Lahan basah memiliki peran yang sangat besar dalam menyediakan jasa ekosistem bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Sayangnya, lahan basah seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat sebagai lahan kurang produktif. Padahal lahan basah merupakan salah satu jenis ekosistem yang sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Faktanya, banyak peradaban manusia yang telah berkembang maju di dalam atau di dekat lahan basah. Seperti peradaban Mesopotamia di delta Nil Mesir, Makedonia Alexander di rawa-rawa Axios, Roma di rawa-rawa Pontine, Belanda, London, dan kota-kota Hanseatic Jerman yang terletak di dataran delta rawa yang luas serta berbagai peradaban yang berkembang di delta Mekong, rawa-rawa di Meksiko Tengah, dan delta Niger di Mali.
Cerita legenda tentang Rawa Pening menjadi salah satu penanda bahwa rawa juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, beberapa wilayah di Jakarta juga memiliki nama berawalan ‘Rawa’ karena memang sebelumnya kawasan tersebut berupa rawa. Mulai dari Rawa Badak hingga Rawamangun yang sering digunakan untuk memperindah bait pantun.
Perlindungan Lahan Basah
Secara internasional, perlindungan lahan basah dimulai sejak tahun 1971, ketika The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyelenggarakan sebuah konvensi tentang konservasi ekosistem tertentu di kota Ramsar, Iran. Hasilnya pada tanggal 2 Februari 1971 disepakati Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat (Konvensi Lahan Basah yang Penting Secara Internasional Terutama sebagai Habitat Unggas Air). Konvensi yang dikenal dengan sebutan Konvensi Ramsar adalah kesepakatan internasional pertama, yang bertujuan untuk meningkatkan konservasi pada jenis ekosistem tertentu (lahan basah), bukan didasarkan atas konservasi spesies.
Tanggal 2 Februari kemudian ditetapkan sebagai “World Wetlands Day” atau hari lahan basah sedunia, yang pada tahun 2022 ini bertema “Wetlands Action for People and Nature”. Majelis Umum PBB dalam resolusinya tanggal 30 Agustus 2021 lalu, telah menetapkan Hari Lahan Basah Sedunia sebagai hari internasional yang juga diperingati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut merupakan suatu pengakuan, terhadap pentingnya lahan basah bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup.
Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Ramsar wajib menetapkan minimal satu kawasan lahan basah yang terdapat dalam wilayah negaranya, untuk dimasukkan dalam Daftar Lahan Basah Internasional Penting (The List of Wetlands of International Importance) atau yang diistilahkan dengan “Situs Ramsar”. Keberadaan Situs Ramsar menjadi wujud komitmen suatu negara terhadap Konvensi Ramsar yang mengikat untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Tanpa mengurangi hak kedaulatan suatu negara, maka penunjukan situs ramsar harus sesuai dengan kriteria (criteria for the designation of wetlands sites 1990) yang mencakup pertimbangan signifikansi internasionalnya dalam hal ekologi, botani, zoologi, limnologi atau hidrologi.
Hingga 31 Januari 2022, sebanyak 172 negara telah bergabung sebagai Pihak Penandatangan konvensi. Terdapat 2.435 situs ramsar di seluruh dunia, yang mencakup lahan basah seluas 254.685.425 ha. Negara dengan Situs terbanyak adalah Inggris Raya, yang saat ini memiliki 175 situs ramsar dengan luas permukaan mencapai 1.283.040 hektar. Sedangkan Brazil merupakan pemilik situs ramsar terluas yang mencapai 26,794,455 hektar dengan 27 situs Ramsar.
Konvensi Ramsar mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 8 Agustus 1992 melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat. Indonesia telah memiliki 7 lokasi yang ditetapkan sebagai Situs Ramsar, dengan luasan mencapai 1.372.976 hektar. Ketujuh Situs Ramsar tersebut, yaitu Suaka Marga Satwa Pulau Rambut, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Sembilang, Taman Nasional Danau Sentarum, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Taman Nasional Wasur, dan Taman Nasional Tanjung Puting.
Ratifikasi Konvensi Ramsar merupakan tonggak awal kebijakan perlindungan ekosistem lahan basah di tanah air. Dalam perkembangannya kemudian, dibentuklah Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (KNLB) tahun 1994 disertai dengan terbitnya Buku Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia pada tahun 1996, dan Buku Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia Tahun 2004.
Menurut Konvensi Ramsar pasal 1 ayat (1), lahan basah meliputi rawa, payau, lahan gambut, dan perairan alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada saat air surut. Tetapi, masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari masih lebih akrab dengan istilah lahan basah yang didasarkan atas jenis-jenisnya, seperti: kawasan mangrove, gambut, sempadan, rawa, danau, sawah, dan tambak.
Berbagai departemen sektoral juga masih mendefinisikan lahan basah berdasarkan sektor wilayah pekerjaan masing-masing. Akibatnya upaya perlindungan lahan basah di Indonesia cenderung terfragmentasi, menyesuaikan dengan jenis ekosistem lahan basah, antara lain seperti ekosistem gambut, ekosistem mangrove, padang lamun, serta ekosistem sungai dan danau. Saat ini, kebijakan perlindungan gambut misalnya, memang telah lebih spesifik pada pengaturan suatu jenis lahan basah tertentu. Namun, langkah-langkah yang diambil masih terlihat tidak mengalami perubahan semenjak kebijakan perlindungan lahan basah di era 90-an.
Dimana payung hukumnya muncul semenjak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Perlindungan Ekosistem Gambut. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden No 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, yang disertai penerbitan Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut (Renstra BRG) Tahun 2016- 2020. Terakhir, kembali terbit Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Wetland Not Wasteland
“Wetland is not Wasteland” adalah semboyan yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat. Pasalnya cara pandang manusia terhadap alam sekitar masih menganut Paradigma Cartesian.
Rede Descartes memperkenalkan sebuah konsep yang menyatakan bahwa materi (res extensa) dan substansi (res cogitans) merupakan sesuatu yang terpisah. Oleh sebab itu, bumi dipandang hanya sebagai sebuah mesin besar yang dapat dikontrol melalui sudut pandang manusia. Apabila komponen yang ada di permukaan bumi tidak memiliki fungsi yang secara langsung menguntungkan manusia, maka komponen tersebut dianggap tidak berguna (waste). Padahal, lahan basah yang seringkali dianggap tidak berguna memiliki banyak sekali peran bagi kehidupan seluruh makhluk di bumi, termasuk manusia.
Setiap lahan basah memiliki keunikan masing-masing dan menjadi rumah bagi banyak jenis flora dan fauna. Hal ini dikarenakan sebagian besar lahan basah memperoleh nutrien secara terus-menerus dari air yang mengalir di tanah sekitarnya. Oleh sebab itu, lahan basah seringkali menjadi ekosistem yang produktif dengan pertumbuhan yang cepat bagi spesies akuatik. Salah satu contoh spesies penting Indonesia yang hidup di lahan basah adalah Buaya Senyulong (False gharial). Tidak hanya menjadi habitat bagi spesies akuatik, mamalia darat pun banyak yang hidup di kawasan lahan basah mulai dari Bekantan (Nasalis larvatus) di hutan bakau hingga Orangutan (Pongo sp.) di lahan gambut.
Selain menjadi habitat bagi banyak jenis flora dan fauna, lahan basah merupakan ekosistem penting yang menyediakan filter alami untuk sedimen dan limpasan. Proses filtrasi memungkinkan air yang memasuki kawasan lahan basah untuk dibersihkan secara biologi sebelum memasuki badan air yang lebih besar seperti danau dan laut. Proses filtrasi ini juga akan mengurangi beban sedimen yang terbawa oleh limpasan. Tidak hanya itu, lahan basah juga melindungi garis pantai dari erosi. Ketika lahan basah terdegradasi, perlindungan terhadap erosi yang diberikan oleh lahan basah harus digantikan dengan pertahanan buatan, seperti tembok pembatas. Ketika jasa ekosistem itu sudah hilang dan manusia harus membuatnya sendiri, maka manusia baru menyadari betapa mahalnya jasa ekosistem tersebut.
Paradigma antroposentris yang melekat dalam cara pandang masyarakat menjadi salah satu penyebab hilangnya lahan basah di permukaan bumi. Bahkan hilangnya lahan basah dari permukaan bumi 3 kali lipat lebih cepat dibanding hilangnya hutan. Sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan, karena lahan basah dianggap tidak berguna.
Perkiraan terbaru menurut Global Wetland Outlook (2021) menyatakan bahwa lahan basah di seluruh dunia telah menghilang sekitar 64 persen sejak tahun 1900. Lahan basah di Indonesia juga telah banyak mengalami konversi. Salah satu konversi lahan basah yang terjadi secara masif yaitu di Jakarta. Berdasarkan penelitian Armanto (2009), Jakarta di tahun 1960 didominasi dengan lahan berupa rawa sebesar 2100 ha dan built up area masih sekitar 9130 ha. Tahun 1980 lahan rawa menjadi 1460 ha dan mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 40.490 ha. Tahun 2005, lahan rawa hanya tersisa 1 ha, sedangkan built up area menjadi 62190 ha. Oleh sebab itu banjir kian mendera kawasan ibukota dan prediksi Jakarta tenggelam pun semakin disuarakan oleh para ilmuwan.
Sebelumnya New Orleans juga pernah memperoleh peringatan serupa. Tiga dekade sebelum terjadinya Badai Katrina (2005), para ilmuwan telah memberi peringatan. Hal ini dikarenakan sebagian besar New Orleans terletak di bawah permukaan laut dan lahan basah pesisir South Louisiana yang pernah membantu melindungi kota dari badai raksasa telah hilang dengan sangat cepat. Setelah kejadian tersebut, para ilmuwan pun menyerukan untuk dilakukannya restorasi lahan basah untuk melindungi New Orleans di kemudian hari.
Diperlukan edukasi secara konsisten kepada seluruh elemen masyarakat agar dapat menguatkan langkah-langkah konservasi lahan basah. Sehingga lahan basah yang dulunya dianggap sebagai lahan tidak produktif, harus dianggap menjadi suatu anugrah. Melalui teknologi dan inovasi, lahan basah dapat dikelola secara berkelanjutan dengan tetap menghadirkan keuntungan secara ekonomi, tetapi tidak mencederai ekologi. Terlebih saat ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia menetapkan Ekonomi Biru sebagai salah satu target. Oleh sebab itu sinergi antara badan riset, akademisi, pemerintahan, LSM, swasta, hingga masyarakat harus dieratkan.
Pandangan masyarakat terhadap alam dan lingkungan, termasuk lahan basah pelan-pelan harus mulai diubah. Alam bukan sekedar benda mati atau mesin besar melainkan sebuah sistem kompleks. James Lovelock melalui Gaia Hypothesis-nya, menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini pada dasarnya adalah agen yang memiliki tugas masing-masing. Biosfer secara keseluruhan bertindak untuk mempertahankan kondisi kehidupan sebagaimana hutan mangrove melindungi makhluk di daratan dari badai dan tsunami. Bumi (Gaia) memang tidak memiliki kesadaran. Namun bumi memiliki sistem kompleks dan kecerdasan untuk meregulasi dirinya. Oleh sebab itu sebagai manusia sudah seharusnya tidak lagi memanipulasi atau mengontrol bumi dengan seenaknya. Manusia sebagai bagian dari sistem kompleks bumi juga harus bersedia memahami dan berkomunikasi dengan bumi. Hal ini dimaksudkan supaya kehidupan dapat berjalan secara berkelanjutan.
References
Anggara, A. S. (2018). Aspek Hukum Pelestarian Lahan Basah pada Situs Ramsar di Indonesia (Studi terhadap Implementasi Konvensi Ramsar 1971 di Taman Nasional Tanjung Puting). Mimbar Hukum, 30(2), 246-261. https://doi.org/10.22146/jmh.29577
Armanto, D. (2008). Pola Perubahan Tutupan Tanah DKI Jakarta 1960-2005 [Skripsi]. Universitas Indonesia.
Capra, F. (2010). The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism. Shambhala.
Convention on Wetlands. (2021). Global Wetland Outlook: Special Edition 2021. Secretariat of the Convention on Wetlands.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2021). KKP | Kementerian Kelautan dan Perikanan. Retrieved January 30, 2022, from https://kkp.go.id/djprl/p4k/page/4284-kondisi-mangrove-di-indonesia
Mathews, F. (Ed.). (1996). Ecology and Democracy. Frank Cass.
Sands, Philippe, Jacqueline Peel, Adriana Fabra, and Ruth Mackenzie. 4th edition (2018). Principles of international environmental law. Cambridge: Cambridge University Press.
Tibbets, J. (2006). Louisiana’s: A Lesson in Nature Appreciation. Environmental Health Perspectives, 114(1), 40-43.
UNFCCC. (2018, October 1). Wetlands Disappearing Three Times Faster than Forests. UNFCCC. Retrieved January 30, 2022, from https://unfccc.int/news/wetlands-disappearing-three-times-faster-than-forests
Penulis: Retno Suryandari Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Faisol Rahman PSLH UGM.