Jum’at, 23 Juni 2023, Pusat Studi Lingkungan Hidup mengadakan siniar rutin yang membahas terkait isu-isu lingkungan di lingkup regional, nasional, maupun internasional. Pada kesempatan podcast lestari (Poles) episode ke-24 ini, isu yang dibahas yaitu mengenai urgensi menyembelih hewan kurban bagi masyarakat yang memeuk agama Islam dalam menyambut Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah. Oleh sebab itu siniar episode kali ini diberi judul “Qurban Hijau : Penyembelihan Hewan yang Berwawasan Lingkungan”.
Mendatangkan para pakar di bidangnya yaitu Bapak Nanung Danar Dono, Ph.D., Dosen Fakultas Peternakan UGM dan Ustadz Muzayyin Luthfie, Lc. Pengajar Pondok Pesantren Ibnu Juraimi Yogyakarta, siniar tersebut berusaha menghadirkan fenomene penyembelihan hewan kurban ini dari berbagai perspektif. Perspektif tersebbut yaitu dari aspek lingkungan hidup dan aspek fikih agama Islam. Siniar yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB tersebut berlangsung selama 60 menit dimoderatori oleh Mas Indha Martha Raharja, S.E.
Diawali dengan pembahasan terkait fikih syarat sah berkurban, salah satu yang sering mennjadi pertanyaan di masyarakat adlaah kondisi hewan yang akan dikurbankan. Berkaitan dengan hal ini Ustadz Muzayyin menjelaskan bahwa terdapat kriteria-kriterai hewan kurban tidak dapat dikurbankan, salah satunya adalah hewan yang cacat. Kecacatan dalam hal ini juga dijelaskan secara gamblang. Hukum hewan cacat yang dikurbankan pun dibagi menjadi dua yaitu makruh dan bahkan dapat menyebabkan kurban tersebut menjadi tidak sah. Salah satu contoh kecacatan pada tanduk. Sebagian ulama mengatakan apabila tanduk yang bagiannya hilang lebih dari setengah bagian, maka dapat menyebabkan ketidak absahan kurban seseorang. Selain pada tanduk, bagian tubuh yang juga harus diperhatikan adlaah bagian testis dari hewan kurban. Apabila bagian testis hewan ketika dibeli hanya terdapat satu testis yang turun ke skrotum, sedangkan satu testis lainnya mengalami gagal turun ke skrotum – biasanya disebut kriptorkismus, maka juga dapat menghalangi kurban seseorang menjadi sah. Namun apabila kecacatan-kecacatan tersebut terjadi ketika hewan kurban sudah terjadi akad jual beli, maka dapat dikurbankan.
Pembahasan fikih tersebut sangat penting untuk diketahui oleh semua umat Islam. Karena sebagaimana yang ditegaskan oleh Ustadz Muzayyin, dalam beribadah (termasuk) kurban harus dipersiapkan dnegan matang termasuk ilmu dalam melaksanakan ibadah tersebut.
Selain terkait dengan hukum fikih dalam Islam, umat Islam juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya ketikamelaksanakan kurban. Salah satu yang juga penting untuk diperhatikan adalah rposes penyembelihan hewan kurban yang memperhatikan kesejahteraan hewan. Hewan kurban harus diperlakukan dengan baik sesuai dengan asa-asas kesejahteraan hewan dan adab penyembelihan hewan kurban. Hal ini juga jelas dituntuntkan dalam ajaran agama Islam terkait dengan penyembelihan. Dr. Nanung juga menegaskan bahwa penyembelihan hewan kurban jangan sampai membuat hewan-hewan lainnya yang sedang menunggu antrian menjadi stres. Selain akan membuat hewan tersebut tidak nyaman, hal tersebut juga akan membuat prosesi penyembelihan terhambat.
Pada prinsipnya, penyembelihan hewan kurban tidak hanya mengejar keabsahana dalam berkurban, tetapi juga menerapkan prinsip-prinsip baik dalam Islam sehingga daging kurban yang dibagikan pun menjadi daging kurban yang thoyyib.
Diskusi berlangsung sangat interaktif dan dapat disimpulkan bahwa kedua narasumber bersepakat supaya setiap umat Islam yang hendak berkurban tidak hanya mendahulukan besar kecil ukuran hewan, tetapi juga harus disertai dengan ilmu dalam ibadah kurban yang mumpuni.