Bagian 1 Seri Konservasi: Mengenang Tragedi Satwa (Lindung) di Indonesia
Mungkin tahun 2018 dapat dinobatkan sebagai tahun yang paling memilukan bagi satwa dilindungi. Sebab pada tahun ini beberapa peristiwa yang sangat menyedihkan terjadi.
Gajah Bunta
Bunta adalah salah satu gajah jinak binaan Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi yang ditemukan dengan kondisi mati mengenaskan di Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur pada Juli 2018. Terlihat sebagian wajah Bunta yang merah dipenuhi darah dimana terdapat luka menganga pada bagian pipinya dan salah satu gadingnya hilang. Bunta yang pernah menyambut aktor film Titanic Leonardo DiCaprio mati karena buah manga kweni beracun. Setelah melakukan pembedahan, tim dokter dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, menemukan bahwa kondisi organ tubuh Bunta dalam kondisi rusak. Hatinya membengkak dan cairan di rongga dada sangat keruh. Selain itu, terjadi pendarahan dalam bagian tubuh gajah ini. Dokter juga menemukan buah mangga kweni di dalam perut Bunta – persis seperti yang ditemukan di dekat buta terbaring selamanya.
Tak kalah memilukan di tahun 2018, dimana seekor harimau sumatera diketahui telah dibunuh oleh warga Desa Hatupangan, Kecamatan Batang Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Peristiwa tersebut diketahui setelah warga setempat menyebarluaskan foto-foto mayat harimau mati yang digantung dan menjadi tontonan warga. Bahkan tampak di foto usus harimau yang terburai. Ironisnya, meskipun BKSDA mengharapkan agar harimau yang saat itu belum tertangkap agar bisa dievakuasi dengan cara dibius atau dipasang perangkap, namun warga lebih menginginkan harimau ditembak mati. Kematian harimau kemudian sungguh terjadi. Peristiwa ini kembali mengingatkan kita pada peristiwa terhadap harimau di Tapanuli Utara pada tahun 2016 silam.
Masih di tahun yang sama, dimana terjadi pembantaian terhadap 292 ekor buaya pada Juli 2018. Saat itu, ratusan orang membantai buaya penangkaran milik CV Mitra Lestari Abadi di Kelurahan Klamalu, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Buaya yang dibantai terdiri atas sepasang indukan dan 290 buaya anakan. Pembantaian dilakukan beramai-ramai setelah seorang warga, Sugito (48 tahun), tewas akibat diterkam buaya saat mencari rumput di sekitar lokasi penangkaran.
Kasus pembantaian bermotif balas dendam itu mengingatkan publik terhadap tragedi yang terjadi di Desa Karangan Seberang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur pada tahun 2015. Saat itu seorang anak hilang ketika sedang bermain di halaman belakang rumah kakeknya, di tepian Sungai Karangan. Anak itu diduga diseret seekor buaya ke sungai. Akibat duka warga itulah, buaya yang diperkirakan memangsa anak tersebut ditangkap satu demi satu, lalu dibedah. Namun, hingga enam buaya muara ditangkap, hasilnya nihil. Baru pada buaya ketujuh, jenazah anak yang hilang dapat ditemukan dan disemayamkan keluarganya.
Orang Utan Hope
Hope adalah nama orang utan yang menjadi korban dari perilaku masyarakat antroposentris yang teramat sangat menyedihkan. Peristiwa tersebut telah menjadi ulasan harian berita internasional, seperti harian The New York Times di hari Juma’at tanggal 5 Juli 2019 dengan artikel berjudul “A Mother Shot 74 Times”. Isinya adalah kisah tragis dari Orangutan betina bernama Hope di Subulussalam Aceh, yang mendapat banyak tembakan senapan angin di tubuhnya. Hope diselamatkan petugas BKSDA Aceh pada 10 Maret 2019, setelah mendapat laporan dari warga. Hope bersama anaknya ditemukan dengan kondisi kedua mata Hope terluka akibat tembakan. Sedangkan anaknya yang berada dalam Pelukan hope ketika ditemukan, kondisinya kritis akibat kekurangan nutrisi dan akhirnya tidak terselamatkan. Setelah pemeriksaan medis, ada 74 peluru bersarang di dalam tubuh Hope. Ironisnya, pelaku penembakan adalah dua remaja yang masih berusia 17 tahun dan 16 tahun.
Tak lama berselang, pada November 2019 tragedi berulang kembali. Dimana seekor orang utan dengan banyak luka tembak bernama Puguh ditemukan di Desa Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Orang utan Puguh diketahui terkena 24 peluru senapan angin oleh pemburu liar. Meskipun dapat diselamatkan, Puguh mengalami kebutaan untuk selama-lamanya.
Pada waktu yang sama, di Kalimantan seekor Beruang Madu bernama Nanjung dikabarkan mengalami nasib yang tak kalah menyesakkan. Satu tangan Nanjung harus hilang akibat luka terkena jerat tali nilon yang dipasang warga Desa Sungai Nanjung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Ketapang, Kalimantan Barat pada 20 November 2019. Warga mengakui dengan sengaja memasang jerat lantaran beruang-beruang itu sering masuk ke dalam kebun dan menghabiskan madu di pondok mereka. Meskipun selamat, Nanjung harus kehilangan satu tangannya dan senantiasa kesulitan untuk mencari makan sendiri. Peristiwa tragis seperti yang dialami Nanjung, terus berlanjut pada bulan Juni 2019 di Kabupaten Aceh Barat daya, Aceh. Dimana seekoranak beruang harus diamputasi salah satu kakinya akibat luka terkena jerat.
Pelaksanaan amputasi yang dilakukan oleh Tim Dokter dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH Unsyiah) di Banda Aceh bukanlah kali pertama terjadi. Sebelumnya di tahun 2017, operasi amputasi terhadap seekor beruang akibat luka terkena jerat juga pernah dilakukan pada Beruang Madu dewasa berkelamin betina. Kehilangan satu kakinya mengakibatkan beruang tersebut tidak memungkinkan untuk dapat dilepasliarkan kembali ke habitat asalnya.
Pada tahun 2019 ini, kasus satwa dilindungi yang paling banyak memperoleh atensi publik adalah kehadiran harimau sumatera di Muara Enim, Lahat dan Pagar Alam Sumatera Selatan. Sebanyak 24 kasus konflik berlangsung selama lebih dari tiga bulan lamanya, dengan korban tewas mencapai enam orang. Akibatnya kegiatan berladang dihentikan. Bahkan, beberapa petani kopi yang beraktivitas di kawasan Hutan Lindung di bawah naungan Kesatuan Pengelolaan Hutan Kikim Pasemah dan Dempo dievakuasi. Kegiatan pariwisata juga tak luput terkena imbasnya. Serangkaian peristiwa yang terjadi telah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Peristiwa ini tak berbeda dengan perjalanan Harimau Bonita dari Provinsi Riau, yang telah mengakibatkan meninggalnya dua orang pekerja perkebunan pada tahun 2018. Tak dipungkiri lagi, peristiwa seperti ini akan mendorong persepsi negatif bagi kebijakan konservasi Harimau Sumatera.
Tragedi di Tahun 2020
Awal tahun baru 2020, disambut kabar duka dengan ditemukannya lima kerangka gajah di Desa Tuwi Priya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya. Kelima Gajah diduga mati karena tersetrum aliran listrik yang berasal dari pagar perkebunan sawit milik masyarakat. Kuat dugaan, bahwa pagar listrik yang dibangun dengan tinggi 1,5 meter memang sengaja untuk menghalau satwa besar seperti gajah.
Seekor Gajah sumatera berusia 1,5 tahun yang diberi nama Salma juga dikabarkan meninggal di awal tahun 2020. Salma ditemukan pada bulan Juni 2019 dalam lubang di Desa Batu Sumbang, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur. Saat ditemukan, pergelangan kaki kiri depannya terikat jerat tali seukuran jempol kaki, yang diduga khusus untuk menjerat hewan besar seperti gajah. Langkah penyelamatan salam dilakukan sengan segera membawanya menggunakan perahu menyusuri Sungai Simpang Jernih menuju conservation response unit (CRU) pusat mitigasi konflik satwa di Serbajadi, Aceh Timur. Jerat tali menimbulkan luka yang membusuk, sehingga Salma harus kehilangan satu kakinya untuk diamputasi. Selama enam bulan lamanya Salma dirawat. Namun akibat trauma yang dialaminya, di awal tahun 2020 Salma pergi untuk selamanya.
Tragedi terhadap satwa dilindungi dengan motif balas dendam kembali terjadi di Tahun 2020. Pada April 2020, Personel Ditpolairud Polda Maluku bersama anggota Polsek Air Buaya, menembak sebanyak hingga mati dengan senapan serbu SS1 V5 berkaliber 5,56 mm. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi kecurigaan masyarakat terhadap Buaya yang menjadi penyebab hilangnya seorang anak laki-laki berusia enam tahun di Desa Waemangit, Kecamatan Air Buaya (Pulau Buru). Karena kejadian duka itulah, polisi bersama warga kemudian menembak mati buaya. Jasad korban yang ditemukan kemudian langsung dibawa ke rumah duka untuk dimakamkan keluarganya.
Pertengahan tahun 2020, publik diramaikan dengan berita seekor kucing emas (Catopuma temminckii) sebesar Anjing yang terjerat di perkebunan milik warga Nagari (Desa) Kamang Mudiak, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar). Hewan langka yang dijuluki golden cat atau fire cat terjebak jerat hingga melukai kaki kiri bagian depannya. Meskipun luka di kakinya berangsur membaik, namun kucing emas itu mengalami anemia serta dehidrasi. Setelah dirawat selama dua hari lamanya, kucing emas itu akhirnya menemui ajalnya.
Pada Bulan yang sama di Kabupaten Trumon, Aceh juga ditemukan seekor Harimau yang telah mati. Tak jauh dari lokasi dijumpai bangkai enam ekor kambing yang sudah tidak utuh. Hasil nekropsi oleh tim dokter menemukan zat insektisida yang biasa dipakai petani untuk memusnahkan hama serangga pada perut harimau. Zat racun itu juga ditemukan dalam daging kambing sisa makanan harimau yang berserakan beberapa meter dari lokasi penemuan bangkai harimau.
Pada agustus 2020, seekor gajah jinak binaan Conservation Response Unit Sampoiniet Aceh bernama Ollo, tiba-tiba mati tanpa menunjukan adanya gejala sakit. Sebelum mati, Ollo masih beraktivitas seperti biasa, membawa pelepah kelapa untuk dimakan sendiri dan untuk tiga gajah jinak lainnya. Sampai sekarang kematian Ollo masih menjadi misteri yang belum tuntas. Terakhir di tahun 2020, seekor gajah bernama Otto yang berusia 25 tahun ditemukan mati di Conservation Response Unit, pusat mitigasi konflik satwa di Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, 27 Desember 2020. Otto yang ditangkap di Aceh Jaya beberapa tahun lalu itu telah dibina menjadi garda depan penengah konflik antara gajah liar dan manusia. Kematian Otto tentunya menimbulkan duka mendalam bagi CRU Cot Girek yang selama ini telah merawatnya, apalagi usia Otto masih tergolong muda.
Tragedi di Tahun 2021
Pada awal tahun 2021, seekor anak gajah yang diberi nama Inong (bahasa aceh : anak perempuan) ditemukan warga terjebak dalam lubang kubangan di Desa Bunot, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie. Sang induk tetap menjaga anaknya, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Saat warga mengevakuasi si anak, induknya menyaksikan dari jauh. Setelah diangkat dari lumpur, kondisi anak gajah nyaris tidak bergerak dan napasnya lemah. Pada bagian matanya terdapat luka serta satu kakinya lumpuh dan tidak dapat berdiri. Induk gajah sempat mendatangi anaknya, mengusap tubuh sang anak yang terbaring kaku di rumput. Induk gajah itu perlahan menjauh seperti tahu anaknya butuh pertolongan medis.
Tim lalu mengevakuasinya Inong ke PKG Saree untuk mendapatkan perawatan dari tim medis Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH-USK), BKSDA Aceh, dan Fauna and Flora International (FFI). Selama tiga minggu dirawat, akhirnya pada awal Maret 2021 Gajah Inong pergi untuk selamanya. Dokter hewan mengatakan, bahwa dari sekian banyak anak gajah yang dirawat, nyaris tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga dewasa. Mereka semua mati.
Kasus terakhir adalah peristiwa yang menimpa seekor gajah berusia 12 tahun di area Afdeling V PT Bumi Flora yang berlokasi di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur pada bulan Juli 2021. Biadabnya, satwa yang ditemukan mati di area perkebunan sawit tersebut dalam kondisi kepala terpotong dan hilang. Tim gabungan menemukan belalai gajah yang terletak sekitar 10 meter dari lokasi tersebut. Diduga, kepala bersama gading telah diambil oleh pelaku. Hasil pemeriksaan menemukan dua bungkus plastik berisi racun dalam perut satwa malang itu.
Ironis memang, jika satwa yang seharusnya berstatus mendapatkan perlindungan malah bernasib sebaliknya, sebagaimana tragedi yang telah terjadi. Mungkin sudah saatnya pemerintah segera menuntaskan revisi UUKSDAHE 1990.
Selama 32 tahun telah banyak perkembangan ilmu pengetahuan, permasalahan dan implementasi konservasi serta hukum internasional yang masih belum diakomodir dalam UUKSDHE. Salah satunya adalah ancaman pidana penjara maksimal selama 5 (lima) tahun yang diatur dalam Pasal 40 UUKSDHE, yang dinilai sudah tidak mampu menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan satwa dilindungi.
Sejak masuknya revisi UUKSDAHE dalam Program Legislasi nasional (Proglenas) Tahun 2017, sampai dengan Proglenas tahun 2022 maka lima tahun sudah proses revisi UUKSAHE seolah jalan di tempat. Revisi UUKSDAHE diharapkan mendorong kebijakan konservasi di Indonesia menjadi lebih baik. Sebab kita semua tentu selalu berkehendak agar di tahun 2022 dan seterusnya tidak terjadi kembali peristiwa memilukan pada satwa lindung di Indonesia. Semoga.
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad