Klaim hijau, telah berkembang seiiring meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk atau jasa yang ramah lingkungan. Salah satu bentuk klaim hijau tersebut terwujud dalam bentuk simbol “daur ulang” pada kemasan plastik. Sangat mudah ditemukan simbol “daur ulang” pada seluruh kemasan plastik yang kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahun lalu, California melakukan terobosan dengan memperluas kriteria teknis atau persyaratan simbol atau labelisasi Daur Ulang pada kemasan plastik. Dimana penggunaan simbol daur ulang pada kemasan plastik mensyaratkan jaminan tersedia dan berjalannya sistem daur ulang bekas kemasan plastik atau sampah plastik sehingga dapat memastikannya untuk tidak berakhir di tempat pembuangan akhir sampah. Karenanya pengguna simbol daur ulang harus memberikan bukti, bahwa kemasan yang bersimbol daur ulang nantinya akan dikelola untuk di daur ulang dan kemudian dapat dipergunakan kembali. Meskipun suatu material atau plastik memang dapat di daur ulang, namun apabila upaya daur ulang yang dibebankan kepada produsen kemasan tidak berjalan, maka material tersebut dikategorikan tidak layak untuk menggunakan simbol “daur ulang”.
Sebelumnya kebijakan simbol daur ulang hanya mensyaratkan material atau bahan baku dari kemasan plastik semata. Tanpa mempertimbangkan terlaksana atau tidaknya upaya daur ulang, yang mencakup upaya pengumpulan sampah, pengolahan sampah dan penggunaan kembali material hasil proses daur ulang. Masalahnya, meskipun material tersebut dapat di daur ulang, namun tidak ada upaya untuk mendaur ulang bekas kemasan atau sampah plastik yang dihasilkan. Akibatnya sampah plastik hanya berakhir di tempat pebuangan akhir sampah tanpa adanya proses daur ulang.
Ada kesan simbolisasi “daur ulang” pada kemasan plastik hanya isapan jempol semata. Karena kenyataannya, pencemaran plastik telah menjadi masalah global. Menurut UNEP, sekitar 7 miliar dari 9,2 miliar ton plastik yang dihasilkan dari tahun 1950-2017 hanya menjadi sampah plastik dan kemudian berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibuang ke lingkungan. Sedangkan sampah plastik yang dapat di daur ulang hanya mencapai kurang dari 10% jumlahnya.
Sedikitnya volume sampah plastik yang mampu di daur ulang telah menepis klaim “daur ulang” pada kemasan plastik. Transformasi labelisasi “daur ulang” telah mendorong terlaksananya sistem daur ulang sebagaimana mestinya, melalui penyediaan sarana pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang telah di daur ulang.
Kebijakan labelisasi daur ulang yang dibebankan kepada produsen adalah implementasi dari extended producer responsibility (perluasan tanggung jawab produsen) pada kemasan produk/ jasa. Selama ini, konsumen dan pihak retail telah dibebankan untuk tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai. Beberapa daerah di Indonesia telah melarang toko-toko modern dan pusat perbelanjaan untuk menyediakan kantong plastik melalui kebijakan pembatasan kantong plastik. Kebijakan daur ulang yang dibebankan kepada Produsen diharapkan semakin memperkuat kebijakan pengurangan timbulan sampah plastik di Tanah Air.