Kearifan lokal dan Wawasan Kebangsaan diangkat sebagai tema utama peringatan Dies Natalis ke-30 Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM. Keseriusan menggali kearifan lokal ini ditunjukkan dengan menyelenggarakan seminar dan orasi ilmiah tentang kearifan lokal hingga lomba penulisan geguritan untuk mahasiswa dan umum.
Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Hartono, DEA.,DESS., mengatakan, pengangkatan nilai-nilai kearifan lokal merupakan tindak lanjut dari pesan raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang meminta perguruan tinggi dan sekolah pascasarjana turut mengajarkan kearifan lokal.
“Pengajaran kearifan lokal di tingkat pendidikan tinggi yang kini wajib diikuti mahasiswa bertujuan agar budaya lokal tidak tercerabut dan generasi mendatang tidak kehilangan unggah ungguh sesuai adat istiadat leluhur,” kata Hartono kepada wartawan usai pembukaan peringatan Dies Natalis ke 30 sendiri ditandai dengan acara tumpengan dan pelepasan balon berhadiah di depan pelataran gedung SPs, Jumat (7/9).
Hartono menambahkan, penggalian kembali nilai-nilai lama yang telah bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun di masyarakat dalam bentuk kearifan lokal berperan untuk menghadapi hadirnya kekuatan baru yang membawa perubahan dalam tata kehidupan masyarakat. “SPs berada dalam posisi strategis dengan pengetahuan multidisplin yang dimilikinya untuk merumuskan konstribisi terhadap persoalan itu,” katanya.
Panitia Dies, Dr. Zainal Abidin Bagir mengatakan rangkaian kegiatan peringatan Dies Sps ke 30 kali ini Terbagi dalam tiga event besar meliputi seminar wawasan kebangsaan pada 17 september, Orasi Ilmiah wawasan kebangsaan dan kearifan lokal oleh wakil menteri bidang kebudayaan Prof. Dr. Wiendu Nuryanti, 30 oktober, dan dilanjutkan dengan penyelenggarajan International Graduate students conference (IGSC) tentang Indigenous Community and the project of Meodernity pada 30-31 Oktober. “Konferensi internasional ini menghadirkan 100 pemakalah,” katanya.
Christian Budiman selaku koordinator lomba penulisan mengatakan lomba geguritan dalam bentuk penulisan berbahasa Jawa tersebut diharapkan masyrakat bisa memberikan pemikirannya tentang penyelesaian problem-problem kehidupan berbangsa mulai dari konflik agama hingga korupsi. “Lomba geguritan juga diharapkan mengangkat karya sastra tradisional yang dianggap mulai luntur,” katanya.
Sumber: Humas UGM