Yogyakarta, Senin (29/5), Pusat Studi Lingkungan Hidup mengadakan siniar rutin Bernama Podcast Lestari (Poles) yang membahas terkait isu-isu faktual terkait lingkungan di lingkup regional, nasional, maupun internasional. Pada episode kali, isu yang dibahas yaitu mengenai “Awas Dipidana ! Kejahatan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja dan KUHP Baru”.
Narasumber pada edisi kali ini adalah Muhammad Fatahillah Akbar, SH., LL.M. (Mas Akbar) Beliau merupakan salah satu ahli Pidana di FH UGM yang cukup aktif memberikan opini dan komentar terkait isu pidana pada media massa. Poles berlangsung selama 42 menit dengan jumlah penonton kurang lebih 250 orang. Siniar dibuka oleh Aditya Sewanggara A.W (Adit) sebagai moderator yang memberikan penjelasan fenomena-fenomena kasus pidana lingkungan hidup yang terjadi di tengah masyarakat. Pada pemaparan awal, Mas Akbar menjelaskan terkait perbedaan sanksi pidana, sanksi administratif dan sanksi perdata yang telah diatur pada UU 32 Tahun 2009. Ringkasnya, beliau menjelaskan bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium, yaitu sarana terakhir bagi orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terkait lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi, sanksi pidana tersebut bersifat lebih keras, kaku dan memberikan implikasi yang berbeda bagi setiap individu. Sehingga bagi masyarakat terutama Aparatur Penegak Hukum (APH) harus memahami prinsip ini dalam menegakkan hukum pidana, tidak serta merta apabila terdapat pelanggaran harus dipidana.
Lebih lanjut, Mas Akbar menjelaskan bahwa transformasi tindakan pidana lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja jo. UU 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), memiliki tujuan yaitu agar mempermudah investasi di Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa ketentuan pidana yang dihapus dalam UU CK atau biasa disebut dekriminalisasi. Dekriminalisasi adalah dulunya perbuatan tersebut dimasukkan sebagai perbuatan pidana, namun sekarang dirubah menjadi perbuatan administratif. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 82 UU Cipta Kerja yang mempertegas keberadaan sanksi administratif dalam pelanggaran lingkungan hidup. Contohnya adalah pengelolaan limbah B3 tanpa izin dan penyusunan Amdal tanpa sertifikat yang dulunya adalah perbuatan pidana, tapi sekarang termasuk kedalam perbuatan administrasi.
Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pelaku pelanggaran lingkungan hidup untuk tetap melakukan perbaikan terhadap keadaan lingkungan yang sudah rusak. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup, terdapat ketentuan sanksi pidana tambahan dan sanksi administratif untuk mengembalikan suatu kondisi menjadi kembali seperti semula (sebelum terjadinya kerusakan lingkungan).
Kemudian, untuk mendalami lebih lanjut terkait dengan tema ini, Adit memantik diskusi selanjutnya dengan 2 (dua) isu utama, yaitu penerapan asas viscarius liability dalam KUHP Baru dan adanya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang menyebarkan berita terkait kejahatan lingkungan tapi malah dipidana.
Pertama, Mas Akbar menegaskan bahwa doktrin Vicarious liability dapat diterapkan dalam perbuatan pidana apabila seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, maka tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan dengan tidak perlu mempertimbangkan apakah perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.
Oleh karena itu, perlu adanya due diligence dalam setiap kegiatan pada perusahaan. Hal tersebut untuk mengetahui dan menganalisis siapa yang berhak untuk dijatuhi pidana, apabila terjadi kejahatan lingkungan. Karena pada prinsipnya pembuktian dalam hukum pidana menggunakan prinsip hubungan kausalitas. Perlu dipahami bahwa terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan tersebut apakah memang disebabkan oleh korporasi/perusahaan, atau pekerja korporasi tersebut.
Kedua, terkait aksi protes luapan masyarakat atau aktivis lingkungan dengan melaporkan oknum yang melakukan kejahatan lingkungan di media sosial sehingga menjadi viral. Hal tersebut sebetulnya merupakan perbuatan yang seharusnya dihindari. Karena, apabila terjadi kejahatan lingkungan, dapat melalui sarana APH setempat untuk melaporkannya. Namun, apabila tidak dimungkinkan dan akhirnya masyarakat memviralkan kasus tersebut melalui media sosial, hal tersebut tidak serta merta merupakan perbuatan pidana. Dengan syarat bahwa penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum, membela diri dan mengungkapkan kebenaran.
Diskusi berlangsung sangat interaktif dan menarik, bahkan cukup banyak pertanyaan yang masuk melalui laman media sosial kami. Pada akhir diskusi, Mas Akbar memberikan saran dan masukan bagi pemerintah kota Yogyakarta untuk mengurai permasalahan sampah di Yogyakarta. Mungkin sanksi pidana dapat digunakan untuk merubah budaya hukum yang ada di masyarakat Yogyakarta agar taat terhadap kebijakan pengelolaan sampah di Yogyakarta. Namun, sanksi yang diberikan tetap pada koridor bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir bagi pelanggar tersebut. Senada dengan pendapat Mas Akbar, Adit menambahkan bahwa memang sanksi pidana merupakan sarana terakhir tidak sebagai primum remedium tapi sebagai ultimum remedium. Selain itu, perlu adanya alas hukum dan konsep hukum yang jelas dan tepat terkait adanya isu disinsentif terhadap masyarakat Yogyakarta yang tidak melakukan pemilahan sampah.