Secara umum solusi tepat untuk mengatasi kebutuhan energi masa depan adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan berasal dari sumber energi angin, sinar matahari, gelombang laut, potensial air, biomassa, minyak nabati dan lain-lain. Sayang energi yang dihasilkan dari angin, sinar matahari, gelombang laut, potensial air, termasuk panas bumi yang melimpah di Indonesia memiliki kelemahan.
Prof. Dr. Iip Izul Falah menilai energi-energi tersebut pada umumnya mudah dikonversi menjadi energi listrik, namun sulit dimanfaatkan secara langsung oleh kendaraan bergerak, seperti truk, bis, mobil, sepeda motor, kapal laut, pesawat terbang karena jalan yang dilalui selalu berubah. Karena itu, guna mengatasi persoalan tersebut sudah dilakukan proses mengubah energi listrik yang dihasilkan menjadi energi kimia yang tersimpan dalam battery.
“Meski hanya bisa untuk menempuh jarak yang relatif dekat, baterry inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kendaraan bergerak. Dan kemungkinan cara lain dengan mengubah energi listrik menjadi energi kimia dalam bentuk gas hidrogen melalui proses elektrolis,”katanya di ruang Balai Senat, Kamis (28/3) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Kimia Fakultas FMIPA UGM.
Menurut Iip Izul Falah, energi kimia yang tersimpan dalam battery dan dalam bentuk gas hidrogen merupakan energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan gas yang mencemari udara. Dalam memanfaatkan energi ini, tantangan yang dihadapi para ahli adalah bagaimana membuat kontainer yang ringan, yang dapat menyimpan gas hidrogen cukup banyak dengan tekanan keseimbangan yang cukup rendah. “Misalnya dengan memanfaatkan adsorben gas hidrogen yang cukup kuat, sehingga dapat digunakan oleh kendaraan dengan jarak tempuh cukup jauh,”paparnya saat mengucap pidato pengukuhan “Bioalkana Hasil Perengkahan Katalik Minyak Nabati dan Biomassa Sebagai Bahan Bakar Terbarukan”.
Dibagian akhir pidatonya, dikatakan bahan kimia yang selama ini dianggap berbahaya oleh masyarakat, sesungguhnya aman jika pemakaiannya tepat dan tidak berlebihan. Sebaliknya bahan yang mungkin dianggap aman seperti nasi,sesungguhnya berbahaya jika pemakaiannya berlebihan. “Semua itu, jika digunakan sesuai takaran akan aman,”paparnya.
Bahan Bakar Minyak (BBM), dalam pandangan Iip Izul Falah, perlu terus melakukan kajian ulang bagaimana menghasilkannya dari bahan baku terbarukan. Minyak goreng, misalnya tidak boleh dipergunakan secara terus menerus dipergunakan, karena mengandung minyak trans yang kadarnya cenderung meningkat dan menjadi sumber penyakit. Sementara minyak goreng yang sudah dipergunakan dalam jumlah dan jam tertentu bisa dijadikan bahan baku BBM terbarukan.
Iip menambahkan selain minyak nabati, biomassa merupakan bahan baku terbarukan yang sangat melimpah di Indonesia. Bahan ini dapat diproses menjadi BBM melalui tahapan pirolisis dilanjutkan dengan perengkahan. “Kita optimis saja, dapat menemukan formula katalis mesoporus, misalnya berbasis A1MCM-41 yang tepat untuk digunakan sebagai katalis dalam perengkahan biomassa dan minyak nabati untuk menghasilkan BBM, sehingga perkiraan krisis energi di masa depan tidak akan terjadi,”imbuhnya.
Sumber: Humas UGM