Apakah anda pernah merasakan kesulitan ketika hendak memperbaiki barang elektronik yang tiba-tiba mengalami kerusakan? Bahkan, ketika barang tersebut masih memiliki “garansi”, masih terasa keresahan saat memperbaiki kerusakannya, antara lain karena ketidakjelasan informasi tentang ketentuan garansi, lokasi perbaikan, pemeriksaan kerusakan, dan ketidakjelasan proses serta lamanya waktu perbaikan.
Terlebih lagi, ketentuan garansi dibarengi larangan kepada konsumen untuk melepas “seal” garansi. Akibatnya konsumen tidak dapat mengetahui kerusakan yang terjadi. Selain itu, konsumen hanya dapat memperbaiki di tempat yang ditujuk produsen sebagai distributor resmi. Sedangkan untuk yang tidak bergaransi, maka jasa reparasi profesional cenderung kesulitan memperoleh spare part yang dibutuhkan untuk memperbaiki produk elektronik. Diketahui, hampir seluruh produsen dari berbagai macam produk elektronik telah mempersulit komsumen untuk memperbaiki produknya, misalnya dengan membatasi ketersediaan suku cadang atau dengan melarang siapa yang boleh memperbaiki produk yang dijualnya.[i].
Ketiadaan atau ketidakjelasan informasi dan peluang perbaikan yang diderita oleh konsumen telah memberikan rasa putus asa untuk memperbaiki barang elektronik yang rusak. Apalagi selama ini biaya perbaikan produk lama umumnya sangat mahal, karena kelangkaan atau ketiadaan dan jikalau pun ada, maka harga spare part yang dijual di pasaran cenderung mahal. Sehingga mengakibatkan konsumen cenderung berpikir, bahwa perbaikan barang elektronik miliknya adalah proses yang membuang-buang waktu semata.
Konsumen seolah didorong agar mengambil keputusan, untuk membeli barang elektronik yang baru. Ada kesan, sikap penjual barang elektronik tidak pernah peduli kepada konsumen, seperti berapa tahun masa pakai dan langkah-langkah perbaikan yang dapat ditempuh konsumen untuk memperbaiki produk yang telah dijualnya. Rangkaian peristiwa tersebut kemudian dapat disebut dengan istilah, yaitu “planned obsolescence” atau keusangan yang disengaja oleh produsen elektronik.
Dampak Negatif Sampah Elektronik Terhadap Lingkungan
Selain kerugian ekonomi yang diderita konsumen, dampak negatif lain yang ditimbulkan dari sikap distributor dan produsen elektronik adalah semakin meningkatnya penggunaan sumber daya yang kemudian diiringi dengan timbulan sampah elektronik yang dihasilkan.
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik (PPPSS), barang elektronik yang tidak digunakan lagi adalah barang elektronik dan/ atau elektrikal yang biasanya dioperasikan dengan baterai atau listrik yang sudah tidak terpakai atau dibuang oleh pemilik terakhirnya. Sampah elektronik dan elektrikal antara lain baterai kering, video kaset recorder, antena, pemutar DVD, alat komunikasi, personal computer, laptop, stereo system, faxsimili, printer, kipas angin, mesin pembersih udara, mixer, mesin pembuat roti, pemanggang roti, mesin cuci, AC televisi, lampu, dan setrika. Lebih lanjut menurut PPPSS, sampah elektronik adalah salah satu jenis sampah spesifik, yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).[ii]
Foto: Sampah Elektronik di Sekitar Kita (Dok. PSLH UGM)
Pada awalnya, perhatian atas dampak lingkungan dari produk elektronik adalah lamanya masa pakai atau kebutuhan energi saat konsumen menggunakan produk. Setelah tekhnologi elektronik semakin maju, yang menggunakan semakin banyak sumber daya, perhatian bergeser dari tahap “penggunaan” ke tahap “produksi” dan “ekstraksi sumber daya material”. Mengingat tantangan ekstraksi sumber daya, manufaktur, dan pemulihan sumber daya (end of life/ EOL), penggunaan energi tidak lagi menjadi faktor terpenting dalam siklus hidup produk modern seperti smartphone. Ekstraksi sumber daya, khususnya material logam (emas, paladium, dan kobalt) untuk membuat produk elektronik, yang diperoleh melalui penambangan. Ini berarti penggunaan sumber daya lahan, air dan energi, serta potensi masalah sosial ekonomi lainnya, seperti bahaya kesehatan, hak asasi manusia, dan konflik yang terkait dengan proses penambangan.[iii]
Selain itu racun yang digunakan dalam manufaktur (sebagai input perantara) juga dapat meninggalkan jejak toksisitas yang panjang. Misalnya, gas rumah kaca berfluorinasi, yang digunakan dalam pembuatan layar LCD panel datar, melibatkan bahan kimia dengan masa pakai atmosfer lebih dari 3.000 tahun dan potensi pemanasan global ribuan kali lebih banyak daripada CO2. Pembuatan chip dan semikonduktor menggunakan berbagai bahan kimia, termasuk bahan kimia organik yang mudah menguap. Dengan minimnya panduan kebijakan dan infrastruktur pemrosesan yang tepat, praktik daur ulang limbah elektronik yang belum sempurna dapat menyebabkan kerusakan serius. Bahkan negara-negara industri dengan limbah yang sudah mapan.
Masalah pengelolaan limbah elektronik bagi negara-negara dengan sedikit industri yang tidak memiliki infrastruktur pengelolaan limbah yang tepat juga semakin mendesak. Pendaur ulang informal, yang beroperasi dalam kondisi kerja di bawah standar, adalah pemain utama di banyak negara berkembang. Lokasi daur ulang khusus limbah elektronik yang terkenal di Agbogbloshie, Ghana dan Guiyu, Cina adalah contoh ekstrem dari daur ulang limbah elektronik yang tidak tepat yang mengakibatkan polusi udara, air, dan tanah yang parah.[iv]
Menurut ketentuan PPPSS, Sampah Elektronik merupakan salah satu jenis sampah spesifik yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Secara explisit ketentuan PPPSS telah mendefinisikan, Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Saat ini menurut laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020 yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah sampah elektronik pada tahun 2019 mencapai 53 juta ton. Diprediksi jumlah sampah elektronik akan mencapai 74 juta ton pada tahun 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada tahun 2050.[v] Ironisnya, hanya 17,4% dari limbah elektronik yang mengandung campuran zat berbahaya dan bahan berharga ini dapat dikumpulkan, diolah dan didaur ulang secara baik dan benar.
Sedangkan di Indonesia, menurut PBB menghasilkan sekitar 1,6 juta ton (1,618) sampah elektronik pada tahun 2019.[vi] Lebih lanjut menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Ditjen PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperkirakan timbulan sampah elektronik pada tahun 2021 telah mencapai 2 juta ton.[vii]
Volume atau jumlah sampah elektronik (e-waste) yang dihasilkan telah meningkat semakin pesat, yang diperparah dengan ekspor ilegal dan donasi peralatan elektronik yang tidak tepat, terutama komputer, dari negara maju ke negara berkembang. Sedikitnya 25% limbah elektronik didaur ulang di pusat daur ulang formal dengan perlindungan pekerja yang memadai. Konsekuensi kesehatan dari paparan langsung selama daur ulang dan paparan tidak langsung melalui kontaminasi lingkungan berpotensi parah, sayangnya masih kurang dipelajari. Meskipun kerangka kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat yang rentan telah tersedia, namun pada kenyataanya tidak diterapkan secara efektif.[viii]
Hak Untuk Memperbaiki Produk Elektronik Oleh Konsumen
Pada tanggal 8 Juni 2020, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Menurut ketentuannya, Sampah Elektronik merupakan sampah spesifik yang mengandung B3. Sehingga berbahaya bagi manusia dan lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Besarnya timbulan sampah elektronik yang dihasilkan memerlukan upaya-upaya pengurangan dan penanganan sampah elektronik secara terintegrasi yang melibatkan seluruh pihak atau stakeholder terkait.
Pengurangan sampah elektronik dilaksanakan dengan langkah, yaitu a. pembatasan timbulan Sampah Spesifik; b. pendauran ulang Sampah Spesifik; dan/atau c. pemanfaatan kembali Sampah Spesifik. Sedangkan penanganan sampah elektronik dilaksanakan dengan: a. pemilahan; b. pengumpulan; c. pengangkutan; d. pengolahan; dan/atau e. pemrosesan akhir Sampah.
Salah satu upaya pembatasan timbulan sampah elektronik adalah dengan mengatur “Hak untuk memperbaiki” dengan tujuan menekan volume timbulan sampah oleh konsumen. Meningkatnya kemampuan konsumen memperbaiki produk elektronik dapat meminimalisir pembelian produk elektronik yang baru. Sehingga konsumen tidak menghasilkan produk elektronik bekas pakai, yang apabila tidak dimanfaatkan berubah menjadi timbulan sampah elektronik.
Semakin tinggi besaran sampah elektronik yang dihasilkan tentunya akan diiringi dengan semakin besarnya potensi dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap manusia dan lingkungan hidup. Keadaan tersebut akan diikuti dengan semakin besarnya sumber daya yang harus diberdayakan untuk mengelola sampah yang dihasilkan secara baik dan benar. Selain itu, semakin banyak sampah elektronik yang dihasilkan tentunya juga diiringi dengan semakin banyaknya produk yang dibuat. Akibatnya sumber daya yang pergunakan untuk menghasilkan suatu produk turut meningkat sesuai kebutuhannya. Inilah inti permasalahan pengelolaan sampah elektronik yang dihadapi saat ini.
Sebagai acuan untuk menjadi perbandingan, pada tanggal 1 Juli 2021 Negara Inggris telah memperkenalkan pengaturan tentang “hak untuk memperbaiki” dalam The Ecodesign for Energy-Related Products and Energy Information Regulations 2021 (SI 2021 No. 745), yang bertujuan untuk meminimalisir risiko dibuangnya produk elektronik yang tidak efisien sehingga meningkatkan timbulan sampah elektronik. Pengaturan ini juga mengharuskan produsen elektronik untuk menyediakan suku cadang kepada pelanggan dan wajib membuka informasi dan akses perbaikan produk elektronik kepada jasa reparasi profesional.[ix] Patut diketahui, selama ini jasa perbaikan produk elektronik profesional sangat kesulitan untuk memperbaiki produk elektronik, karena keterbatasan informasi dan akses spare part dari produsen kepada penyedia jasa perbaikan produk elektronik.[x]
Pengaturan hak untuk memperbaiki di Inggris juga selaras dengan perkembangan pengaturan yang telah berlangsung di di Uni Eropa dan Amerika.[xi] Eropa misalnya, sejak Maret 2021, uni eropa telah mengharuskan produsen untuk membuat perangkat dengan cara yang memudahkan perbaikan dan menyediakan suku cadang pada “kondisi pasar yang wajar”. Komisi Eropa juga telah mengumumkan rencana untuk aturan hak-untuk-perbaikan untuk smartphone, tablet dan laptop. Selain itu di Amerika, Presiden AS Joe Biden diperkirakan akan menandatangani perintah eksekutif yang meminta Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission / FTC) untuk menyusun aturan tentang perbaikan peralatan di bidang pertanian.
Dalam upaya untuk meningkatkan perkembangan hak untuk memperbaiki, beberapa negara bahkan telah membuat biaya perbaikan menjadi lebih murah, agar semakin menarik. Misalnya di Negara Austria dan negara bagian Thuringia di Jerman, orang sekarang dapat memperoleh penggantian sebagian saat memperbaiki produk berkat bonus perbaikan.[xii] Saat ini, kendala utama untuk perbaikan adalah mahal ongkos perbaikan dibandingkan dengan membeli produk baru. Inilah fungsi bonus perbaikan yang dibiayai publik diperkenalkan, sehingga meningkatkan insentif untuk memperbaiki, konsumen mendapatkan penggantian sebagian dari biaya perbaikan. Jenis tindakan ini adalah tindakan yang cukup sederhana namun efektif terhadap peningkatan kuantitas limbah elektronik. Setiap perbaikan yang dilakukan memperpanjang umur produk sekaligus meningkatkan ekonomi lokal dan mengamankan pekerjaan saat dilakukan di jasa reparasi profesional.
Selain itu pemerintah Swedia berencana untuk mengurangi tarif PPN yang dikenakan pada pekerjaan perbaikan dari 25% menjadi 12% adalah tanda terbaru bahwa orang Eropa mulai mempertanyakan budaya konsumerisme “take-make-dispose” (ambil, produksi, buang) yang ada di jantung ekonomi industri maju. Di Prancis, keusangan yang direncanakan sekarang dapat dihukum dua tahun penjara dengan denda hingga €300.000. Spanyol baru-baru ini menjadi negara pertama yang menetapkan target yang dirancang untuk meningkatkan penggunaan kembali. Sementara itu badan lingkungan Jerman, UBA, telah menugaskan penelitian tentang masa pakai barang-barang listrik untuk mengembangkan strategi melawan keusangan.[xiii]
Ekstraksi, penggunaan, dan pembuangan begitu banyak barang atau produk telah menciptakan beban lingkungan yang besar, mulai dari menipisnya mineral hingga perusakan hutan hujan. Ide ekonomi sirkular bertujuan untuk mengatasi masalah ini dengan menolak model konsumerisme “take-make-dispose” dengan “merancang” dan bahan disimpan pada nilai tinggi lebih lama melalui penggunaan kembali, perbaikan, dan daur ulang.[xiv] Semua produk elektronik diproduksi dengan harapan berguna secara terus menerus, ketika sampai pada masa akhirnya, maka produk elektronik harus dibuang.
Produk elektronik mencapai akhir masa pakainya (end of life/ EoL) karena kemajuan teknologi (yang membuat gadget saat ini usang), usang yang direncanakan, ketidakmampuan untuk memperbaiki, atau masalah kompatibilitas perangkat lunak. Kehadiran hak untuk memperbaiki diharapkan semakin meningkatkan umur penggunaan produk elektronik, sehingga menghemat uang pelanggan. Selain itu, hak untuk memperbaiki dengan demikian juga menghemat penggunaan sumber daya secara lebih efisien. Baik sumber daya bahan baku, maupun sumber daya energi untuk produksi dan distribusi dalam proses produk elektronik baru sampai kepada konsumen. Pada tahap akhir, maka hak untuk memperbaiki dapat mengurangi potensi timbulan sampah elektronik yang dihasilkan.
Mengingat manfaat dan perkembangannya, maka tidak berlebihan apabila pemerintah patut untuk mempertimbangkan konsep “Rights to Repair”, sebagai salah satu solusi dalam rangka mengatasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia. Semoga…
[i] Lihat dalam: (https://www.nytimes.com/2020/10/23/climate/right-to-repair.html)
[ii] Lihat Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik (PPPSS).
[iii] Future E-waste Scenarios; Parajuly, K.; Kuehr, R.; Awasthi, A. K.; Fitzpatrick, C.; Lepawsky, J.; Smith E.; Widmer, R.; Zeng, X. (2019). StEP (Bonn), UNU ViE-SCYCLE (Bonn) & UNEP IETC (Osaka).
[iv] Future E-waste Scenarios; Parajuly, K.; Kuehr, R.; Awasthi, A. K.; Fitzpatrick, C.; Lepawsky, J.; Smith E.; Widmer, R.; Zeng, X. (2019). StEP (Bonn), UNU ViE-SCYCLE (Bonn) & UNEP IETC (Osaka).
[v] Forti V., Baldé C.P., Kuehr R., Bel G. The Global E-waste Monitor 2020: Quantities, flows and the circular economy potential. United Nations University (UNU)/United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) – co-hosted SCYCLE Programme, International Telecommunication Union (ITU) & International Solid Waste Association (ISWA), Bonn/Geneva/Rotterdam.
[vi] Forti V., Baldé C.P., Kuehr R., Bel G. The Global E-waste Monitor 2020: Quantities, flows and the circular economy potential. United Nations University (UNU)/United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) – co-hosted SCYCLE Programme, International Telecommunication Union (ITU) & International Solid Waste Association (ISWA), Bonn/Geneva/Rotterdam.
[vii] KLHK, Sambutan Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Webinar “Pengelolaan Sampah Elektronik Dalam Rangka National E-Waste Day”, Jakarta, 14 Oktober 2021
[viii] Devin N. Perkins, Marie-Noel Brune Drisse, Tapiwa Nxele, Peter D. Sly, E-Waste: A Global Hazard, Annals of Global Health, Volume 80, Issue 4, 2014, Pages 286-295, ISSN 2214-9996, https://doi.org/10.1016/j.aogh.2014.10.001.
[ix] Lihat informasi dalam: (https://researchbriefings.files.parliament.uk/documents/CBP-9302/CBP-9302.pdf)
[x] Lihat dalam: https://www.theguardian.com/technology/2021/aug/02/why-right-to-repair-matters-according-to-a-farmer-a-medical-worker-a-computer-store-owner
[xi] Lihat dalam: https://www.bbc.com/news/technology-57744091
[xii] https://repair.eu/news/germany-and-austria-implement-repair-bonuses/
[xiii] https://theconversation.com/repair-or-replace-how-to-fight-constant-demands-for-new-stuff-66299
[xiv] https://theconversation.com/a-fresh-focus-on-new-approaches-to-recycling-tyres-is-needed-63214