Awal pekan ini, kembali diselenggarakan pertemuan COP ke-27 (COP27) di Kota Sharm el-Sheikh di Mesir. COP (the Conference of the Parties/ COP) 27 adalah forum pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka Konferensi Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 pemimpin negara tersebut adalah wujud upaya dunia untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca sehingga dapat mencegah bahaya terhadap sistem iklim, karena “gangguan antropogenik”.
Konvensi (UNFCC) yang beranggotakan 198 negara (hampir seluruh negara di dunia) pada tahun 2015 melahirkan Persetujuan paris (Paris Agreement) sebagai hasil pelaksanaan COP 21. Persetujuan Paris adalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Tinjauan atas progres atau kinerja implementasi dari Persetujuan Paris adalah salah satu agenda utama diselenggarakannya COP27.
Sayangnya, alih-alih memberikan harapan untuk mengatasi perubahan iklim, pelaksanaan COP ke-27 telah menghangatkan berbagai sikap skeptis.
Seminggu sebelum pelaksanaan, aktivis iklim asal Swedia Greta Thunberg mengkritik COP27 sebagai forum “greenwashing” para pemimpin dunia. Sikap pesimis Greta, bukannya tanpa alasan. Mengingat pencapaian komitmen yang dihasilkan pasca COP 26 di Glasgow. Beberapa Negara malah terkesan menyepelekan, sehingga “terlambat” untuk menyusun dan menyerahkan pembaharuan NDC sesuai dengan waktunya.
Padahal pada COP sebelumnya, Greta Thunberg mengecam para pemimpin dunia dengan menyebut mereka sebagai “bla, bla, bla”. Greta menyatakan, janji manis atau obral komitmen para pemimpin dunia untuk mengatasi krisis iklim tidak tegak lurus dengan hasil riset dan ilmu pengetahuan, yang menunjukan terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.
Sebelumnya, Lembaga Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNEP (the United Nations Environment Programme) mempublikasikan laporan yang berjudul: Emissions Gap Report 2022 (The Closing Window – Climate crisis calls for rapid transformation of societies) tanggal 27 Oktober 2022. Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 menunjukkan, bahwa komitmen negara-negara yang diwujudkan dalam Nationally determined contributions (NDCs)[i], yang diperbarui pasca COP26 tidak memberikan pengaruh yang besar atas perhitungan perkiraan emisi pada tahun 2030.
Secara komulatif komitmen NDC masih jauh untuk mencapai target yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris, yakni membatasi suhu pemanasan global hingga jauh di bawah 2°C, atau sebaik-baiknya mencapai 1,5° C. Kebijakan saat ini akan mengakibatkan kenaikan suhu bumi sebesar 2,8°C pada akhir abad (Tahun 2100). Sedangkan apabila memang diimplementasikan, maka diperkirakan komitmen negara-negara (NDCs) hanya mengurangi kenaikan suhu menjadi 2,4 sampai 2,6°C pada tahun 2100, untuk NDC tanpa syarat maupun NDC bersyarat.
Direktur eksekutif UNEP Inger Andersen mengatakan, meskipun pada COP 26 di Glasgow tahun 2021 negara-negara telah berkomitmen untuk memberikan pengurangan emisi yang jauh lebih besar melalui pembaruan NDC, kenyataannya secara kolektif NDC negara-negara hanya mengurangi kurang dari 1 persen dari emisi gas rumah kaca yang diproyeksikan pada tahun 2030. Karenanya ditegaskan oleh Inger, bahwa secara Global Komitmen NDC saat ini tidaklah cukup!
Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 juga menyoroti lemahnya komitmen iklim negara-negara G20. Secara kolektif, anggota G20 yang menjadi tulung punggung ekonomi dunia tidak berada di jalur yang benar untuk mencapai NDC baru atau yang diperbarui. Tanpa adanya tindakan yang lebih besar, maka Negara-negara G20 diperkirakan akan gagal dalam memenuhi komitmen pengurangan emisi di tahun 2030.
Sehari sebelumnya dimulainya COP 27, salah satu koran internasional menerbitkan hasil liputan terhadap delegasi peserta COP 27 sehingga makin menyuburkan pesimisme terhadap COP 27. Meskipun Delegasi “rahasia” tersebut menekankan tidak bermaksud untuk pesimistis, namun COP 27 diibaratkannya sebagai permainan besar, tanpa suatu hasil yang memadai untuk mencapai target iklim. Iklim yang menurutnya, sangat mirip dengan iklim demokrasi di negara tuan rumah COP 27.
Agenda pendanaan baru yang diperdebatkan menjelang pelaksanaan COP27 juga cenderung disambut skpetis dalam COP 27. Agenda baru tersebut adalah mekanisme pendanaan kerugian (loss) dan kerusakan (damage) untuk negara-negara miskin dan berkembang akibat perubahan iklim turut diperkirakan mendapatkan hasil yang tidak memadai. Mengingat komitmen pendanaan sebelumnya yang telah disepakati lebih dari satu dekade lamanya (2009), hasilnya belumlah memadai. Telah disepakati sebelumnya, bahwa diperlukan pendanaan sebesar US$100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Saat berlangsungnya COP 27 sebuah laporan yang dirilis juga menunjukan, bahwa janji-janji oleh non state actor, seperti perusahaan, investor, lembaga keuangan, dan kota dan wilayah untuk mencapai emisi net-zero sering kali tidak lebih dari sekadar greenwashing. Laporan PBB yang disusun oleh para ahli PBB (Expert Group on the Net Zero Emissions Commitments of Non-State Entities) secara khusus bertujuan untuk menilai komitmen net-zero menetapkan standar baru yang diusulkan untuk menguatkan klaim net-zero olehpihak non-negara.
Perubahan iklim yang menimbulkan krisis iklim bagi umat manusia dan planet bumi adalah keniscayaan. Seluruh masyarakat dunia dan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia tentu berharap, COP 27 akan memberikan hasil yang baik dan mampu mencegah krisis iklim.
Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 sesungguhnya telah menyarankan, bahwa diperlukan adanya transformasi yang radikal seluruh sistem untuk meningkatkan upaya pengurangan emisi. Seharusnya transformasi dimaksud, meliputi pula sikap para pemimpin dunia dalam COP 27. Tanpa adanya transformasi atas komitmen (NDC) dan akuntabilitas negara-negara dalam kerangka implementasi COP 27, maka cita persetujuan paris, hanyalah sekedar angan-angan belaka.