Merusak bumi itu mahal.
Diperlukan penggunaan pendingin artifisial, penggunaan listrik berlebihan, penggunaan bahan baku tidak ramah lingkungan, dan masih banyak lagi. Komponen-komponen tersebut pun dapat dengan mudah kita temukan di rumah-rumah yang kita tinggali atau sekedar kita singgahi. Mungkin bagi sebagian orang, kemahalan-kemahalan di rumah itu menguntungkan. Namun seberapa besar orang yang menikmati keuntungan dari berbagai kerusakan yang diakibatkan?
Berbicara tentang rumah, bangunan rumah di setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Khususnya bangunan rumah di masa lampau atau rumah adat yang bahkan memiliki nama dan filosofi masing-masing. Tidak hanya filosofis, arsitektur rumah dan bangunan yang dibuat oleh nenek moyang di masa lampau, apabila dipelajari kembali justru merupakan rumah masa depan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap kondisi cuaca dan iklim.
Coba kita berjalan-jalan terlebih dahulu ke sebuah negara di Afrika Barat yang harus ditempuh menggunakan pesawat selama sekitar 30 jam dari Jakarta, Burkina Faso. Burkina Faso yang sebelumnya bernama Republik Upper Volta merupakan salah satu negara yang memiliki arsitektur khas yang bertahun-tahun mengandalkan bahan baku dari alam, yaitu lumpur.
Rumah dari Lumpur di Burkina Faso
Burkina Faso merupakan salah satu negara yang pada mulanya banyak mendirikan rumah dan bangunan dengan bahan baku lumpur. Lumpur yang digunakan pun merupakan lumpur lokal yang dapat diperoleh dari lingkungan sekitar. Namun seiring perkembangan zaman, mulai banyak masyarakat yang mulai meninggalkan lumpur sebagai bahan baku bangunan, menjadi menggunakan beton. Padahal penggunaan lumpur untuk rumah dan bangunan lainnya memiliki nilai intrinsik yang memihak pada lingkungan dan menyesuaikan kondisi iklim di Burkina Faso.
Nenek moyang masyarakat Burkina Faso tampaknya sudah memperhitungkan penggunaan lumpur untuk membuat rumah dan bangunan. Mengingat Burkina Faso terletak di Afrika Barat yang memiliki suhu rata-rata terpanas kedua di dunia yaitu 28,71°C.
Masyarakat di Burkina Faso membuat rumah mereka dengan bergotong royong dimulai dari membuat denah lantai yang diukir di tanah. Blok bangunan yang digunakan, ditambang secara lokal dari tanah yang kaya akan tanah liat dicampur dengan air dan ditambah dengan rumput, kotoran sapi, serta bahan lainnya untuk memperkuat adonan, kemudian dibentuk menjadi batu bata atau bentuk bola. Bagian atap dari rumah menggunakan balok kayu yang diatasnya terdapat lempengan tanah yang menginsulasi struktur. Bagian atap ini tergolong multiguna karena dapat digunakan untuk mengeringkan makanan, penyimpanan, bahkan untuk tidur di malam hari yang hangat. Karena terbuat dari lumpur, dinding dilapisi dengan resin dan lemak yang diekstrak dari buah atau pohon shea. Hal ini bertujuan untuk melindungi dinding dari air selama musim hujan. Kekurangannya, bagian lapisan ini harus diperbaharui setiap tahunnya.
…dinding lumpur yang biasanya dibangun dengan cukup tebal dapat menyerap dan menyimpan banyak panas, yang kemudian dapat terlepas ketika udara di luar mendingin di malam hari.
Meskipun telah banyak ditinggalkan, rumah dari lumpur di Burkina Faso maupun wilayah negara lainnya memiliki keunggulan tersendiri. Sebagai negara yang terletak di kawasan bersuhu tinggi, dinding lumpur yang biasanya dibangun dengan cukup tebal dapat menyerap dan menyimpan banyak panas, yang kemudian dapat terlepas ketika udara di luar mendingin di malam hari.
Afrika merupakan benua yang menyumbang empat persen dari emisi global, tetapi paling banyak menanggung akibat dampak terburuk dari krisis iklim. Saat ini struktur bangunan lumpur sudah tidak banyak digunakan dan beralih ke beton. Padahal bahan baku beton merupakan salah satu sektor yang banyak menyumbang emisi global. Selain itu, bangunan dengan konstruksi beton juga menjadi pintu gerbang bagi pemborosan bahan bakar fosil, yaitu penggunaan AC. Hal ini pun membuat emisi gas rumah kaca di dunia semakin meningkat. Oleh sebab itu ketika di bidang konstruksi dapat kembali ke bahan-bahan alami berbasis alam, maka dapat berpotensi mengurangi emisi.
Rumah Adat di Indonesia
Indonesia juga memiliki banyak jenis rumah adat. Apabila dihitung berdasarkan jumlah provinsi, setidaknya terdapat 38 rumah adat. Padahal terdapat beberapa provinsi yang memiliki lebih dari satu rumah adat. Rumah-rumah adat di Indonesia juga merupakan peninggalan nenek moyang yang masing-masing sudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan budaya daerah masing-masing. Salah satu rumah adat yang hingga saat ini masih eksis, yaitu Honai.
Honai merupakan rumah adat Papua khususnya suku Dani di Lembah Baliem atau Wamena, Suku Lani di Pegunungan Toli, dan suku-suku asli Papua lainnya.
Rumah Honai terdiri dari 3 jenis bangunan yaitu Honai untuk laki-laki, Ebei untuk perempuan, dan Wamai untuk ternak.
Rumah Honai dapat ditinggali oleh sekitar 5 -10 orang. Berbeda dengan rumah-rumah di Burkina Faso yang justru menginginkan udara dingin, rumah Honai dibuat tanpa jendela untuk melindungi penghuninya dari udara dingin di pegunungan Papua. Apabila rumah di Burkina Faso menggunakan bahan baku dari lumpur, Rumah Honai menggunakan bahan baku dari kayu untuk badan rumah, jerami untuk atap, papan kayu untuk dinding, dan lantainya menggunakan rumput dan jerami. Bentuk atap Rumah Honai juga sangat khas yang bertujuan untuk menghindarkan dari air hujan dan mengurangi suhu dingin yang masuk. Jadi, rumah-rumah adat di berbagai daerah pada dasarnya sudah menyesuaikan iklim dan lingkungan yang ada di daerah tersebut.
Apabila saat ini perubahan iklim terjadi di seluruh penjuru dunia, apakah mungkin seluruh dunia dapat mengadaptasi penggunaan lumpur seperti di Burkina Faso untuk rumah dan bangunannya? Berikan pendapatmu!