Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan energi terbarukan banyak dilakukan berbagai pihak untuk mengantisipasi kelangkaan energi di masa depan. Kendati begitu, penggunaan energi terbarukan di Indonesia sepertinya belum menjadi pilihan utama dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Energi fosil masih menjadi pilihan utama sementara energi terbarukan hanya menjadi alternatif pilihan. Hal tersebut disampaikan oleh Staf Kementrian ESDM, Ir. Agung Prasetyo, M.T., dalam Simposium “Peranan Kimia Dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”, yang diselengarakan Jurusan Kimia FMIPA UGM.
Guna mengatasi persoalan energi tersebut, Agung menuturkan saat ini Kementrian ESDM berupaya mengubah paradigma dalam pengelolaan energi dari manajemen berdasar suplai kearah manajemen berdasarkan pemanfaatan. Kedepan pemerintah akan lebih mengefesienkan kebutuhan energi dengan memaksimalkan penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan “ Selama ini energi terbarukan hanya dimanfaatkan sebagai alternatif saja, energi fosil masih jadi yang utama. Untuk itu kita coba ubah paradigma yang ada, kedepan energi fosil digunakan sebagai faktor penyeimbang untuk menjaga ketahanan energi,” paparnya, Kamis (20/9).
Pakar energi UGM, Prof. Drs. Karna Wijaya, M.Eng., Dr. rer.nat menyebutkan ada tiga hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah untuk penguatan ketahanan energi. Diantaranya, dengan mencari deposit-deposit minyak yang potensial dengan tetap mengelola sumur-sumur lama secara lebih efisien. Berikutnya mengeksploitasi energi fosil dan menggunakan secara bijak melalui penghematan dan kontrol ketat yang dapat memperpanjang tingkat hidup cadangan bahan bakar fosil. “Yang tak kalah penting utuk segera dilakukan adalah mengembangkan biofuel atau bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan dan bersifat terbarukan,” imbuhnya.
Menurutnya, biofuel kedepan akan menjadi sumber energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Disamping itu pengembangan biofuel melalui penggunaan produk pembakaran langsung maupun dikonversi menjadi biofuel tidak hanya menyediakan energi alternatif terbarukan saja, akan tetapi juga mampu membuka lapangan kerja baru. “Dalam waktu dekat ini biofuel mungkin belum bisa menggantikan sepenuhnya energi fosil, tetapi kedepan akan jadi sumber energi alternatif yang cukup potensial,” tegasnya.
Sebagai negara agraris, lanjutnya, Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan biofuel sendiri. Pasalnya bahan baku untuk pembuatan biofuel berasal dari tanaman yang banyak tersebar di Indonesia seperti tebu, jagung, dan ubi kayu untuk pembuatan bioetanol dan kelapa sawitr, jarak pagar dan kelapa untuk biodiesel. “Produksi tanaman energi ini pun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehinga tidak perlu khawatir kekurangan sumber energi nabati. Untuk bioetanol kita memiliki potensi sekitar 240 juta liter per tahun sedangkan biodiesel sebanyak 2 juta ton setiap tahunya,” urainya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), Soedjai Kartasasmita mengatakan penggunaan biofuel di berbagai negara maju yang semakin meningkat turut mendorong laju pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit. Ia mencontohkan di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Brasil, Australia menggunakan biofuel sebagai bahan bakar maupun campuran bahan bakar untuk menerbangkan pesawat dan kapal perang.
Lebih lanjut disampaikan Soedjai, pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sangat fenomenal. Bahkan telah menempatkan Indonesia sebagai produsen nomor satu dunia dengan produksi 25,20 juta ton pada tahun 2011 dan diperkirakan sebesar 27,25 juta ton di tahun 2012. “ Sayangnya meskipun menjadi produk andalan ekspor, CPO tidak dianggap sebagai green product yang ramah lingkungan,” terangnya.
Seperti diketahui, sejumlah negara di kawasan Eropa dan Amerika melakukan aksi boikot impor produk industri kelapa sawit Indonesia. Mereka mengklaim industri kelapa sawit Indonesia banyak menyumbang emisi CO2 dari tanah gambut dan pemupukan urea.
Dr. Agus Kuncaka, DEA, staf pengajar Jurusan Kimia FMIPA UGM menyebutkan untuk mengatasi persoalan efek industri kelapa sawit terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk yang tidak mengandung urea. Sistem pemupukan dengan urea dengan emisi ammonia dan nitrogen oksida dari mata rantai ini menyumbangkan lebih dari 50 persen kejadian pemanasan global. “Pemupukan bisa dilakukan dengan menggunakan pupuk SROP (Slow Release Organic Paramagnetic Fertiliser) yang mampu membenahi struktur tanah dan menyerap karbon,” jelasnya sembari menambahkan pupuk Srop tersusun dari biochar yang merupakan arang dari limbah pertanian.
Sumber: Humas UGM