Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Biodiversity Conference) ke 15 saat ini sedang diselenggarakan di Montreal, Kanada. (7-19 Desember 2022). Pertemuan yang dikenal dengan singkatan COP 15 diselenggarakan bersamaan dengan pertemuan khusus yang diistilahkan dengan COPs MOPs. Pertemuan tersebut adalah pertemuan antar pemerintah dalam kerangka implementasi dari Protokol Cartagena (COP-MOP 10) dan Protokol Nagoya (COP-MOP 4).
COP 15 menjadi pertemuan seluruh pemerintah yang tergabung dalam kerangka konvensi keanekaragaman hayati (the convention on biological diversity/ CBD), yang ditandatangani dalam the KTT Bumi Rio 1992 (the Earth Summit, Rio de Janeiro). Tiga tujuan utama dari konferensi (CBD) adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan untuk memastikan keadilan atas manfaat penggunaan sumber daya genetik di seluruh planet.
Berbeda dengan COP 27 yang berlangsung bulan lalu di Sharm el-Sheikh (Mesir) yang membahas tentang perubahan iklim, maka COP 15 menjadi ajang bagi pemerintah seluruh dunia berkumpul untuk menyepakati keputusan yang akan mempengaruhi masa depan keanekaragaman hayati global.
Keanekaragaman hayati merupakan kenekaragaman atas sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (SDAH), dimana SDAH menjadi bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. (UU Konservasi 1990) Keanekaragaman hayati merupakan kebutuhan dasar untuk kesejahteraan umat manusia dan seluruh kehidupan di planet Bumi. Keanekaragaman hayati menyediakan makanan yang bergizi, air, tanah dan udara yang bersih sehingga mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi umat manusia.
Hal terpenting yang menjadi perhatian dunia dalam COP 15 adalah persetujuan setiap sepuluh tahun (dekade) sekali, atas kerangka kerja keanekaragaman hayati global pasca-2020 (Global biodiversity framework post 2020/ GBF Post 2020). Setelah tertunda selama 2 tahun akibat pandemi, nantinya kerangka kerja tersebut akan menjadi panduan langkah di seluruh dunia untuk melindungi dan memulihkan lingkungan keanekaragaman hayati menuju target dekade tahun 2030.
Patut diingat, bahwa kerangka kerja keanekaragaman hayati global dekade sebelumnya disebut “Target Aichi” yang disepakati dalam dalam COP10 di Nagoya, Jepang, pada tahun 2010. Meskipun mengalami kegagalan, saat itu target yang disepakati adalah mengurangi separuh hilangnya habitat alami dan memperluas kawasan konservasi hingga 17% dari luas daratan dunia pada tahun 2020.
Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (GBF) Pasca-2020 yang coba untuk diadopsi, mencakup 22 target untuk tindakan mendesak selama dekade hingga 2030 yang telah disetujui dalam COP 14 di Mesir. Apabila nantinya diadopsi dan disepakati dalam COP 15, maka setiap target dapat segera dimulai dan diselesaikan pada tahun 2030. Harapannya tercapainya tujuan bertahap di tahun 2030, menuju pencapaian visi keanekaragaman hayati global “living in harmony with nature” di tahun 2050. GBF Pasca 2020 tentunya diharapkan akan diintegrasikan dan diimplementasikan oleh semua pemerintah negara-negara di seluruh dunia dengan tujuan bersama dalam rangka menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati dan membalikkan keadaan serta menuju masa depan kehidupan yang selaras dengan alam.
Target tersebut antara lain, yaitu:
- Memastikan dan melestarikan minimal 30 persen luasan wilayah darat dan laut, seperti ekosistem terestrial, pedalaman perairan, air tawar, pantai dan lautan serta kawasan keanekaragaman hayati utama lainnya, melalui sistem kawasan konservasi yang efektif, dikelola secara adil, representatif secara ekologis, dan terintegrasi dengan optimal.
- Meminimalisir introduksi spesies asing invasif setidaknya 50 persen, mencakup upaya pengendalian atau atau pemberantasan spesies asing invasif dalam rangka mengurangi dampaknya terhadap keanekaragaman hayati asli.
- Mengurangi pencemaran dari semua sumber, seperti polusi cahaya, kebisingan, merkuri, dan logam berat lainnya menuju ke tingkat yang tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem.
- Mengurangi nutrisi yang hilang ke lingkungan setidaknya setengahnya, dan pestisida setidaknya dua pertiga, dan secara bertahap menghapus jenis pestisida berbahaya, kimia beracun dan plastik.
- Meminimalkan dampak negatif perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global berbasis ekosistem atau lingkungan setidaknya 10 GtCO2e per tahun.
- Mengarahkan ulang, menggunakan kembali, mereformasi, atau menghilangkan insentif atau subsidi yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati yang secara global diperkirakan sebesar US$500 miliar per tahun
- Meningkatkan sumber daya keuangan untuk keanekaragaman hayati setidaknya US$ 200 miliar per tahun.
- Mengambil langkah-langkah hukum, kebijakan, administratif dan pembangunan kapasitas sebagaimana mestinya, untuk memastikan pembagian manfaat yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik, akses ke sumber daya genetik untuk konservasi keanekaragaman hayati atau pemanfaatan berkelanjutan.
- Mendorong upaya untuk pilihan konsumsi yang berkelanjutan, mencakup pengurangan separuh jejak global (konsumsi per kapita), separuh limbah makanan global per kapita, dan secara substansial mengurangi produksi limbah atau konsumsi berlebihan atas sumber daya alam sehingga harmonis dengan alam.
- Menjamin keterwakilan dan partisipasi penuh, adil, inklusif, efektif dan tanggap gender dalam pengambilan keputusan, serta akses keadilan dan informasi terkait keanekaragaman hayati oleh masyarakat adat dan komunitas lokal, budaya mereka dan hak mereka atas tanah atau wilayah, sumber daya, dan pengetahuan tradisional.
Laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) yang berjudul “Making Peace with Nature” telah menunjukkan bahwa penurunan keanekaragaman hayati di seluruh dunia adalah keniscayaan. Diketahui manusia telah berdampak pada tiga perempat luasan daratan dan dua pertiga samudra. Satu juta dari perkiraan 8 juta spesies tumbuhan dan hewan di dunia terancam punah, dan banyak jasa ekosistem yang penting bagi kesejahteraan manusia terkikis.
Sebagai negara yang dikenal dunia sebagai Negara Mega Biodiversity, Bangsa Indonesia memang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam hayati dan ekosistem yang sangat melimpah. Konferensi ini tentunya dapat menjadi landasan untuk pengambilan kebijakan oleh pemerintah, termasuk diantaranya dalam rangka upaya mendorong dan meningkatkan substansi revisi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUK) yang masih jalan di tempat sejak tahun 2017.
Selain itu Pemerintah juga layak memberikan perhatian atas ketentuan luasan minimum kawasan konservasi sebagaimana diterapkan Draft GBF Post 2020, yang akan disetujui dalam COP 15. Perbedaan pandangan atas ketentuan luasan minimum tentu sangat menarik untuk dikaji oleh Pemerintah, dalam rangka untuk menentukan target yang numerik dan lebih mudah untuk dipahami sehingga dapat memperjelas pencapaian kinerja atas upaya konservasi yang dilaksanakan. Mengingat sebelumnya, pemerintah telah menghapus ketentuan luasan minimum 30% hutan pasca terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, bahwa penghapusan luasan minimum malah dapat memperkuat kewajiban pemerintah dalam mempertahankan luasan kawasan hutan menjadi lebih besar dari 30%.
Hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2020 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 95,6 juta Ha atau 50,9 % dari total daratan. Sehingga, apabila pemerintah memang merasa perlu untuk meningkatkan kewajiban menambah luasan hutan, maka daripada sekedar menghapus adanya ketentuan minimum, apakah tidak lebih baik jika pemerintah menetapkan target minimum yang lebih besar dari target sebelumnya? Misalnya menjadi minumum hutan sebesar 40%, 50% atau bahkan 60% !
Semoga…