi energi. Seorang pejabat dari Biro Keuangan Yogyakarta mengungkapkan dalam sebuah wawancara bahwa pengelolaan sampah di Yogyakarta adalah yang terbaik di negeri ini. Itu dirintis dan dikelola oleh masyarakat setempat. Sampah dikelola dan diolah menjadi sumber energi, pupuk dan kerajinan tangan (wawancara dengan penulis 2018). Piyungan dan Kaliurang merupakan contoh lokasi yang memiliki potensi sumber energi dari sampah.[xx]
Pemanfaatan Energi Terbarukan di Perkotaan
Menurut laporan “Renewables in Cities Global Status Report (GSR) 2021” mengungkapkan, bahwa kota dapat membantu target nasional untuk mempercepat transisi energi rendah karbon. Daerah perkotaan menyumbang lebih dari dua pertiga konsumsi energi final dunia. Perluasan pasokan listrik yang cepat diperlukan untuk memenuhi aspirasi penduduk perkotaan saat ini dan masa depan, terutama dengan elektrifikasi untuk memasak, pemanas, dan transportasi. Penduduk perkotaan, perusahaan, dan pemerintah sering kali menjadi yang pertama bereksperimen dengan teknologi baru, mengubah produksi, distribusi, dan konsumsi energi.
Kota adalah daerah berdampak tinggi: mereka adalah rumah bagi lebih dari 55% populasi global dan menyumbang sekitar tiga perempat dari konsumsi energi final global. Karenanya perkotaan di seluruh dunia bertanggung jawab terhadap 75% emisi karbon global.
Sehingga Pemerintah kota di seluruh dunia harus berpartisipasi untuk mengambil tindakan untuk mempercepat penyerapan energi terbarukan secara global. Mereka telah memasang, membeli atau mengontrak energi terbarukan untuk memenuhi permintaan operasi mereka sendiri. Mereka juga terus mengadopsi target energi terbarukan dan menerapkan kebijakan untuk mendorong konsumsi lokal dan pembangkitan energi terbarukan.
Selanjutnya, kota juga penting untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di sektor-sektor yang tertinggal, yaitu bangunan dan transportasi. Mengganti bahan bakar fosil dengan cepat dengan energi terbarukan di seluruh sektor berpolusi tinggi, yaitu pemanasan dan pendinginan bangunan dan transportasi, sangat penting untuk keberhasilan strategi iklim perkotaan dan membantu menciptakan kota yang berkelanjutan, adil, dan berkembang – lebih tangguh, dengan lebih banyak pekerjaan lokal dan udara yang lebih bersih.
Temuan lain yang diungkapkan dalam laporan “Renewables in Cities Global Status Report (GSR) 2021”, yaitu:
- Pada akhir tahun 2020, lebih dari 1 miliar orang – sekitar 25% dari populasi perkotaan – tinggal di kota dengan target dan/atau kebijakan energi terbarukan. Sebanyak 1.300 kota – dari Amerika hingga Afrika Sub-Sahara – telah menunjukkan kepemimpinan dalam memajukan energi terbarukan, dengan beberapa pemerintah kota mendorong ambisi yang lebih tinggi dan perubahan yang lebih cepat daripada di tingkat nasional.
- Pemerintah kota di lebih dari 830 kota di 72 negara telah menetapkan target energi terbarukan setidaknya di satu sektor (listrik, pemanas dan pendingin, dan/atau transportasi). Lebih dari 610 kota ini telah menetapkan target energi terbarukan 100%. Terlepas dari momentum penetapan target ini, tantangan data tetap terkait dengan melacak kemajuan dan mengidentifikasi ruang lingkup aplikasi.
- Sekitar 800 pemerintah kota telah menerapkan kebijakan peraturan, insentif keuangan dan fiskal, serta kebijakan dukungan tidak langsung untuk memungkinkan penyerapan energi terbarukan di gedung dan transportasi di seluruh kota. Berlawanan dengan tren tingkat nasional, portofolio kebijakan tingkat kota berkembang pesat melampaui sektor listrik, yang mencerminkan peningkatan upaya perkotaan untuk menghilangkan karbon juga pemanasan dan pendinginan dan transportasi.
- Lebih dari 10.500 kota di seluruh dunia telah mengadopsi target pengurangan emisi CO2, dan sekitar 800 kota telah berkomitmen pada emisi nol bersih pada tahun 2020 – naik tajam dari 100 kota dengan komitmen tersebut pada tahun 2019. Target tersebut telah menciptakan peluang untuk menerapkan efisiensi energi dan mempercepat penyediaan dan penggunaan energi terbarukan.
- Ada tekanan warga yang meningkat pada berbagai tingkat pemerintahan untuk bertindak atas perubahan iklim. Akibatnya, 1.852 kota di 29 negara telah menyatakan keadaan darurat iklim pada tahun 2020 (naik dari sekitar 1.400 pada akhir tahun 2019). Setidaknya 231 pemerintah kota telah mengajukan rencana aksi iklim di samping deklarasi mereka, beberapa di antaranya telah digunakan untuk mendukung penyebaran energi terbarukan.
Secara global, kota di Indonesia masih jauh tertinggal. Saat ini baru 2 kota di Indonesia yang memberikan komitmen untuk mencapai target emisi-nol (Net Zero Emission), yaitu kota Balikpapan dan Jakarta (dari total sekitar 800 kota di seluruh dunia dengan target emisi nol-bersih). Kota lainnya yang berkomitmen terhadap upaya Net Zero Emission adalah Lombok Utara yang telah menetapkan target yang ambisius dalam pemanfaatan energi terbarukan untuk mendukung pemerintah provinsi mencapai target 35% energi terbarukan dalam produksi listrik pada tahun 2025. Kemudian Kota Malang yang telah berkomitmen untuk mencapai 20% energi terbarukan dalam bauran energi pada tahun 2020.
Lihat lebih lanjut dalam: Country fact sheets Indonesia (Renewables in Cities 2021 Global Status Report)
Jakarta menjadi juara di Indonesia, dengan kebijakan atau target energi terbarukan terbanyak. Dimana Jakarta telah berkomitmen mencapai 30% energi terbarukan dalam bauran energinya tahun 2030 dan target Net Zero Emission tahun 2050. Melalui Instruksi Gubernur No. 66/2019, Jakarta telah mengamanatkan pemasangan panel surya pada setidaknya 20 gedung pemerintah dan 234 sekolah negeri dan memiliki target untuk hanya melakukan pengadaan bus tanpa emisi pada tahun 2030. Bagaimanakah kota lainnya ….
[i] Baca dalam: https://www.kompas.id/baca/tajuk-rencana/2022/02/15/dampak-harga-minyak-mentah-dunia
[ii] Baca dalam: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/02/14/gab-adt-tren-harga-minyak-mentah-dunia
[iii] Baca dalam: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/02/14/bahan-harga-minyak-mentah-dunia-1
[iv] Baca dalam: https://www.unep.org/explore-topics/energy/what-we-do/renewable-energy
[v] Baca dalam: https://www.unep.org/news-and-stories/speech/clean-affordable-equitable-energy-systems-we-need
[vi] Baca dalam: https://www.theguardian.com/australia-news/2020/jun/07/renewable-energy-stimulus-three-times-as-many-australia-jobs-fossil-fuels-coronavirus-economic-recovery
[vii] Lihat laporan Renewables 2021 Global Status Report (GSR) 2021
[viii] Ibid.
[ix] Ibid.
[x] Lihat dalam Publikasi Pusat Studi Energi UGM, “Model Bisnis untuk Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Potensi Energi Terbarukan”.
[xi] Lihat dalam: (https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/14/3083/pemerintah.dorong.peran.daerah.dukung.percepatan.transisi.energi.di.indonesia)
[xii] Lihat dalam: (https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/16/3086/bertemu.world.bank.menteri.esdm.paparkan.peta.jalan.transisi.energi.indonesia)
[xiii] Tinjauan Kebijakan Pembiayaan dan Investasi Energi Bersih Indonesia yang disusun oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD (The OECD Clean Energy Finance and Investment Policy Review of Indonesia 2021), lihat dalam: (https://www.oecd-ilibrary.org/finance-and-investment/clean-energy-finance-and-investment-policy-review-of-indonesia_0007dd9d-en)
[xiv] Lihat Ikhtisar dalam: (https://www.oecd.org/environment/cc/policy-highlights-clean-energy-finance-and-investment–policy-review-of-indonesia-Bahasa.pdf)
[xv] Lihat dalam Publikasi Pusat Studi Energi UGM, “Model Bisnis untuk Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Potensi Energi Terbarukan”.
[xvi] Baca dalam: (https://den.go.id/index.php/dinamispage/index/863-perkembangan-penyusunan-rued-provinsi-34-provinsi.html)
[xvii] Fadli, Fajar, 2021 Renewable energy governance in Indonesia: A study of transparency and participation in Yogyakarta, Flinders University, College of Business, Government and Law
[xviii] Ibid.
[xix] Ibid.
[xx] Ibid.
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad