Rencana UGM untuk mengembangkan nangka sebagai tanaman budaya di Yogyakarta disambut baik oleh Bupati Sleman, Sri Purnomo. Menurut Bupati, buah nangka tidak hanya berguna sebagai bahan baku membuat gudeg namun juga kayu pohon tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan perkakas dan mebel. “Pengusaha mebel kayu nangka perlu kita dorong ke arah itu,” kata Bupati dalam diskusi yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Selasa (24/1).
Kendati hasil mebel kayu nangka masih kalah pamor dengan mebel kayu jati, namun Bupati optimis mebel kayu nangka akan mendapat respon positif dari masyarakat jika dilakukan sosialisasi dan promosi dengan cukup baik.
Pemerhati bangunan cagar budaya, Dr. Laretna Adhisakti, sebenarnya sejak dahulu bangunan kuno di Jawa yang meggunakan kayu nangka. Bahkan untuk kandang ternak menggunakan kayu nangka. “Memang untuk bangunan baru sekarang jarang menggunakan nangka. Tapi bangunan kuno yang saya temukan terbuat dari kayu nangka. Bahkan banyak kandang kerbau dan sapi banyak dari kayu nangka,” ujarnya.
Sejawaran Arif Akhayat, M.A., mengatakan di era tahun 1870-an kayu nangka dikenal luas di pulau Jawa. Karena saat itu kayu jati di Jawa diekspor secara-besar-besaran oleh Belanda ke Eropa sehingga pasokan kayu jati menipis. Bahkan pasokan kayu jati di Jepara pun habis. “Jadi kayu nangka jadi solusinya,” katanya.
Pilihan pada kayu nangka juga tidak sembarangan. Bermula dari proyek tanam paksa Belanda dalam pembangunan perumahan dan jalan sehingga dibutuhkan banyak tenaga kerja. Untuk menampung para pekerja tersebut maka dibuatlah rumah sementara yang terbuat dari bambu. Setelah mereka tiggal di rumah bambu, banyak pekerja yang terserang penyakit pes. Bahkan penyakit ini menyebar luas ke masyarakat. “Akhirnya diganti dengan kayu nangka agar tidak digerogoti tikus. Dengan kayu nangka, rumah tidak dimakan oleh serangga. Jadi kayu nangka mengurangi serangan pes,” kisahnya.
Sumber: Humas UGM