Perempuan telah diakui memiliki peran yang setara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim misalnya, secara internasional UNFCCC mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki, dalam kebijakan iklim yang responsif gender, melalui suatu agenda khusus yang menangani masalah gender dan perubahan iklim, termasuk menuangkannya dalam Perjanjian Paris.[1]
Namun sampai saat ini, peran perempuan masih cenderung diabaikan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Hubungan perempuan dan lingkungan hidup kini banyak disuarakan melalui ekofeminisme. Ekofeminisme merupakan cabang dari feminisme yang menekankan pada lingkungan dan hubungan antara perempuan dan bumi sebagai dasar analisis dan praktis. Istilah ekofeminisme diperkenalkan oleh penulis Prancis, Françoise d’Eaubonne dalam bukunya yang berjudul “Le Féminisme ou la Mort”. Konsep ini menegaskan supaya tidak melihat perempuan dan lingkungan sebagai properti sebagaimana yang sering diberlakukan oleh sistem yang menganut patriarki.[2]
Akibat dari sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, posisi perempuan cenderung ditempatkan di posisi hanya untuk urusan rumah tangga (domestik). Oleh sebab itu ketika kerusakan lingkungan terjadi, tentu saja perempuan-lah yang paling banyak merasakan dampaknya. Kecenderungan eksploitasi yang berakar dari sistem patriarki membuat lingkungan semakin rusak akibat dari konflik agraria membuat produksi pertanian berkurang, sumber mata air rusak, identitas budaya hilang, dan kualitas kesehatan keluarga memburuk.
Meskipun perempuan mengalami dampak yang serius dari kerusakan alam, pengalaman mereka tidak selalu didengar dan mereka kesulitan untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan selama konflik agraria berlangsung. Berdasarkan pengalaman tersebut, perempuan mengambil peran aktif dalam konflik agraria tidak hanya untuk melawan perusak lingkungan, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang mempromosikan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.[3]
Perjuangan tersebut juga diupayakan di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah menyuarakan, bahwa kesetaraan gender telah menjadi salah satu tujuan dalam pembangunan berkelanjutan yang harus diwujudkan pada tahun 2030. Hal ini melibatkan akses pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi elemen penting dalam mencapai target kelima pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs), yaitu Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan. Dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang berperspektif gender digunakan beberapa indikator diantaranya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Pada tahun 2019, masih terdapat 19 provinsi dengan capaian IPG di bawah rata-rata nasional. Sedangkan untuk IDG hanya ada 5 provinsi yang pencapaiannya berada di atas rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan masih ada kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan di banyak daerah.[4]
Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki ditunjukkan oleh persentase kepala rumah tangga laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan. Kesenjangan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan juga terlihat dari rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas. RLS penduduk laki-laki lebih tinggi dari penduduk perempuan. Pada tahun 2019, RLS laki-laki sudah mencapai 9,08 tahun sedangkan perempuan tertinggal pada 8,42 tahun. Pada bidang ketenagakerjaan, perempuan juga masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Dari setiap 3 laki-laki yang bekerja, terdapat 2 perempuan yang bekerja. Selain itu, akses perempuan dalam bidang pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi pun juga masih terbatas. Penduduk laki-laki yang mengakses internet mencapai 50,5 persen sedangkan perempuan hanya 44,86 persen.[5]
Peringatan Hari Perempuan Internasional dapat menjadi refleksi, sekaligus memberikan penghargaan dan dukungan terus menerus kepada perempuan yang telah melakukan pencapaian yang luar biasa. Kedepannya diharapkan dapat mendorong lebih banyak lagi perempuan untuk memimpin langkah-langkah pelestarian lingkungan hidup. Berikut beberapa perempuan, yang mungkin dapat memberikan inspirasi luar biasa kepada kita semua dalam bidang lingkungan hidup.
Beberapa cerita mendobrak stereotip gender dan menunjukkan perempuan sebagai pionir di bidang yang secara tradisional dianggap sebagai domain laki-laki, seperti dalam penelitian ilmiah, industri perkapalan, bahkan pelayaran.
Suswaningsih (Penerima Penghargaan kalpataru 2021)
Selama puluhan tahun, sejak tahun 1996 Ibu Suswaningsih berhasil menyulap lahan di Kelurahan Karangwuni dan Melikan di Kapanewon Rongkop Gunungkidul yang sebelumnya tandus dan berbatu, kemudian menjadi lahan hijau yang bermanfaat dan produktif. Karena jasanya, pada tanggal 15 Oktober 2021 Ibu Suswaningsih yang berkerja di Penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kapanewon Rongkop menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori Pengabdi Lingkungan.
Menurut Suswaningsih kendala terberat yang dihadapi adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mau memanfaatkan lahan yang kritis menjadi produktif. Suswaningsih juga menjelaskan, untuk pemanfaatan lahan non produktif, dirinya mengajak masyarakat mengembangkan tanaman pangan dan kayu-kayuan, serta mengembangkan tanaman lokal. Sejak tahun 1996 ia mengajak warga untuk menggarap lahan nonproduktif. Lahan yang digarap seluas 5 hektar untuk jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan dengan sistem tumpangsari luas lahannya 903,7 meter persegi, dan untuk lahan pengembangan konservasi seluas 203 hektar.[6]
Greta Thunberg
Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg, yang akrab disapa Greta Thunberg adalah salah satu juru kampanye iklim paling terkenal di dunia.
Remaja asal Swedia telah menjadi tokoh terkemuka, ketika tanggal 20 Agustus 2018 dirinya seorang diri memulai pemogokan sekolah pertama di luar gedung parlemen Swedia. Remaja berumur 15 tahun tersebut memprotes pemerintah Swedia untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris, dengan cara duduk di luar Gedung Parlemen (Riksdag) setiap hari, selama jam sekolah dengan ungkapan “Skolstrejk för klimatet” (Mogok Sekolah Untuk Iklim).
Kampanye Greta ternyata menginspirasi seluruh dunia, kepada ribuan anak muda untuk mengorganisir tindakan protes iklim di seluruh dunia. Pada bulan Desember 2018, gerakan Greta menginspirasi lebih dari 20.000 siswa – dari Inggris hingga Jepang – untuk turut bergabung dengannya dengan kampanye “Mogok Sekolah Untuk Iklim”.
Foto: Kampanye Greta dalam “Friday For Future” dengan spanduknya “Skolstrejk för klimatet”[7]
Pada tahun 2018 tersebut, seluruh dunia menjadi tertarik atas tindakan Greta yang menginspirasi puluhan ribu orang dalam kampanye perubahan iklim. Koran terkenal The Guardian kemudian menerbitkan artikel online tentang “skolstrejk för klimatet”. Judulnya berbunyi, “The Swedish 15-year-old who’s cutting class to fight the climate crisis”.[8] Selain itu, salah satu majalah mingguan paling terkenal di Amerika menjadikan Greta sebagai sampul halaman depannya.[9]
Pada tahun 2019, Greta berlayar melintasi Atlantik dengan kapal pesiar untuk menghadiri konferensi iklim PBB di New York. Tanpa rasa takut, Greta dengan penuh amarah menyatakan, bahwa seluruh pemimpin dunia belum berbuat cukup untuk menghentikan perubahan iklim. Dengan salah satu kata kutipan pidatonya yang terkenal saat itu, “How Dare You”. Atas tindakan dan inspirasinya, maka pada tahun tersebut Greta turut menjadi salah satu kandidat penerima penghargaan Nobel, dengan nominasi tindakannya terhadap perubahan iklim.
Foto: Greta dalam acara pertemuan iklim yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa bangsa[10]
Pada COP 26 di Glasgow tahun 2021 lalu, para pemimpin dunia bertemu untuk membahas hal-hal yang dapat dilakukan negara-negara untuk mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim. Greta kemudian mengkritiknya dengan menyatakan dalam Pidatonya, “Tentu saja, kami membutuhkan dialog yang konstruktif – tetapi mereka sekarang telah memiliki 30 tahun bla, bla, bla, dan ke mana itu membawa kami,” kata Greta.[11]
Tidak luput dari daftar perjuangan remaja perempuan, Indonesia memiliki Aeshnina Azzahra yang dengan lantang mengirimkan surat kepada berbagai negara yang mengirimkan sampah ke Indonesia juga banyak berperan dalam perjuangan lingkungan hidup.
Perjuangan perempuan di bidang lingkungan hidup atau yang dekat dengan konsep ekofeminisme pada dasarnya bukan untuk membuat perempuan menjadi dominan. Tujuan dari perjuangan ini adalah untuk membuat seluruh masyarakat menyadari bahwa perempuan dan lingkungan hidup merupakan subjek yang juga layak mendapatkan tempat di sistem sosial ekologi. Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas, masih terdapat banyak sekali tokoh perempuan yang berjuang di bidang lingkungan hidup. Beberapa tokoh tersebut antara lain Ibu Endang Astuti, mama Aleta Baun aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur, Adriana Meraudje salah satu dari banyak perempuan Enggros pelestari Hutan, Ibu Karlina Supelli seorang astronom sekaligus filsuf yang memperjuangkan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup, dan masih banyak lagi daftar perempuan pejuang lingkungan hidup yang dapat menjadi inspirasi kita semua.
[1] https://unfccc.int/gender
[2] Laila Fariha Zein & Adib Rifqi Setiawan, “General Overview of Ecofeminism”, Tahun 2017
[3] Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan
[4] Iklilah Muzayyanah Dini, et.all., “Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2020”, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Tahun 2020.
[5] Sylvianti Angraini (Editor), “Profil Perempuan Indonesia Tahun 2020”, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Tahun 2020.
[6] https://www.radioidola.com/2021/mengenal-suswaningsih-peraih-penghargaan-kalpataru-2021/
[7] Lihat dalam: https://www.theguardian.com/environment/2018/dec/04/leaders-like-children-school-strike-founder-greta-thunberg-tells-un-climate-summit
[8] Lihat dalam: (https://www.theguardian.com/science/2018/sep/01/swedish-15-year-old-cutting-class-to-fight-the-climate-crisis)
[9] Greta’s Story, The Schoolgirl Who Went on Strike to Save the Planet, Simon & Schuster Children’s, United Kingdom (2019)
[10] Sumber: (https://en.tempo.co/photo/75289/greta-thunberg-to-un-climate-summit-you-have-stolen-my-dreams)
[11] Lihat dalam: https://www.theguardian.com/environment/2021/sep/28/blah-greta-thunberg-leaders-climate-crisis-co2-emissions
Penulis: Faisol Rahman & Retno Suryandari (Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM)
Editor: Zakky Ahmad