Perencanaan kota moderen (modern planning) merupakan sistem perencanaan kota yang dinilai mampu memberikan solusi terhadap persoalan urbanisasi di kota-kota besar di dunia. Sayangnya, pendekatan ini telah menyederhanakan asumsi bahwa terdapat hubungan yang sangat positif antara pikiran yang tumbuh di tengah masyarakat, kepentingan kapitalis, dan intervensi yang dilakukan pemerintah kota sehingga perencanaan kota diyakini mampu membuat kota menjadi terpadu sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat.
“Namun kenyataan yang terjadi sesungguhnya sangat berbeda. Kesenjangan dan konflik antar kepentingan masyarakat dengan kepentingan para pemodal besar/kapitalis serta antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah masih saja dijumpai. Ada gap antara pikiran dan kenyataan,” kata Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D., saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besar Rabu (14/3) di Balai Senat UGM.
Dalam pidato berjudul “Fenomenologi Sebagai Epistimologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman”, Sudaryono menyebutkan bahwa kesenjangan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan kota yang digunakan selama ini telah kadaluwarsa. Pasalnya, masih terdapat kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan, antara pikiran dan realitas empiris, serta antara teks dan konteks.
“ Terdapat jurang lebar antara pengetahuan perencanaan yang “diperoleh” dan pengetahuan perencanaan yang “dihasilkan” dan “digunakan”,” terang staf pengajar pada Jurusan Teknik Asitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik ini.
Masih digunakannya perencanaan kota yang telah kadaluwarsa, lanjutnya, menjadikan hilangnya obyek ontologis perencanaan kota yaitu kota itu sendiri. Perencanaan kota tidak lagi mengambil obyek kota karena kota telah diabaikan dan ditinggalkan oleh perencanaan kota. Mengutip Beauregard, Sudaryono menuturkan modern planning telah sibuk dengan obyek barunya yang berupa proses perencanaan, pembuatan kebijakan, dan pembuatan keputusan yang secara prosedural adalah benar, tetapi kosong secara substantif. “Premis perspektif perencanaan kota menjadi asing dengan kenyataan empiris yang ditujunya. Perencanaan hanya sekedar teks tanpa konteks,”ujarpria kelahiran Yogyakarta, 31 Januari 1956 ini.
Sudaryono mengatakan fenomenologi adalah salah satu pendekatan dalam perencanaan kota yang dapat membuka jalan sekaligus menghantar perencana kota menjadi perencana berkarakter. Pendekatan ini menekankan cara kerja reduksi transedental. Para perencana kota diajak terlibat dan berjumpa langsung dengan obyek menyingkap ruang perkotaan untuk menemukan hakekat terdalam yang menjadi ruh dari kota. “Melalui cara kerja seperti ini para perencana kota diantar menjadi perencana berkarakter serta percaya diri dalam memperkuat bahkan membangun karakter kota yang direncanakan,”tuturnya.
Sumber: Humas UGM