Konsep ekonomi kuning atau yang juga dikenal dengan ‘Ekonomi Atensi’ pertama kali dicetuskan pada akhir tahun 1960 oleh Herbert A. Simon. Simon menyoroti adanya kelebihan informasi sebagai masalah ekonomi. Meskipun dicetuskan sejak tahun 1960-an, konsep ekonomi kuning menjadi populer sejak adanya pembuatan konten di dunia maya. Banyaknya konten yang bertebaran di dunia maya mengakibatkan rendahnya atensi masyarakat terhadap sebuah informasi. Meskipun pasokan informasi yang dapat diakses terus berkembang pesat – data digital meningkat dua kali lipat setiap dua tahun – permintaan akan informasi dibatasi oleh kurangnya perhatian yang dapat kita berikan terhadap informasi tersebut. Selain itu, total atensi terhadap suatu informasi juga dipengaruhi oleh jumlah orang yang memiliki akses terhadap informasi tersebut.
Davenport dan Beck (2001) pertama kali mendefinisikan “ekonomi atensi” sebagai pendekatan pengelolaan informasi yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas langka dan menerapkan teori ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah pengelolaan informasi. Kita semakin hidup dalam “ekonomi atensi” dibandingkan “ekonomi informasi”.
Tantangan Ekonomi Kuning
Pada tahun 2000-an informasi yang dihasilkan di seluruh dunia sangat melimpah, tetapi hanya 0,5% pada tahun 2015 yang dianalisis. Hal tersebut mengakibatkan informasi menjadi relatif murah, sementara “harga atensi” telah mengalami peningkatan sejak munculnya internet pada tahun 1990an. Oleh sebab itu perhatian menjadi sesuatu yang langka sehingga teknologi kini ditujukan untuk mengoptimalisasi pemerolehan perhatian dari masyarakat.
Menyadari tingginya keuntungan yang diperoleh dari pengolahan data yang dapat diolah sedemikian rupa untuk memaksimalkan perhatian masyarakat, platform digital mulai mengumpulkan sejumlah besar data. Sejumlah besar data tersebut digunakan untuk dijual kepada pengguna eksternal (khususnya pengiklan) untuk memperoleh keuntungan. Bisnis yang memonetisasi perhatian dan data masyarakat, sebagian besar tanpa sepengetahuan pengguna, dimungkinkan oleh kurangnya peraturan untuk melindungi pengguna seperti yang dijelaskan dalam beberapa tulisan Professor Shoshana Zuboff tentang Pengawasan kapitalisme.
Data dalam jumlah besar dimiliki oleh platform digital besar yang memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan teknologi besar – yang kini menjadi perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di dunia – memperoleh kekuatan yang belum pernah dimiliki sebelumnya dalam menjalankan perekonomian nasional dan global.
Dilengkapi dengan data besar dan kecerdasan buatan, mereka juga dapat mendeteksi dan menghilangkan ancaman persaingan yang muncul, sehingga semakin mengkonsolidasikan kekuatan mereka dan menunda inovasi dan kesejahteraan individu. Oleh sebab itu Eropa mengeluarkan aturan yang melindungi data warganya dalam GDPR (General Data Protection Regulation). GDPR merupakan regulasi perlindungan data paling ketat di dunia. Perjanjian ini dirancang oleh Uni-Eropa, tetapi penerapannya diwajibkan kepada seluruh organisasi-organisasi di dunia untuk mematuhinya selama berkaitan dengan data masyarakat Eropa. Negara lain yang membuat regulasi serupa yaitu Jepang, Israel, Selandia Baru, Argentina, Turki, Kanada, Uruguay, Kenya, Mauritius, Uganda, Afrika Selatan, Nigeria, Korea Selatan, Qatar, dan Brasil.
Korelasi Ekonomi Kuning dan Ekonomi Berkelanjutan
Ekonomi kuning yang merupakan bagian dari digitalisasi ekonomi tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Keunggulan ekonomi kuning yang digunakan dengan baik dan tidak melanggar aturan dan norma justru dapat menjadi pendukung bagi keberlangsungan sistem ekonomi lainnya, seperti ekonomi hijau, biru, oranye, dan sirkular. Dalam mendukung sistem NESD lainnya, ekonomi kuning berperan untuk membangun jaringan antar sistem dan dengan konsumen. Selain itu, sistem ekonomi kuning juga dapat menjadi salah satu bentuk penghematan mengingat penggunaannya lebih banyak di platform digital dan secara daring.
Namun demikian, penerapan ekonomi kuning yang notabene menggunakan teknologi digital dan secara daring perlu memperhatikan penggunaan energi. Pada tahun 2019, Financial Times melaporkan bahwa aktivitas digital global berkontribusi terhadap sekitar 4% emisi gas rumah kaca global, 37% lebih tinggi dibandingkan tahun 2010, dan dapat mencapai 21% pada tahun 2030. Hal ini akan memerlukan penanaman lebih dari 1,6 miliar pohon untuk mengimbangi polusi spam email saja. Oleh sebab itu diperlukan langkah efektif untuk menyusun regulasi yang mendorong supaya konten-konten yang beredar menjadi lebih efektif dan hemat energi.