Ramainya polemik penggunaan aplikasi dalam pembelian bahan bakar minyak bersubsidi Pertalite di tanah air semakin mengukuhkan, bahwa Minyak dan Gas Bumi masih merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Baru-baru ini, pemerintah melalui SKK Migas telah telah menetapkan target produksi minyak 1 juta barel minyak per hari (bopd) pada 2030 mendatang. Karenanya SKK Migas terus mendorong kegiatan pengeboran sumur pengembangan dalam rangka meningkatkan produksi migas nasional.
Tanpa bermaksud menafikan peranan sektor Migas dalam perekonomian nasional, maka patutlah kita mengetahui sisi lainnya dari kegiatan pasca operasi industri minyak dan gas bumi. Sebagai salah satu pertimbangan penting, dalam rangka mencapai produksi Migas berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Abandonment and Site Restoration (ASR) atau yang juga dikenal dengan istilah Plug and Abandonment (P&G) atau decommissioning adalah suatu kegiatan restorasi pasca operasi tambang minyak dan gas bumi. Kompleksitas kegiatan decommissioning atau ASR tidaklah berbeda dengan kegiatan pada proyek konstruksi pengeboran sumur yang baru. Kegiatan ini memiliki risiko tinggi dan umumnya kurang menarik bagi kontraktor dan operator.
Menurut Pedoman Tata Kerja Nomor: PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 (PTK ASR 2018), ASR adalah kegiatan untuk penutupan sumur secara permanen, penghentian pengoperasian dan menghilangkan kemampuan Fasilitas Produksi dan fasilitas penunjang untuk dapat dioperasikan kembali termasuk Pembongkarannya secara permanen, serta melakukan pemulihan lingkungan di wilayah kerja pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Secara global, diperkirakan lebih dari 10.000 anjungan minyak dan gas lepas pantai di seluruh dunia. Sebagian besarnya telah beroperasi selama 15 tahun lamanya. Begitu juga dengan anjungan migas Indonesia, yang telah banyak memasuki masa akhir produksinya. Bahkan semakin meningkat pada periode 2010-2020. Pada tahun 2021, SKK Migas mencatat ada 634 anjungan minyak lepas pantai di seluruh Indonesia. Terdiri dari 527unit masih aktif, 100 unit tidak beroperasi serta yang selesai dinonaktifkan baru mencapai 7 sumur. Kegiatan decommissioning di Indonesia telah semakin meningkat, sehingga SKK Migas berencana menutup banyak fasilitas onshore dan offshore, melalui penyusunan dokumen “Road Map Oil & Gas Decommissioning Indonesia”.
Setiap anjungan biasanya memiliki masa hidup 30 sampai 40 tahun, dan setelah produksi yang dihasilkan tidak dapat menutupi biaya operasi, maka anjungan akan diproyeksikan untuk direstorasi. Diperkirakan terdapat 2000 anjungan lepas pantai di dunia yang dijadwalkan akan dinonaktifkan pada periode tahun 2021-2040. Setiap tahunnya, diperkirakan 120 anjungan akan decommissioning. Kegiatan decommissioning pada anjungan lepas pantai karenanya telah menjadi aktivitas yang semakin banyak dilakukan di seluruh dunia.
Proses decommissioning anjungan minyak lepas pantai itu mahal, rumit, memakan waktu, dan mendorong terbitnya peraturan perundang-undangan nasional dan internasional untuk memastikan terwujudnya perlindungan lingkungan yang optimal. Selain itu, proses dekomisioning melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan kepentingan yang berbeda serta membutuhkan pandangan holistik.
Tak jarang biaya ASR bisa mencapai 25% dari total biaya pengeboran sumur eksplorasi lepas pantai di Norwegia. Bahkan, biaya operasi decommissioning pada beberapa sumur produksi lepas pantai mungkin tak jauh berbeda dengan biaya pada saat pengeboran minyak di awal tahap operasional.
Gambar: Kapal derek terbesar dunia, Pieter Schelte (sekarang Pioneering Spirit), yang berfungsi memasang dan menonaktifkan fasilitas offshore industri minyak dan gas bumi. (BBC)
Menurut laporan IHS Markit, karena aktivitas explorasi dan eksploitasi minyak dan gas telah bergeser ke perairan yang lebih dalam, lingkungan yang lebih keras, dan proyek yang semakin kompleks. Akibatnya operator semakin menghadapi tantangan besar dalam decommissioning, dengan biaya miliaran dolar dan waktu bertahun-tahun. Bahkan, tidak memberikan pengembalian investasi atau pendapatan, tetapi hanya membebankan adanya kewajiban dan tanggung jawab lingkungan.
Secara internasional, dalam rangka perlindungan lingkungan, navigasi, penangkapan ikan dan pengguna laut lainnya, peraturan dan pedoman untuk dekomisioning anjungan lepas pantai telah dikembangkan. Umumnya, pengaturan yang ada berasal dari inisiatif PBB, seperti Konvensi Genewa (1958), UNCLOS (1982) dan Konvensi Basel (1989) serta Konvensi Dumping London (1972). Namun, seiring dengan berkembangnya konvensi, beberapa konvensi/ komisi diselaraskan kembali dengan komisi atau badan khusus baru, seperti IMO atau Komisi OSPAR.
Instrumen lainnya yang dikembangkan oleh organisasi internasional atau organisasi non-pemerintah yang berlaku untuk dekomisioning mengacu pada dokumen seperti standar operator, pedoman badan industri, Bank Dunia, serta Korporasi Keuangan Internasional lainnya, Pedoman EHS, prinsip-prinsip Equator (kerangka manajemen risiko kredit untuk menentukan, menilai, mengelola risiko lingkungan dan sosial dalam transaksi pembiayaan proyek).
Gambar: Kapal derek Iron Lady sedang mengangkut fasilitas offshore industri minyak dan gas bumi. (BBC)
Mengutip Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), apabila dibandingkan pengeboran minyak di darat (onshore), biaya di laut lepas (offshore) bisa lebih mahal. Sehingga wajarlah apabila proses decommissioning sumur onshore rata-rata biayanya tidak sebesar decommissioning sumur offshore. Tetapi masalahnya, jumlah sumur onshore yang dibuat oleh industri migas sangatlah banyak.
Mungkin karena itulah, jumlahnya selama ini cenderung tidak dapat dipastikan atau hanya didasarkan pada perkiraan semata, tanpa adanya pendataan. Sebagai gambarannya, menurut lembaga lingkungan Amerika (US EPA) diperkirakan pada tahun 2018, sekitar 2,1 juta sumur di Amerika yang tidak digunakan untuk produksi, injeksi, atau tujuan lainnya yang tidak direstorasi. Sumur onshore di Blok Rokan di Indonesia misalnya, diperkirakan mencapai 15 ribu sumur, baik eksplorasi dan sumur Plug and Abandonment (P&A).
Sebuah studi terbaru tahun 2021 yang menganalisis data 19.500 sumur menemukan perkiraan rata-rata biaya decommissioning mencapai $20.000 untuk plugging saja dan $76.000 untuk plugging dan reklamasi permukaan. Jadi, apabila ada beban 1.000 sumur decommisioning di Blok Rokan misalnya, maka akan dibutuhkan biaya minimal ($20.000 per/sumur) sebesar 20 juta dollar. Dengan nilai tukar rupiah sebesar 15.000, maka akan dibutuhkan dana minimal, sebesar 300 miliar rupiah untuk proses decommissioning 1.000 sumur di Blok Rokan.
Karena itulah, adanya pendanaan atau kemampuan finasial yang terjamin menjadi upaya untuk memastikan terlaksananya proses decommissioning, sebagai bentuk upaya pemulihan lingkungan hidup. Sebaliknya, tanpa adanya jaminan pendanaan, maka proses decommissioning yang membutuhkan biaya besar, berpotensi tidak dapat terlaksana dan menimbulkan ancaman bagi masyarakat dan lingkungan hidup sekitarnya.
Gambar: Ladang minyak Kern County, di California, yang menggambarkan banyaknya jumlah sumur minyak onshore. (sumber)
Keberadaan sumur yang tidak direstorasi tanpa proses decommissioning adalah ancaman bagi keselamatan manusia, karena keberadaan lubang-lubang tambang yang tidak ditutup secara benar. Sumur tanpa decommissioning juga diketahui berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, seperti pencemaran tanah, air, dan udara.
Selain itu, sumur tanpa decommissioning dapat berubah menjadi jalur aliran permukaan, air asin, atau cairan hidrokarbon sehingga berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Reklamasi pada lokasi sumur yang tidak benar juga dapat berkontribusi pada fragmentasi habitat dan erosi tanah, dan peralatan yang ditinggalkan di lokasi dapat mengganggu penggunaan lahan pertanian dan habitat satwa liar.
Sumur produksi minyak dan gas merupakan salah satu sumber antropogenik gas rumah kaca metana (CH4). Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim telah merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB mulai melacak dan menerbitkan jumlah pencucian metana dari sumur minyak dan gas mereka yang ditinggalkan sebagai salah satu potensi pemanasan global. Meskipun sejauh ini, hanya Amerika Serikat dan Kanada adalah satu-satunya negara yang melakukannya.
Studi EPA memperkirakan, setiap sumur minyak dan gas yang terbengkalai rata-rata mengeluarkan 0,13 ton metana per/tahun. Dalam kasus ekstrim, gas yang bersumber dari sumur dapat menyebabkan ledakan. Sumur minyak di Marina del Rey California Amerika misalnya, yang menyemburkan minyak, gas metan, air, pasir dan lumpur serta ledakan tanggal 11 Januari 2019.
Berdasarkan pemaparan tersebut jelaslah, bahwa aspek pembiayaan dan dampak lingkungan telah menjadi dua pertimbangan utama dalam pelaksanaan proses decommissioning suatu anjungan offshore dan sumur onshore dari industri minyak dan gas bumi.
Gambar: Tangkapan semburan lumpur lapindo melalui Google Earth, dapat memberikan gambaran atas kompleksitas proses dekomisioning dan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari restorasi dan rehabilitasi sumur pascaoperasi milik industri minyak dan gas bumi (Dok. PSLH UGM, 2022)
Pengaturan Kewajiban Decommissioning di Indonesia
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah mewajibkan kepada perusahaan, untuk menjamin upaya pengelolaan lingkungan hidup, melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
Selengkapnya Pasal 40 UU Migas, berbunyi: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik. (2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. (3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.”
Pasal 11 UU Migas juga menyatakan, bahwa salah satu muatan wajib dalam Kontrak Kerja Sama adalah ketentuan kewajiban pascaoperasi pertambangan. Secara explisit UU Migas sesungguhnya telah mengatur secara jelas, adanya kewajiban pasca operasi tambang atau kewajiban untuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup dalam pelaksanaan kontrak kerja sama di bidang usaha migas.
Sedangkan untuk kegiatan offshore, kewajiban pembongkaran instalasi migas lepas pantai bahkan telah diatur sejak tahun 1974, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Di Daerah Lepas Pantai. Selengkapnya Pasal 21 Ayat (1) PP 17 Tahun 1974, berbunyi: “Suatu instalasi pertambangan yang tidak dipakai lagi harus dibongkar seluruhnya dalam jangka waktu yang ditetapkan Direktur Jendral, dengan melakukan tindakan-tindakan yang layak untuk menjamin keamanan pekerjaan dan alur pelayaran”.
Lebih lanjut, menurut Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas, dinyatakan bahwa Kontraktor wajib mengalokasikan dana untuk kegiatan pasca operasi Kegiatan Usaha Hulu, sejak dimulainya masa eksplorasi dan dilaksanakan melalui rencana kerja dan anggaran. Penempatan alokasi dana, disepakati Kontraktor dan Badan Pelaksana dan berfungsi sebagai dana cadangan khusus kegiatan pasca operasi Kegiatan Usaha Hulu di Wilayah Kerja yang bersangkutan.
Kewajiban kontraktor untuk mengalokasikan dana bagi kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu lebih lanjut diatur dalam Surat Keputusan BP Migas Nomor KEP-0139/BP00000/2010/S0 tentang Pedoman Tata Kerja Abandonment and Site Restoration (SK BP MIGAS 2010). Secara explisit, penerbitan SK BP MIGAS 2010 merupakan suatu langkah antisipasi kewajiban pelaksanaan ASR oleh “kontraktor lama” yang nantinya akan meninggalkan fasilitas produksi dan sarana penunjang lainnya. Dimana telah ditegaskan dalam dalam tujuannya, yang berbunyi: “Tujuan diberlakukannya PTK Abandonment and Site Restoration ini adalah sebagai berikut: 1) terlaksananya kegiatan ASR sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku. 2) tersedianya dana yang cukup untuk melakukan kegiatan ASR.”.
Selain itu dalam bagian Menimbangnya, berbunyi:
- bahwa setelah selesainya kegiatan produksi dalam kegiatan usaha hulu migas, kontraktor kontrak kerja sama akan meninggalkan fasilitas produksi dan sarana penunjang lainnya, yang telah digunakan untuk kegiatan produksi, sehingga berpotensi menjadi kendala atau membahayakan kegiatan lain di wilayahnya yang terkait dengan kegiatan transportasi, pertanian, navigasi kelautan, eksplorasi dan penelitian sumber daya alam;
- bahwa untuk menunjang kegiatan pasca operasi diatas, Kontraktor Kontrak Kerja Sama harus melakukan Abandonment terhadap Fasilitas Produksi dan sarana penunjang lainnya yang telah digunakan untuk kegiatan usaha hulu migas, dan Site Restoration terhadap wilayah kegiatan usaha hulu migas pada saat berhentinya produksi
- bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b diatas, dipandang perlu untuk menetapkan Pedoman Tata Kerja Abandonment and Site Restoration dalam suatu Keputusan Kepala BPMIGAS.
Beberapa pengaturan tersebut sesungguhnya telah membebankan kepada operator migas, kewajiban decommissioning pascaoperasi. Secara teknis, saat ini pengaturan decommissioning mengacu pada ketentuan Surat Keputusan SKK Migas PTK 040 Tahun 2018 tentang ASR Revisi 01 Pedoman Abandonment Site Restoration (PTK ASR 2018), yang merevisi SK BP MIGAS 2010.
Pada tahun 2011, penelitian oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) telah menyimpulkan, bahwa dunia internasional berpandangan bahwa prinsip kehati-hatian perlu diterapkan pada tahap decommissioning dan pelaksanaan pendanaan decommissiooning (Dana ASR). Hal ini memberikan konsekuensi adanya perhatian total pada pelaksanaan ASR, jangan sampai instalasi yang mencapai masa operasi diabaikan dan menimbulkan masalah dikemudian hari.
Penyangkalan Tanggung Jawab Pendanaan Decommissioning
Ironisnya, menurut Laporan BPK, ditemukan banyak kontraktor yang belum membayar dana ASR. Selain itu, BPK juga menuding SKK Migas belum memberikan sanksi yang tegas terhadap KKKS yang menunggak pembayaran Dana ASR.
Alasan penyangkalan tanggung jawab pembayaran dana ASR (liability) adalah karena belum diatur dalam kontrak kerjasama (KKS). Padahal, Pasal 40 UU Migas telah explisit mewajibkan perusahaan (kontraktor lama) untuk menjamin pemulihan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan. Apalagi secara explisit UU Migas juga mengatur adanya klausa wajib yang harus dituangkan dalam KKS, dimana menurut Pasal 11 UU Migas, maka ketentuan kewajiban pascaoperasi pertambangan adalah muatan wajib dalam KKS.
Meskipun tidaklah “apple to apple”, namun polemik tersebut mengingatkan kembali adanya ancaman arbitrase Freeport, karena menolak perubahan rezim kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Menurut Hikmahanto Juwana, apabila perusahaan keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, bergantung pada produk hukumnya.
Persoalan tanggung jawab Dana ASR semakin kelabu ketika terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 2018).
Dalam Pasal 17 ayat (2) Permen ESDM 2018 secara explisit menyatakan, bahwa kewajiban untuk melakukan Kegiatan Pasca Operasi dan pencadangan Dana Kegiatan Pasca Operasi dilaksanakan oleh “Kontraktor baru”. Ketentuan Pasal 17 seolah-olah menghapus kewajiban yang seharusnya ditanggung oleh “kontraktor lama” dan mengalihkan kewajiban pasca operasi kepada “kontraktor baru”. Padahal, pada periode 2013 hingga 2021 diperkirakan terdapat 29 kontrak migas di Indonesia yang akan habis masa kontraknya.
Selain itu, ketentuan Pasal 22 Permen ESDM Pasca Operasi ini juga mencabut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2011 tentang Pedoman Teknis Pembongkaran Instalasi Lepas Pantai Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM PascaOperasi Onshore). Padahal Pasal 2 Permen ESDM PascaOperasi Onshore sudah diatur, bahwa Pembongkaran instalasi lepas pantai dilakukan dalam hal instalasi lepas pantai sudah tidak dipergunakan lagi atau akan digunakan kembali untuk kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak dan gas bumi pada tempat lainnya.
Ketentuan Pasal 17 Permen ESDM seolah menepis ketentuan hukum Pasal 40 UU Migas, yang mewajibkan perusahaan (kontraktor lama) untuk menjamin pemulihan atas kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
Ketika berakhirnya KKS, maka pengelolaan suatu wilayah kerja migas yang habis kontrak atau “terminasi” akan beralih kepemilikan kepada pemerintah. Wilayah kerja migas yang masih ekonomis nantinya akan dilelang kembali untuk dikelola oleh kontraktor baru sebagai sumber pendapatan negara.
Peralihan pendanaan ASR tentu akan mempengaruhi nilai ekonomi wilayah kerja. Dana ASR termasuk biaya operasional kegiatan migas, sehingga akan mempengaruhi nilai ekonomis dari suatu wilayah kerja Migas. Akibatnya, bagian keuntungan yang berpotensi diperoleh negara dari lelang wilayah kerja kepada kontraktor baru akan semakin berkurang.
Masalah semakin kompleks, ketika SKK Migas meluncurkan KKS jenis baru yang mengganti skema kontrak kerjasama, yang sebelumnya cost and recovery berubah menjadi skema bagi hasil atau “Gross Split”. Sehingga mengakibatkan beban biaya operasional, termasuk biaya ASR yang sebelumnya ditanggung secara bersama-sama dalam mekanisme “Cost and Recovery”, kemudian dipisahkan (split) dan menjadi tanggung jawab “kontraktor” yang baru.
Sedangkan untuk wilayah kerja yang tidak ekonomis dan menanggung beban Dana ASR, akan menjadi tanggung jawab negara. Sebagai pemilik atas fasilitas Migas “yatim” ini, maka Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembiayaan dana ASRnya. Dalam kasus ini, terlihat adanya peralihan kewajiban biaya pendanaan ASR, dari sebelumnya ditanggung oleh “kontraktor lama” kepada “pemerintah”, pasca terminasi kontrak kerjasama (KKS).
Timbulnya polemik pengelolaan Blok Attaka dan Blok East kalimantan pada periode 2017-2018 adalah akibat yang ditimbulkan dari penyangkalan tanggung jawab Dana ASR oleh Kontraktor lama. Dimana kedua Blok yang sebelumnya dikelola Chevron asal Amerika diserahkan kepada Pertamina, tetapi kemudian dikembalikan oleh PT. Pertamina kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Karena menurut hasil kajian Pertamina, blok tersebut dianggap tidak ekonomis karena ada kewajiban dana ASR, untuk pembongkaran anjungan-anjungan yang ditinggalkan oleh Chevron. Penyangkalan Dana ASR oleh Chevron, kemudian melatar belakangi Pertamina untuk meminta tambahan “Split” kepada pemerintah dalam pengelolaan Blok East Kalimantan.
Konsepsi Dana Jaminan Lingkungan Dalam UUPPLH
Mekanisme dan tata cara pemulihan lingkungan melalui instrumen pendanaan lingkungan hidup, berupa kebijakan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dimana menurut UUPPLH, pendanaan lingkungan adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Terdapat dua konsep pendanaan lingkungan, yaitu: (a) pendanaan yang sifat dan tujuannya sebagai jaminan (guarantee) atau dana yang sifat dan tujuannya untuk didedikasikan kepada lingkungan (environmental dedicated funds). Jika tujuan dan sifatnya jaminan, maka dana tersebut hanya sebagai penjamin agar pelaku usaha atau kegiatan melakukan tindakan pemulihan lingkungan. Jika sifatnya adalah dana dedikasi, maka dana tersebut dikumpulkan dari para penanggungjawab usaha ataupun publik lainnya tanpa harus dikembalikan (terlepas pelaku sudah melakukan upaya pemulihan atau tidak). Dana yang dihimpun tersebut kemudian digunakan atau dikeluarkan untuk upaya pemulihan. Jika dilihat pada Naskah Akademik, tujuan dari pendanaan ini sifatnya adalah sebagai penjamin agar pelaku usaha melakukan tindakan pemulihan dengan frasa “Untuk menjamin pemenuhan tanggungjawab hukum dan kewajiban, Pemerintah dapat menetapkan bentuk dan tata cara penjaminan guna dipenuhinya kewajiban tersebut.”
Baca juga: “Menyoal Dana Penjaminan Lingkungan Hidup”.
Pendanaan Lingkungan Hidup merupakan salah satu Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Pasal 42 dan pasal 43 UUPPLH mengelompokan instrumen ekonomi lingkungan di Indonesia menjadi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. Pendanaan Lingkungan Hidup; dan c. Insentif dan/ atau Disinsentif. Instrumen ekonomi diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PPIELH).
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan beranjak dari pemikiran, bahwa sebagian besar sumber daya alam dan lingkungan hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman hayati atau jasa lingkungan adalah sumber daya milik bersama atau barang publik. Dimana barang publik memiliki karakteristik akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal, dan secara umum dihargai rendah (undervalue). Inilah yang secara ekonomi diyakini menjadi biang keladi terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, yang oleh Garret Hardin diistilahkan dengan “tragedy of commons”.
Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan memunculka,n yang para ekonom sebut eksternalitas, baik positif ataupun negatif. Melalui instrumen ekonomi mendorong agar seluruh biaya lingkungan, berupa biaya dan/atau potensi biaya yang akan timbul akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (externalitas negatif) secara ekonomi diperhitungkan ke dalam biaya produksi suatu kegiatan. Suatu hal yang diistilahkan oleh para ekonom dengan “internalisasi externalitas”. Tujuannya agar menekan pemanfaatan yang tidak terkendali melalui privatisasi sumber daya alam dan lingkungan, kepada mereka yang mau mengeluarkan biaya lingkungan untuk langkah-langkah pencegahan, penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Konsep ekonomi lingkungan yang terkandung dalam UUPPLH diartikulasikan dalam “asas pencemar membayar”, sebagai landasan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Prinsip Pencemar membayar (PPP) menimbulkan akibat kepada setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Secara eksplisit yang dimaksud pencemar adalah penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan Hal tersebut terkait dengan persetujuan lingkungan (dahulu izin lingkungan atau persetujuan dokumen lingkungan hidup) suatu usaha dan/ atau kegiatan yang terkait.
Sehingga dalam konteks ekonomi lingkungan dapatlah dijelaskan, bahwa proses produksi Migas yang tidak memasukan biaya ASR untuk restorasi dan rehabilitasi lahan telah menimbulkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Sehingga kontraktor diuntungkan karena biaya produksi Migasnya menjadi lebih murah. Sehingga memudahkannya memenangkan persaingan usaha, dengan kontraktor Migas lainnya yang memasukan Dana ASR dalam biaya produksinya. Potensi keuntungan yang diperoleh menjadi lebih besar, daripada kontraktor yang menginternalisasi eksternalitas negatif (biaya ASR) dalam proses produksi Migasnya.
Sisi abu-abu Industri Migas nasional terwujud ketika biaya eksternal seperti Dana ASR tersebut tidak terinternalisasikan dalam biaya produksi Migas. Nilai ekonomi Migas seharusnya telah mengintegrasikan biaya lingkungan, mencakup biaya-biaya untuk mencegah, menanggulangi atau memulihkan dampak lingkungan yang ditimbulkannya (termasuk Dana ASR). Sehingga harga Migas yang akan dijual ke konsumen (pasar) telah menginternalisasikan eksternalitas negatif akibat kegiatan Industri Migas. Selama biaya lingkungan tetap tersembunyi (tidak diinternalisasi), maka pasar akan bereaksi terhadap sinyal harga yang terdistorsi dan membuat pilihan ekonomi yang tidak efisien.
Konsep “Pembangunan Berkelanjutan” tidak mungkin dimaknai dengan kegiatan pertambangan yang meninggalkan sumur-sumur terbengkalai, tanpa decommissioning atau langkah-langkah restorasi dan rehabilitasi pasca operasi tambang.
Mudah dibuktikan, kiranya seluruh perusahaan minyak dan gas multinasional selalu memberikan klaim atas komitmen atau visi dan misi terhadap perlindungan lingkungan dan keberkelanjutan. Karena umumnya perusahaan selalu menampilkan visi dan misi lingkungan tersebut dalam laporan keberlanjutan perusahaan atau pada situs resmi perusahaan.
Sudah seharusnya perusahaan multinasional membuktikan visi dan misi keberlanjutan melalui praktik terbaik (best practices) dalam kegiatan eksploitasi migas di Indonesia. Bukan malah menyangkal kewajiban decommissioning dan menolak untuk membayar Dana ASR setelah kontrak kerjasama berakhir.
Pemerintah sebaiknya mengumumkan secara gamblang, perusahaan mana yang dalam proses terminasi menolak untuk melaksanakanan decommissioning. Informasi audit lingkungan kepada Chevron Pacific Indonesia saat terminasi Blok Rokan misalnya, seharusnya diungkapkan kepada seluruh stakeholders. Pengungkapan informasi sesungguhnya dapat memberikan tekanan “liability” dan “responsibility” perusahaan terkait praktik eksploitasi minyak dan gas bumi yang tidak berkelanjutan. Praktik eksploitasi yang akan mewariskan beban sumur-sumur tanpa decommissioning kepada generasi yang akan datang. Ironis…