PAMERAN VIRTUAL

PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN HULU-HILIR

Latar Belakang

  1. Dalam 50 tahun terakhir jenis/komposisi sampah berubah: % anorganik (plastic) meningkat (saat ini mencapai 30-50%)
  2. Plastik tidak bisa diurai (butuh waktu > 300 tahun)
  3. Faktor urbanisasi -> permukiman padat, tidak memiliki ruang/lahan untuk pengelolaan sampah mandiri
  4. Gaya hidup -> produksi sampah per orang meningkat (sesuai peningatan GDP-pendapatan per kapita), dari 0.6 kg/orang/hari -> menjadi 1.0 kg -> artinya volume sampah meningkat.

Permasalahan Jumlah Timbunan Sampah yang Semakin Meningkat

Masyarakat menghasilkan timbulan sampah yang semakin besar setiap tahunnya. Tahun 2021 diperkirakan timbulan sampah mencapai 68,5 juta ton.

Permasalahan Perubahan Jenis dan Komposisi Sampah yang Dihasilkan

  • Gaya hidup -> produksi sampah per orang meningkat (sesuai peningatan GDP-pendapatan per kapita), dari 0.6 kg/orang/hari -> menjadi 1.0 kg -> artinya volume sampah meningkat. Gaya hidup juga erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan ekonomi (GDP) terutama di perkotaan akan mempengaruhi komposisi sampah terutama sampah kemasan plastik makanan yang diperkirakan akan meningkat jika tidak diimbangi dengan peraturan yang melarang penggunaan plastik.
  • Gaya hidup yang serba praktis. Akibatnya jenis timbulan sampah anorganik, seperti plastik cenderung semakin besar. Sedangkan sampah organik semakin menurun. Pada Tahun 2010 timbulan sampah plastik hanya 11 persen dari total timbulan sampah nasional, terus meningkat menjadi 17 persen atau sekitar 11,6 Juta Ton pada tahun 2021.
  • Gaya Hidup. Selain itu, menurut Direktur Pengurangan Sampah KLHK, mengungkapkan bahwa sebanyak 72 persen masyarakat tidak peduli sampah. Hal tersebut menggambarkan perilaku ketidakpedulian terhadap lingkungan di Indonesia masih rendah.

Solusi

  • Buy The Service

Pengangkutan sampah adalah bentuk layanan jasa, yang dapat dialihkan dari pemerintah kepada pihak swasta, sehingga dapat meringankan beban pemerintah. Penyediaan kendaraan pengangkut sampah misalnya, dapat memanfaatkan investasi swasta melalui skema penawaran yang memungkinkan pihak swasta mendapatkan kembali modalnya.

Begitupula dengan penyediaan wadah sampah yang dihasilkan oleh masyarakat atau fasilitas Tempat Penampungan Sementara (TPS) Sampah.

 

  • Pay As You Throw

Mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Besar dan kecilnya biaya pembuangan sampah oleh masyarakat disesuaikan dengan volume timbulan sampah yang dihasilkannya. Jika volumenya sedikit maka biayanya sedikit, dan jika sampah yang dibuang banyak maka biayanya juga lebih besar. Hal tersebut juga mencerminkan keadilan bagi masyarakat yang lebih sedikit menghasilkan timbulan sampah dan menanggung biaya sama besar dengan masyarakat yang menghasilkan timbulan sampah yang lebih besar.

Perlu edukasi kepada masyarakat, sampai level rumah tangga. Setiap Rumah Tangga harus diberikan edukasi tentang pengelolaan sampah, seperti pemilahan sampah, pemanfaatan sampah, 3R (reduce, recycle dan reuse), pengomposan dan nilai ekonomi sampah. Sehingga setiap rumah tangga yang ingin menghemat pengeluaran (sampah) dengan menekan timbulan sampah yang dihasilkannya, dapat melakukan berbagai upaya untuk mengurangi timbulan sampah yang dihasilkannya. Apabila sebelumnya enggan untuk membuat kompos, sekarang masyarakat dapat didorong untuk belajar dan mengimplementasikan pengomposan. Masyarakat juga dapat mulai menerapkan 3R, agar memungkinkan adanya pemilahan sampah. Sehingga sampah yang masih memiliki nilai ekonomi, seperti plastik atau kertas dapat dikumpulkan secara mandiri, untuk kemudian diambil atau dikelola oleh para pengolah/ pengepul sampah.

Mendorong Penegakan hukum. Lembaga legislatif (Dewan/DPRD) dan pemerintah dapat menyusun Peraturan Daerah, yang dapat mengedukasi masyarakat serta mendorong peran serta masyarakat. Tercakup di dalamnya pengaturan tarif, denda atau sanksi. Misalnya bagi mereka yang membuang sampah secara illegal dapat dipidanakan. Tentang tarif, mungkin perlu ada PP atau Kepmen Keuangan.

Tujuan utamanya adalah menekan timbulan sampah yang berakhir di TPST (residu akhir).

 

  • Mendayagunakan Tempat Pengolahan Sampah terpadu (TPST)

Sampah plastik tidak dapat terurai/ terdekomposisi. Komposisi timbulan sampah plastik yang semakin besar diserta sifat sampah plastik yang tidak dapat diurai atau terdekomposisi, mengakibatkan sampah di TPST tidak dapat dikelola dengan sistem penimbunan dan penumpukan sampah organik dengan tanah (sanitary landfill).

TPST harus mengelola sampah non organik yang dihasilkan, seperti plastik dan kertas secara terpisah dengan sampah organik yang dapat dikelola dengan sistem sanitary landfill.

Sampah anorganik dengan kondisi kering dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar.

Misalnya TPST Piyungan dapat disiapkan untuk membuat semacam ‘gudang’ yang intinya agar sampah yang datang tidak kehujanan, tetapi sampah yang datang juga harus ditreatment sehingga kadar air menjadi rencah, sampah dicacah, dipres, diangin-anginkan dengan coveyor belt. Jika sampah telah memenuhi syarat kendungan air <25%, maka sampah ini siap dijadikan bahan bakar, misalnya untuk co-firing PLTU atau mau bikin WtoE untuk menghasilkan listrik.

Apabila memiliki incinerator sendiri, maka sampah plastik dan kerta yang “kering” dapat dibakar sendiri, dan dapat menghasilkan listrik, termasuk membakar sampah lama yang tertumpuk. Sekaligus dapat digunakan untuk memusnahkan B3. Namun perlu diingat bahwa, diperlukan system dan teknologi yang dapat memastikan gas buang yang dihasilkan harus memenuhi baku mutu emisi udara yang baik.

  • Bijak Kelola Sampah.

Pendekatan sistem kumpul-angkut-buang berubah menjadi Bijak kelola sampahSecara umum pola penanganan sampah di Indonesia yang dikenal selama ini hanya melalui tahapan paling sederhana, yaitu kumpul, angkut, dan buang (KLHK). Sehingga sampah menumpuk di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS).

Peran serta seluruh stakeholders. Peranan seluruh stakeholders, baik pemerintah melalui edukasi; penegakan hukum dan pendayagunaan TPST, swasta melalui penyediaan investasi (buy the service) dan perubahan gaya hidup oleh masyarakat (Pay as You Throw).

 

KEDAIREKA

Pengembangan Sistem Pengelolaan Mutu Air Real Time dalam Pengambilan Keputusan Persetujuan Lingkungan

LATAR BELAKANG

Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, pemberian ijin usaha (oleh pemerintah) dilakukan berdasarkan kajian resiko. Perijinan dasar diberikan berdasarkan kesesuaian dengan tata ruang (RTRW/RDTR). Dalam ketentuan perundang-undangan, persetujuan lingkungan diintegrasikan dengan perizinan berusaha. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagaimana ketentuan UU PPLH tetap ada untuk kegiatan usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan. Sebelum ada UUCK, ada beberapa ijin yang harus dioperoleh bagi penyelenggara usaha/kegiatan. Hal ini akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, dan menjadikan daya tarik investasi menjadi rendah. Ada peluang terjadinya mis-conduct dalam pengurusan ijin ini, dan menjurus pada paktik KKN. Saat ini, AMDAL tetap menjadi prasyarat pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha atau kegiatan sebagaimana diaturdalam PP 22/2021. AMDAl akan memberikan rekomendasi berupa kelayakan lingkungan, sehingga ijin usaha dapat dikeluarkan. Proses pemberian ijin harus cepat sebagai amanah UUCK, sehingga daya saing investasi menjadi tinggi. Kecepatan mengambil keputusan merupakan tolok ukur keberhasilan implementasi UUCK. Saat ini pemerintah berkomitmen meningkatkan investasi pembangunan agar tidak kehilangan momentum dan peluang Indonesia dalam kancah peradaban dunia. Melemahnya hegemoni barat, munculnya Cina sebagai kekuatan ekonomi baru, perang Rusia-Ukraina, Pandemi Covid-19, bonus demografi bagi Indonesia merupakan momentum yang tidak bisa diskenariokan. Leave it atau take it. Kecepatan pengambilan keputusan merupakan merupakan tolok ukur utama. Untuk mengakomodasi kecepatan pengambilan keputusan pemberian rekomendasi lingkungan harus dibuat sistem real-time yang dapat diakses oleh pelaku usaha. Pada dasarnya ada tiga aspek dampak negatif terhadap lingkungan, yakni pencemaran air, pencemaran udara dan tekanan terhadap lahan. Sistem informasi lingkungan berbasis spasio-temporal merupakan data dasar sebagai data rona lingkungan awal untuk menentukan diterima/ditolak rekomendasi lingkungan berdasarkan carying capasity dan baku mutu yang ditetapkan. Dengan demikian saat itu juga kepastian pemberian ijin usaha/kegiatan dapat diperoleh. Di antara ketiga gatra/aspek, yang paling signifikan dampaknya adalah pencemaran terhadap perairan. Oleh karenanya sistem ini dikembangkan untuk pemantauan terhadap pencemaran air.

PERMASALAHAN

Perijian berusaha sesuai ketentuan perundang-undangan, harus mengacu pada persetujuan lingkungan. Kegiatan/usaha pada dasarnya adalah suatu sistem produksi yang menghasilkan manfaat dan menghasilkan limbah. Limbah yang dihasilkan harus dapat dikelola sedemikian rupa sesuai baku mutu yang ditentukan, sehingga tidak mencemari lingkungan. Jika suatu usaha/kegiatan akan membuang limbah cair ke lingkungan, maka harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung (carrying capacity) kualitas air pada wilayah kegiatan tersebut akan dilakukan. Daya dukung daya tampung kualitas air suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan analisis data seri beberapa parameter kualitas air (status mutu), terhadap nilai baku mutu yang ditentukan. Ijin usaha diberikan jika hasil kajian limbah cair usaha/kegiatan masih dapat ditampung oleh lingkungan pada daerah tersebut yang dibuktikan dengan surat persetujuan lingkungan. Perkiraan limbah cair hasil usaha dihitung berdasarkan algoritma neraca masa untuk suatu jenis kegiatan. Sistem ini akan dipakai oleh calon investor/pengusaha untuk mengetahui apakah masih ada peluang mendapatkan persetujuan lingkungan bagi usahanya pada daerah tersebut. Sistem ini akan membantu proses perijinan, sehingga menjadi daya tarik berinvestasi sekaligus memangkas birokrasi perijinan. Sistem ini belum memiliki HKI.

ROADMAP RISET

Setiap usaha/kegiatan wajib AMDAL yang menghasilkan limbah cair wajib menyertakan persetujuan teknis pembuangan atau pengelolaan limbah. Pada dasarnya limbah cair yang dihasilkan dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mencemari lingkungan. Hal tersebut tergantung pada karakteristik limbah, volume limbah, serta kemampuan badan air menerima limbah. Limbah cair dapat dibuang ke sungai, dimanfaatkan kembali, diinjeksikan ke sistem akuifer air tanah, dan diresapkan pada tanah. Untuk masing-masing cara pembuangan/pemanfaatan ini diatur sesuai standar teknis atau kajian teknis tertentu. Pada kenyataannya, sebagian besar limbah cair hasil suatu produksi dibuang ke badan air (sungai, danau). Hal ini karena prosesnya yang paling murah dan mudah, serta tidak terlalu membebani ongkos produksi. Selama ini kemampuan badan air menerima limbah didasarkan pada baku mutu air kelas 2. Ketentuan tersebut dikarenakan tidak cukup data pengukuran kualitas air secara periodik, sehingga tidak diketahui status mutu badan airnya. Padahal, mungkin suatu wilayah memiliki kelas mutu masuk katagori pada kelas 1, atau bisa jadi suatu wilayah ternyata telah masuk katagori kelas 3 atau bahkan kelas 4. Jika ini terjadi maka alokasi beban pencemar bagi usaha kegiatan yang diberi ijin tidak sesuai dengan daya dukung daya tampung lingkungan. Hal ini sudah barang tentu akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari terkait dengan pencemaran lingkungan. Berdasarkan ketentuan UU 32/2009 tentang PPLH, maka maka setiap usaha kegiatan yang telah memiliki ijin (persetujuan) lingkungan (AMDAL/UKL-UPL), wajib secara periodik melaporkan hasil pemantauan lingkungan setiap 6 bulan melalui mekanisme RKL-RPL. Data-data hasil pelaporan ini sesungguhnya dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kekinian kualitas lingkungan secara spasial khususnya kualitas air permukaan. Kondisi lingkungan berdasarkan data-data laporan lingkungan secara akumulatif spatio-temporal sesungguhnya merupakan kondisi rona lingkungan kekinian (state of the art). Namun kenyataannya, potensi data yang terkumpul ini belum termanfaatkan dengan baik. Data-data kualitas air tersebut lazimnya diambil pada penggal-penggal sungai, termasuk outfall limbah cair suatu usaha/kegiatan. Kajian spasial kualitas air permukaan didasarkan pada konsep sistem jaringan sungai. Pada Gambar 1 disajikan peta jalan permasalahan perijinan usaha/kegiatan berbasis risiko lingkungan, hingga pentingnya usulan kegiatan ini diajukan. PSLH UGM telah melakukan kerjasama dengan Direktorat PPA untuk menyusun prototipe SMART (Sistem Monitoring Air Real Time) yang diselenggarakan tahun 2021. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sistem yang lebih komprehensif, terutama penyediaan data kualitas air pada penggal-penggal sungai atau DAS, sistem pelaporan kualitas air secara on-line, integrasi data berbasis webGIS. Sistem ini akan diimplementasikan untuk seluruh wilayah DAS se Indonesia secara bertahap berdasarkan nilai GDP (gross domestic product) masing-masing daerah (kabupaten/kota atau provinsi), dimulai dari GDP yang besar. Daerah dengan GDP besar diasumsikan memiliki proses pembangunan yang intensif dan sekaligus berpotensi penghasilkan limbah pencemar yang tinggi pula. Mengkaji tentang fakta-fakta tersebut sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini melingkupi beberapa hal, yakni: 1) Menyusun basis data kualitas air permukaan berdasarkan pelaporan RKL-RPL usaha kegiatan yang dikumpulkan setiap 6 bulan (semester), dan data-data pemantauan kualitas air yang dilakukan institusi PUPR/BBWS, BUMN PT. Jasatirta, serta institusi lainnya. Pelaporan dilakukan secara online dan ditampung secara terintegrasi dalam sistem basis data terpusat. Daerah-daerah (provinsi, kabupaten/kota) akan mendapakan miror/slave data sesuai kewenangannya. 2) Melengkapi data-data kualitas air permukaan yang kosong secara spasial, dengan memasang sistem pemantauan telemetri, sehingga penggambaran kualitas air permukaan menjadi lebih rinci untuk mengakomodasi pemberian persetujuan lingkungan baru berdasarkan daya dukung lingkungannya. Data-data kualitas air ini digunakan untuk menentukan status mutu lingkungan. Status mutu air ini selanjutnya dapat dipakai pemerintah daerah/provinsi dan pusat untuk menentukan status mutu sungai. 3) Mengembangkan interface berbasis web gis untuk mengakomodasi pemohon ijin usaha baru, apakah suatu jenis usaha dengan kapasitas produksi tertentu pada suatu lokasi masih diijinkan (persetujuan lingkungan). Sistem ini akan merespon secara real time, sehingga akan bermanfaat bagi investor untuk melanjutkan/tidak melanjutkan rencana kegiatannya secara lebih cepat.

METODE

Pengembangan sistem real time perijinan berusaha berbasis daya dukung daya tampung kualitas air permukaan dilakukan dengan tahapan-tahapan metode sebagai berikut: 1) Menentukan daerah kajian dengan mengakomodasi batas administrasi (kabupaten/kota, provinsi) dan batas DAS (daerah aliran sungai), serta inventarisasi data-data kualitas air secara seri hasil pelaporan RKL-RPL dari perusahaan-perusahaan atau usaha/kegiatan. Inventarisasi data-data ini melibatkan berbagai stakeholder seperti DHL kabupaten/kota, DHL provinsi dan Kementerian LHK, serta melibatkan mahasiswa. Penentuan batas administrsi berkaitan dengan kewenangan daerah (DLH – Dinas Lingkungan Hidup) mengelola pelaporan RKL-RPL yang ada pada suatu wilayah administrasi tertentu. Tidak menutup kemungkinan suatu kegiatan/usaha menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kementerian LHK), sehingga pelibatan kementerian menjadi sangat penting. 2) Ploting data kualitas air secara spatial. Validasi lokasi di lapangan dan kualitas air berdasarkan pengambilan sampel kualitas air sesaat. Pemetaan kondisi status mutu lingkungan berdasarkan jaringan sungai dan penggal sungai. Status mutu kualitas air dihitung berdasarkan nilai Indeks Pencemar. Penggal sungai ditentukan berdasarkan karakteristik morfometri sungai yang homogen dan kelas kualitas air, serta mempertimbangkan penggunaan lahan pada kawasan subDAS. Pekerjaan ini dilakukan oleh peneliti dari perguruan tinggi. 3) Ploting data tata ruang (RTRW/RDTR) terhadap wilayah DAS kajian. Zonasi tata ruang menjadi penting karena akan tampak bahwa lokasi rencana kegiatan/usaha berada pada zona yang sesuai atau tidak. Jika usulan letak/lokasi rencana kegiatan/usaha tidak sesuai, maka usulan perijinan tersebut ditolak, tanpa terlebih dulu melakukan kajian daya dukung lingkungannya. 4) Membangun interface berbasis webGIS. Fungsi interface (yang dapat diakses secara online) ini adalah mengarahkan user (calon investor) untuk mengisi data dasar seperti rencana lokasi (koordinat rencana usaha/kegiatan), jenis kegiatan/usaha berdasarkan daftar KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia), rencana kapasitas produksi, rencana lokasi pembuangan limbah (outfall) pada penggal sungai terdekat. Berdasarkan jenis usaha/kegiatan dan kapasitas produksi maka dapat diduga secara empiris beban limbah yang akan dihasilkan. Berdasarkan beban limbah yang dihasilkan dan status daya dukung lingkungan (kelas mutu air), maka dapat ditentukan daya tampung lingkungan. Jika daya tampung masih mencukupi, maka rencana usaha/kegiatan tersebut dapat diberikan ijin. Begitu ijin diberikan, maka secepatnya (dalam kurun kurang dari sehari) kelengkapan data-data dan persyaratan yang lain harus diunggah. Jika tidak dilakukan, maka calon pemohon ijin usaha/kegiatan dianggap membatalkan permohonan ijin. Dengan demikian, calon pemohon ijin usaha/kegiatan lain dapat mengusulkan permohonan ijin. Jumlah pemohon ijin yang diberi ijin tergantung pada kuota daya tampung lingkungan yang ada. 5) Uji coba implementasi (try out). Dalam tahap ini dilakaukan integrasi basis data (dari server Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan sistem perolehan data online (berbasis GSM/internet) dalam penelitian ini, serta data-data seri kualitas air yang telah dikumpulkan (dari DLH, institusi lain yang relevan). Kajian untuk mengintegrasikan sistem online (sistem ekisting misalnya Onlimo-KLHK/Sparing) dengan sistem real time yang dibangun ini. Sistem perolehan data online (Onlimo-KLHK dan Sparing) yang telah ada diintegrasikan dengan sistem real time ini. Untuk itu harus melibatkan berbagai pihak, terutama pengelola data di KLHK (administrator basis data) serta beberapa perusahaan yang telah menerapkan sistem online.

PURWARUPA HASIL

1. Sistem Informasi berbasis WEBGis yang berisi lokasi kegiatan/usaha sesuai kode KBLI. 2. Status rona lingkungan spatio-temporal berdasarkan data pelaporan lingkungan, system telemetri (Sparing, Onlimo, dan system lainnya) 3. Sistem interaktif real-time untuk memberikan rekomendasi lingkungan bagi pengusulan usaha/kegiatan baru sesuai KBLI dan rencana kapasitas produksi, termasuk persetujuan teknis (standar/kajian). 4. Sistem terintegrasi dengan amdal-net, system pelaporan lingkungan dan OSS untuk pengurusan ijin usaha/kegiatan.