Pada tanggal 28 Juli Tahun 2022, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi bersejarah, yang menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. Deklarasi Majelis Umum PBB telah mengakhiri perdebatan terhadap pengakuan hak atas lingkungan. Sehingga secara universal telah diakui, bahwa hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara-negara di seluruh dunia.
Majelis Umum mengatakan, bahwa perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menjadi ancaman mendesak bagi masa depan umat manusia. Pengakuan hak atas lingkungan sangat penting untuk mengatasi krisis tiga planet, mencakup perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan lingkungan adalah tantangan hak asasi manusia terbesar saat ini.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 24% dari semua kematian global, sekitar 13,7 juta kematian per tahun, terkait dengan lingkungan, karena risiko seperti polusi udara dan paparan bahan kimia. Karenanya Resolusi tersebut menyerukan, kepada negara-negara untuk meningkatkan upaya dalam rangka memastikan orang-orang mereka memiliki akses ke lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan.
Selama dua dekade terakhir, semakin terbukti bahwa hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan memiliki saling ketergantungan yang mendasar: Lingkungan yang sehat diperlukan untuk penikmatan penuh hak asasi manusia dan, sebaliknya, pelaksanaan hak (termasuk hak informasi, partisipasi, dan pemulihan) sangat penting untuk perlindungan lingkungan. Hubungan ini telah diakui di setiap tingkat sistem hukum dunia, dari pengadilan domestik hingga perjanjian multilateral.
Deklarasi majelis umum PBB telah memperkuat pengakuan Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat. Sebelumnya di bulan Oktober 2021, Dewan Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Council/ UNHRC) lebih dahulu mengakui, bahwa akses terhadap lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). UNHRC telah mengidentifikasi bagaimana kerusakan lingkungan mengganggu penikmatan penuh hak asasi manusia, dan mereka telah menyimpulkan bahwa negara memiliki kewajiban di bawah hukum hak asasi manusia untuk melindungi hak asasi manusia dari kerusakan lingkungan.
Resolusi UNHRC juga mengamanatkan adanya Special Rapporteur alias Pelapor Khusus yang berperan untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap HAM.
Menurut ahli Hukum Lingkungan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., L.Lm., Indonesia sudah memiki kerangka hukum dan kebijakan yang lebih baik daripada negara-negara PBB lainnya dalam hal perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal tersebut diungkapkan dalam acara Diskusi Publik “Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat”, yang diselenggarakan oleh Climate Institute-Center of Youth and Policy dan Friedrich Nauman Foundation tanggal 3 Agustus 2022, di Yogyakarta.
Dimana hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesungguhnya telah diatur dalam Konstitusi NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 28h Ayat 1 Konstitusi UUD 1945 telah menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Meskipun haruslah kita akui, bahwa dalam implementasi dan penegakannya masih belum sepenuhnya atau belum dapat mampu memberikan pemenuhan sebagaimana yang telah diamanatkan. Kasus pencemaran udara yang terjadi pada akhir tahun 2021 lalu dapat menjadi gambarannya. Ketika itu Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo, Gubernur Anies Baswedan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Kesehatan bertanggung jawab atas pencemaran udara di ibu kota Jakarta. Para pejabat ini dinilai telah lalai memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta diminta memperbaiki kualitas udara di Jakarta guna melindungi kesehatan masyarakat.
Menurut David Boyd, sebagai UN Special Rapporteur on Human Rights and the Environment, keputusan Majelis PBB akan mengubah sifat dasar hukum hak asasi manusia internasional. Menurutnya, Pemerintah telah berjanji untuk membersihkan lingkungan dan mengatasi keadaan darurat iklim selama beberapa dekade, tetapi memiliki hak atas lingkungan yang sehat mengubah perspektif orang dari sebelumnya ‘memohon” berubah menjadi menuntut pemerintah untuk bertindak”.
Menurut Boyd, meskipun negara tidak memiliki kewajiban hukum, tetapi kehadiran pengakuan ini akan mendorong negara memiliki kewajiban moral. Dimana PBB memiliki rekam jejak yang dapat kami lihat pada tahun 2010, ketika itu Majelis Umum mengeluarkan resolusi yang mengakui untuk pertama kalinya bahwa setiap orang memiliki hak atas air dan sanitasi. Resolusi itu juga tidak mengikat atau dapat ditegakkan secara hukum, tetapi merupakan katalisator untuk serangkaian perubahan positif yang telah meningkatkan kehidupan jutaan orang.
Pengakuan Hak Atas Lingkungan secara universal diharapkan akan konsisten, sekaligus memperkuat, tindakan yang telah dilakukan oleh banyak Negara dan kawasan, serta dapat menghasilkan manfaat seperti: hukum dan kebijakan lingkungan yang lebih kuat; Peningkatan implementasi dan penegakan; Partisipasi publik yang lebih besar dalam pengambilan keputusan lingkungan; Berkurangnya ketidakadilan lingkungan; Lapangan bermain yang setara dengan hak-hak sosial dan ekonomi; dan kinerja lingkungan yang lebih baik.
Meskipun tidak mengikat secara hukum, (193 Negara Anggota PBB tidak berkewajiban hukum untuk mematuhinya), namun adanya pengakuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara universal diharapkan menjadi katalisator untuk mendorong tindakan dan keberdayaan masyarakat, dalam upaya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.